Generasi Social Entrepreneur Sumber Calon Pemimpin Nasional Masa Depan
Sabtu, 03 April 2021 - 19:50 WIB
JAKARTA - Sumber kepemimpinan nasional di Indonesia kerap bergeser dari masa ke masa. Pada masa pergerakan kemerdekaan para pemimpin bangsa kebanyakan berasal dari para intelektual pejuang. Sementara era Orde Baru, rekrutmen pemimpin ditentukan oleh latar belakang perwira militer berprestasi di tubuh ABRI (TNI).
Era reformasi berasal dari para aktivis demokrasi dan partai politik. Sementara era paska reformasi para pemimpin berasal dari komunitas pengusaha.
Koordinator Perkumpulan Kader Bangsa, Dimas Oky Nugroho menilai, pergeseran situasi sosial ekonomi politik ke depan akan lebih menempatkan sosok-sosok pemimpin yang berasal dari kalangan kewirausahaan sosial.
“Ciri khas generasi pemimpin yang berasal dari era kewirausahaan sosial bukan hanya mengincar profit bisnis yang akumulatif untuk diri atau kelompoknya saja. Mereka memiliki cita-cita idealis, yakni keinginan agar dapat berkiprah maju, memiliki pekerjaan mandiri dan pendapatan berkelanjutan, serta peduli terhadap problem sosial di sekitar mereka, serta mencoba menawarkan solusi melalui cara-cara kolaboratif dan sharing economy," ujar Dimas saat bertemu sejumlah pimpinan organisasi kepemudaan dan komunitas kreatif dalam diskusi yang dilaksanakan oleh Lakpesdam NU Salatiga.
Mantan Staf Khusus Kantor Staf Presiden ini menilai sistem rekrutmen dan kaderisasi kepemimpinan yang dilakukan pemerintah era Orde Baru sebenarnya memberikan proses keteraturan dan kepastian. Namun di era demokrasi peluang muncul pemimpin nasional dinilai lebih terbuka dan menjamin adanya partisipasi secara lebih luas serta tidak eksklusif.
“Formasi rekrutmen dan rotasi kepemimpinan paska Orde Baru lebih terbuka, antara lain berasal dari non elite konvensional atau status quo, tidak 4L atau lo lagi lo lagi. Muncul aktivis, intelektual, ormas, politisi sipil, santri ulama dan juga pengusaha seperti Pak Jokowi. Meski akhir-akhir ini banyak peristiwa yang membuat wajah demokrasi kita cenderung rapuh akibat dominannya logika kekuatan riil politik ketimbang idealisme politik yang dilakukan oleh berbagai kekuatan yang bermain, baik tingkat daerah maupun tingkat nasional," ujar peraih gelar doktor politik dari UNSW Sydney ini.
Dimas mengatakan, era demokrasi hari ini beban terbesarnya adalah biaya tinggi dan pragmatisme politik yang memunculkan politik transaksional dan korupsi. Era media sosial dan politik digital juga membawa resiko politik berupa potensi keterbelahan, kesenjangan dan ekstremisme sosial dalam masyarakat. Dimas menilai tren hari ini dan ke depan adalah kemunculan anak-anak muda berlatar kewirausahaan sosial yang masuk dalam kancah kontestasi politik berupaya menawarkan solusi inklusif kepada masyarakat.
“Sosok seperti Danny Pomanto Walikota Makassar, Ridwan Kami Gubernur Jawa Barat, Emil Dardak Wagub Jatim dan sejumlah nama lain, adalah sosok-sosok yang bukan murni berlatar politisi, birokrat atau pengusaha. Mereka adalah profesional atau pegiat sosial ekonomi yang memiliki kepedulian sosial dan berjuang dalam jalur politik menawarkan transformasi," ujar Dimas.
Era reformasi berasal dari para aktivis demokrasi dan partai politik. Sementara era paska reformasi para pemimpin berasal dari komunitas pengusaha.
Koordinator Perkumpulan Kader Bangsa, Dimas Oky Nugroho menilai, pergeseran situasi sosial ekonomi politik ke depan akan lebih menempatkan sosok-sosok pemimpin yang berasal dari kalangan kewirausahaan sosial.
“Ciri khas generasi pemimpin yang berasal dari era kewirausahaan sosial bukan hanya mengincar profit bisnis yang akumulatif untuk diri atau kelompoknya saja. Mereka memiliki cita-cita idealis, yakni keinginan agar dapat berkiprah maju, memiliki pekerjaan mandiri dan pendapatan berkelanjutan, serta peduli terhadap problem sosial di sekitar mereka, serta mencoba menawarkan solusi melalui cara-cara kolaboratif dan sharing economy," ujar Dimas saat bertemu sejumlah pimpinan organisasi kepemudaan dan komunitas kreatif dalam diskusi yang dilaksanakan oleh Lakpesdam NU Salatiga.
Mantan Staf Khusus Kantor Staf Presiden ini menilai sistem rekrutmen dan kaderisasi kepemimpinan yang dilakukan pemerintah era Orde Baru sebenarnya memberikan proses keteraturan dan kepastian. Namun di era demokrasi peluang muncul pemimpin nasional dinilai lebih terbuka dan menjamin adanya partisipasi secara lebih luas serta tidak eksklusif.
“Formasi rekrutmen dan rotasi kepemimpinan paska Orde Baru lebih terbuka, antara lain berasal dari non elite konvensional atau status quo, tidak 4L atau lo lagi lo lagi. Muncul aktivis, intelektual, ormas, politisi sipil, santri ulama dan juga pengusaha seperti Pak Jokowi. Meski akhir-akhir ini banyak peristiwa yang membuat wajah demokrasi kita cenderung rapuh akibat dominannya logika kekuatan riil politik ketimbang idealisme politik yang dilakukan oleh berbagai kekuatan yang bermain, baik tingkat daerah maupun tingkat nasional," ujar peraih gelar doktor politik dari UNSW Sydney ini.
Dimas mengatakan, era demokrasi hari ini beban terbesarnya adalah biaya tinggi dan pragmatisme politik yang memunculkan politik transaksional dan korupsi. Era media sosial dan politik digital juga membawa resiko politik berupa potensi keterbelahan, kesenjangan dan ekstremisme sosial dalam masyarakat. Dimas menilai tren hari ini dan ke depan adalah kemunculan anak-anak muda berlatar kewirausahaan sosial yang masuk dalam kancah kontestasi politik berupaya menawarkan solusi inklusif kepada masyarakat.
“Sosok seperti Danny Pomanto Walikota Makassar, Ridwan Kami Gubernur Jawa Barat, Emil Dardak Wagub Jatim dan sejumlah nama lain, adalah sosok-sosok yang bukan murni berlatar politisi, birokrat atau pengusaha. Mereka adalah profesional atau pegiat sosial ekonomi yang memiliki kepedulian sosial dan berjuang dalam jalur politik menawarkan transformasi," ujar Dimas.
tulis komentar anda