Faktor Budaya Pengaruhi Pengurangan Dampak Buruk Tembakau
Rabu, 21 April 2021 - 23:32 WIB
JAKARTA - Para aktivis pengurangan dampak buruk (PDB) tembakau menilai, kondisi ekonomi, politik, dan budaya tiap negara akan memengaruhi penerapan kebijakan PDB tembakau yang memanfaatkan produk Hasil Pengolahan Tembakau Lainnya (HPTL). Di Asia, hal ini tecermin dari penggunaan variasi produk HPTL yang berbeda-beda.
Rokok elektrik atau vape tergolong populer di Indonesia dan Malaysia, tetapi konsumen di Jepang dan Korea Selatan lebih menggandrungi tembakau yang dipanaskan (HTP).
Pembahasan ini mengemuka pada webinar yang membahas laporan The Global State of Tobacco Harm Reduction (GSTHR) berjudul “Tobacco Harm Reduction: A Burning Issue for Asia” yang diselenggarakan oleh Knowledge-Action-Change (KAC) dan Association of Vapers India (AVI) pada Minggu (18/4).
“Solusinya harus berbasis regional dan lokal, sehingga produk yang dikembangkan tidak hanya terjangkau, tetapi juga pantas, dapat diterima, dan merupakan bagian dari tradisi masing-masing negara. Anggapan bahwa Asia merupakan kesatuan wilayah adalah pandangan yang salah. Setiap daerah memiliki budaya, pandangan, dan opini yang berbeda-beda (terhadap isu tembakau),” kata Direktur DrugWise sekaligus penulis laporan, Harry Shapiro.
Laporan yang sama membuat estimasi bahwa ada sekitar 19,2 juta pengguna rokok elektrik atau vapers di Asia. Dari angka tersebut, 2,1 juta orang berasal dari Indonesia. Pun demikian, jumlah tersebut hanya sekitar 1 persen dari populasi dewasa di Indonesia.
Sebagai perbandingan, jumlah perokok konvensional di Indonesia mencapai 38,1% dari total populasi orang dewasa. Perbedaan mencolok ini menunjukkan, diperlukan lebih banyak upaya edukasi dalam meningkatkan pemahaman dan penerapan kebijakan PDB tembakau.
Disrupsi Teknologi
Pertentangan antara aspek ekonomi dan kesehatan dianggap sebagai penyebab banyaknya negara Asia yang belum menerapkan kebijakan PDB tembakau. Padahal, kebijakan PDB tembakau yang tepat berpotensi mendorong produsen dalam berinovasi mengembangkan produk berbasis teknologi yang lebih rendah risiko.
Rokok elektrik atau vape tergolong populer di Indonesia dan Malaysia, tetapi konsumen di Jepang dan Korea Selatan lebih menggandrungi tembakau yang dipanaskan (HTP).
Pembahasan ini mengemuka pada webinar yang membahas laporan The Global State of Tobacco Harm Reduction (GSTHR) berjudul “Tobacco Harm Reduction: A Burning Issue for Asia” yang diselenggarakan oleh Knowledge-Action-Change (KAC) dan Association of Vapers India (AVI) pada Minggu (18/4).
“Solusinya harus berbasis regional dan lokal, sehingga produk yang dikembangkan tidak hanya terjangkau, tetapi juga pantas, dapat diterima, dan merupakan bagian dari tradisi masing-masing negara. Anggapan bahwa Asia merupakan kesatuan wilayah adalah pandangan yang salah. Setiap daerah memiliki budaya, pandangan, dan opini yang berbeda-beda (terhadap isu tembakau),” kata Direktur DrugWise sekaligus penulis laporan, Harry Shapiro.
Laporan yang sama membuat estimasi bahwa ada sekitar 19,2 juta pengguna rokok elektrik atau vapers di Asia. Dari angka tersebut, 2,1 juta orang berasal dari Indonesia. Pun demikian, jumlah tersebut hanya sekitar 1 persen dari populasi dewasa di Indonesia.
Sebagai perbandingan, jumlah perokok konvensional di Indonesia mencapai 38,1% dari total populasi orang dewasa. Perbedaan mencolok ini menunjukkan, diperlukan lebih banyak upaya edukasi dalam meningkatkan pemahaman dan penerapan kebijakan PDB tembakau.
Disrupsi Teknologi
Pertentangan antara aspek ekonomi dan kesehatan dianggap sebagai penyebab banyaknya negara Asia yang belum menerapkan kebijakan PDB tembakau. Padahal, kebijakan PDB tembakau yang tepat berpotensi mendorong produsen dalam berinovasi mengembangkan produk berbasis teknologi yang lebih rendah risiko.
tulis komentar anda