Waspadai Gerak-Gerik Mafia Tanah, Mulai dari Tingkat Desa hingga di Pengadilan
Jum'at, 05 Maret 2021 - 18:51 WIB
JAKARTA - Pemerintah terus berusaha untuk memerangi mafia tanah yang hingga saat ini masih berkeliaran dan merugikan masyarakat. Salah satu caranya adalah dengan menutup pergerakan dari mafia tanah.
Direktur Jenderal (Dirjen) Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan (PSKP) Kementerian Agraria dan Tata Ruang atau Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) R.B. Agus Widjayanto mengatakan, praktik-praktik mafia tanah harus diwaspadai. Dirinya pun memberikan beberapa tips agar masyarakat bisa berhati-hati pada mafia tanah. ( Baca juga:Erick Thohir Bongkar Biang Kerok Munculnya 159 Kasus Korupsi di Kementerian BUMN )
Menurutnya, praktik mafia tanah dimulai saat kepala desa (Kades) mengeluarkan girik atau alas hak atas tanah dan dibuatkan salinan atas girik tersebut. Padahal sudah ada SE dari Ditjen Pajak Nomor 32 Tahun 1993 Tentang Larangan Penerbitan Girik.
“Atau membuat surat keterangan tanah untuk keperluan mengurus sertifikat tanah lebih dari satu. Kalau melihat hal ini (SE Ditjen Pajak) kan sebetulnya girik itu sudah dilarang,” ujarnya dalam keterangannya, Jumat (5/3/2021).
Pelarangan pemberlakuan girik juga dipertegas kembali melalui SE Ditjen Pajak Nomor 44 Tahun 1998. Namun, kondisi yang terjadi adalah girik tetap berlaku.
"Dan Kementerian ATR/BPN juga membutuhkan girik untuk menunjukkan bahwa seseorang adalah pemilik tanah sebenarnya, sebelum didaftarkan. Dan itu, akhirnya mengakibatkan banyak pemalsuan mengenai alas hak atas tanah. Tidak hanya girik saja, ada Surat Eigendom, SK Redistribusi yang lama untuk mengklaim suatu bidang tanah,” jelasnya.
Mafia tanah juga memprovokasi segelintir masyarakat untuk menggarap atau mengokupasi tanah-tanah yang kosong atau sedang dimanfaatkan. Mafia tanah juga mengklaim bahwa segelintir orang tersebut sudah menduduki tanah dan menggarap tanah tersebut dalam jangka waktu yang lama.
“Mereka juga mengubah atau menggeser bahkan menghilangkan patok tanda batas tanah. Selain itu, mafia tanah juga menggunakan jasa preman untuk menguasai objek tanah, dengan cara memagarnya. Lalu menggemboknya dan mendirikan suatu bangunan di atasnya,” jelas Agus Widjayanto. ( Baca juga:Kubu AHY: Jika Menkumham Sahkan Pengurus KLB Sumut, Artinya Ada Dukungan Kekuasaan )
Tidak hanya di lapangan saja, mafia tanah beraksi. Di pengadilan pun, praktik mafia tanah dapat berjalan.
“Salah satunya melakukan gugatan rekayasa di pengadilan untuk mendapatkan hak atas tanah padahal baik penggugat maupun tergugat merupakan bagian dari kelompok mafia tanah tersebut dan pemilik tanah yang sebenarnya malah tidak dilibatkan. Ada juga melakukan gugatan tiada akhir, yang menimbulkan banyaknya putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap yang isi putusannya bertentangan satu sama lain sehingga putusan tersebut tidak dapat dieksekusi,” kata Dirjen PSKP.
Direktur Jenderal (Dirjen) Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan (PSKP) Kementerian Agraria dan Tata Ruang atau Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) R.B. Agus Widjayanto mengatakan, praktik-praktik mafia tanah harus diwaspadai. Dirinya pun memberikan beberapa tips agar masyarakat bisa berhati-hati pada mafia tanah. ( Baca juga:Erick Thohir Bongkar Biang Kerok Munculnya 159 Kasus Korupsi di Kementerian BUMN )
Menurutnya, praktik mafia tanah dimulai saat kepala desa (Kades) mengeluarkan girik atau alas hak atas tanah dan dibuatkan salinan atas girik tersebut. Padahal sudah ada SE dari Ditjen Pajak Nomor 32 Tahun 1993 Tentang Larangan Penerbitan Girik.
“Atau membuat surat keterangan tanah untuk keperluan mengurus sertifikat tanah lebih dari satu. Kalau melihat hal ini (SE Ditjen Pajak) kan sebetulnya girik itu sudah dilarang,” ujarnya dalam keterangannya, Jumat (5/3/2021).
Pelarangan pemberlakuan girik juga dipertegas kembali melalui SE Ditjen Pajak Nomor 44 Tahun 1998. Namun, kondisi yang terjadi adalah girik tetap berlaku.
"Dan Kementerian ATR/BPN juga membutuhkan girik untuk menunjukkan bahwa seseorang adalah pemilik tanah sebenarnya, sebelum didaftarkan. Dan itu, akhirnya mengakibatkan banyak pemalsuan mengenai alas hak atas tanah. Tidak hanya girik saja, ada Surat Eigendom, SK Redistribusi yang lama untuk mengklaim suatu bidang tanah,” jelasnya.
Mafia tanah juga memprovokasi segelintir masyarakat untuk menggarap atau mengokupasi tanah-tanah yang kosong atau sedang dimanfaatkan. Mafia tanah juga mengklaim bahwa segelintir orang tersebut sudah menduduki tanah dan menggarap tanah tersebut dalam jangka waktu yang lama.
“Mereka juga mengubah atau menggeser bahkan menghilangkan patok tanda batas tanah. Selain itu, mafia tanah juga menggunakan jasa preman untuk menguasai objek tanah, dengan cara memagarnya. Lalu menggemboknya dan mendirikan suatu bangunan di atasnya,” jelas Agus Widjayanto. ( Baca juga:Kubu AHY: Jika Menkumham Sahkan Pengurus KLB Sumut, Artinya Ada Dukungan Kekuasaan )
Tidak hanya di lapangan saja, mafia tanah beraksi. Di pengadilan pun, praktik mafia tanah dapat berjalan.
“Salah satunya melakukan gugatan rekayasa di pengadilan untuk mendapatkan hak atas tanah padahal baik penggugat maupun tergugat merupakan bagian dari kelompok mafia tanah tersebut dan pemilik tanah yang sebenarnya malah tidak dilibatkan. Ada juga melakukan gugatan tiada akhir, yang menimbulkan banyaknya putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap yang isi putusannya bertentangan satu sama lain sehingga putusan tersebut tidak dapat dieksekusi,” kata Dirjen PSKP.
(uka)
Lihat Juga :
tulis komentar anda