Ckckck! Perlindungan Terhadap Merek Perusahan Besar Dianggap Bisa Rugikan UMKM
Sabtu, 03 April 2021 - 14:00 WIB
JAKARTA - Edukasi perlindungan merek dagang masih sangat dibutuhkan di Indonesia. Banyaknya korporasi besar yang berlomba mendaftarkan istilah umum dikhawatirkan menghambat pelaku usaha baru, khususnya UMKM , memilih merek usaha.
Ketua Umum AKHKI (Asosiasi Konsultan HKI Indonesia) Suyud Margono menilai perlindungan untuk merek-merek terkenal saat ini justru merugikan pelaku usaha lainnya. Merek terkenal mendaftarkan banyak kata-kata yang diklaim dan tidak dapat digunakan pelaku usaha lainnya.
"Perlindungan merek jangan untuk kata kedua atau merek sekunder. Merek sekunder dipakai untuk nama varian. Biasanya itu sekedar deskriptif," kata Suyud dalam webinar di Jakarta (3/4/2021). ( Baca juga:Wagub Emil Kritik Bank Tolak Debitur Tambah Kredit )
Dia menjelaskan perusahaan kerap mendaftarkan berbagai macam merek yang merupakan perluasan dari merek utamanya. Tujuannya memperluas variasi dari produknya.
Dia mencontohkan untuk produk elektronik pemilik merek terkenal LG, sangat aktif menciptakan banyak varian dari merek LG. Salah satunya LG Magnit dan LG Mini untuk produk-produk elektronik.
"Tentu konsumen tidak akan salah pilih dan pasti akan tetap melihat merek utamanya. Mereka tidak akan merujuk kepada secondary mark yang digunakan,” jelasnya.
Karena itu perlindungan merek terkenal seharusnya hanya merujuk pada merek utama seperti Dove dan Lifebuoy, yang telah dikenal secara baik oleh masyarakat luas. "Jangan diterapkan pada secondary merk, terlebih lagi jika merek sekunder tersebut hanya kata istilah yang sifatnya umum," katanya.
Sementara itu pakar brand Subiakto Priosoedarsono menilai kebanyakan UMKM belum memahami pentingnya branding. ”Sejak 2014 saya bantu UMKM ternyata banyak yang belum paham brand,” ujar Subiakto menambahkan.
Menurutnya, kelemahan UMKM adalah tidak mencantumkan merek dagangnya. Bukti lemahnya kesadaran merek sering terjadi pada merek kuliner ternama seperti Gudeg Yu Djum dan Bebek Haji Slamet. ”Yang ngasih nama Yu Djum itu adalah konsumennya karena ketika mulai jualan 40 tahun lalu, Yu Djum tidak kasih nama. Begitu juga Bebek Slamet yang Pak Slametnya sudah almarhum. itu yang ngasih nama juga konsumennya. If you don’t brand your self, somebody else will brand you,” terangnya. ( Baca juga:Pertama di Dunia, Bayi Lelaki Terlahir dengan Tiga Penis )
Dia menjelaskan untuk cara membangun brand terdiri atas tiga tahap. Pertama melakukan promosi. Kedua memastikan pembeli tahu kalau beli akan dapat apa dan ketiga, branding-nya adalah pembeli itu jadi siapa ketika membeli produk.
"Produk itu bukan sekadar produk tetapi lebih dari sekadar produk. Sebab brand itu menciptakan sustainabilitas atau jangka panjang. Serta brand adalah jaminan pendapatan di masa depan atau future income," imbuhnya.
Ketua Umum AKHKI (Asosiasi Konsultan HKI Indonesia) Suyud Margono menilai perlindungan untuk merek-merek terkenal saat ini justru merugikan pelaku usaha lainnya. Merek terkenal mendaftarkan banyak kata-kata yang diklaim dan tidak dapat digunakan pelaku usaha lainnya.
"Perlindungan merek jangan untuk kata kedua atau merek sekunder. Merek sekunder dipakai untuk nama varian. Biasanya itu sekedar deskriptif," kata Suyud dalam webinar di Jakarta (3/4/2021). ( Baca juga:Wagub Emil Kritik Bank Tolak Debitur Tambah Kredit )
Dia menjelaskan perusahaan kerap mendaftarkan berbagai macam merek yang merupakan perluasan dari merek utamanya. Tujuannya memperluas variasi dari produknya.
Dia mencontohkan untuk produk elektronik pemilik merek terkenal LG, sangat aktif menciptakan banyak varian dari merek LG. Salah satunya LG Magnit dan LG Mini untuk produk-produk elektronik.
"Tentu konsumen tidak akan salah pilih dan pasti akan tetap melihat merek utamanya. Mereka tidak akan merujuk kepada secondary mark yang digunakan,” jelasnya.
Karena itu perlindungan merek terkenal seharusnya hanya merujuk pada merek utama seperti Dove dan Lifebuoy, yang telah dikenal secara baik oleh masyarakat luas. "Jangan diterapkan pada secondary merk, terlebih lagi jika merek sekunder tersebut hanya kata istilah yang sifatnya umum," katanya.
Sementara itu pakar brand Subiakto Priosoedarsono menilai kebanyakan UMKM belum memahami pentingnya branding. ”Sejak 2014 saya bantu UMKM ternyata banyak yang belum paham brand,” ujar Subiakto menambahkan.
Menurutnya, kelemahan UMKM adalah tidak mencantumkan merek dagangnya. Bukti lemahnya kesadaran merek sering terjadi pada merek kuliner ternama seperti Gudeg Yu Djum dan Bebek Haji Slamet. ”Yang ngasih nama Yu Djum itu adalah konsumennya karena ketika mulai jualan 40 tahun lalu, Yu Djum tidak kasih nama. Begitu juga Bebek Slamet yang Pak Slametnya sudah almarhum. itu yang ngasih nama juga konsumennya. If you don’t brand your self, somebody else will brand you,” terangnya. ( Baca juga:Pertama di Dunia, Bayi Lelaki Terlahir dengan Tiga Penis )
Dia menjelaskan untuk cara membangun brand terdiri atas tiga tahap. Pertama melakukan promosi. Kedua memastikan pembeli tahu kalau beli akan dapat apa dan ketiga, branding-nya adalah pembeli itu jadi siapa ketika membeli produk.
"Produk itu bukan sekadar produk tetapi lebih dari sekadar produk. Sebab brand itu menciptakan sustainabilitas atau jangka panjang. Serta brand adalah jaminan pendapatan di masa depan atau future income," imbuhnya.
(uka)
tulis komentar anda