Begini Kronologi Bengkaknya Anggaran Kereta Cepat Jakarta-Bandung
Jum'at, 15 Oktober 2021 - 20:48 WIB
Alasannya, proposal dianggap tidak sesuai dengan standar yang ditetapkan pemerintah. Perkara ini, membuat Duta Besar (Dubes) Jepang untuk Indonesia saat itu, Yasuaki Tanizaki merasa kecewa.
Padahal, kata Tanizaki, Jepang dalam lima tahun terakhir telah menghabiskan banyak uang untuk melakukan studi kelayakan proyek pembangunan kereta cepat tersebut. Bahkan, negeri Sakura itu telah menyesuaikan skema pembangunan dalam tiga tahun terakhir.
Tak hanya itu, dia turut mempertanyakan proposal Jepang yang dianggap tidak sesuai dengan standar yang ditetapkan pemerintah Indonesia. Menurutnya, proposal yang telah diberikan sudah mencakup aspek perlindungan dan teknologi yang memadai.
Menteri BUMN saat itu, Rini Soemarno, mencatat proposal kereta cepat yang diajukan Jepang harus mensyaratkan jaminan dari pemerintah. Sebab berdasarkan hasil studi kelayakan proyek kereta cepat Jakarta-Bandung tahap I yang dilakukan beberapa waktu lalu, Jepang menyatakan proyek kereta cepat memiliki tingkat pengembalian investasi atau internal rate of return (IRR) negatif.
Dengan demikian proyek tersebut tidak menguntungkan, sehingga pembangunan tidak bisa diserahkan sepenuhnya ke swasta dan harus ada jaminan dari pemerintah.
Proposal Negeri Matahari Terbit itu, lanjutnya, juga mensyaratkan bahwa dana yang dipinjamkan untuk menggarap proyek tersebut harus diberikan kepada pemerintah terlebih dahulu, baru diserahkan ke BUMN oleh pemerintah. Padahal, proyek ini melarang penggunaan dana dari pemerintah baik dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) langsung atau dengan cara apapun.
Rini membandingkan proposal yang diajukan Jepang dengan proposal kereta cepat yang diajukan China. Negeri Tirai Bambu sama sekali tidak meminta jaminan dari pemerintah untuk menggarap proyek tersebut.
Selain itu, China juga mengucurkan langsung pinjaman dananya kepada BUMN, tanpa melalui perantara pemerintah seperti yang dilakukan Jepang. Namun, saat ini kebijakan tersebut mengalami perubahaan saat pemerintah memperkirakan adanya pembengkakan biaya.
Meski secara resmi Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan belum mengumumkan hasil audit anggaran KCJB. Namun perkiraan sementara pembengkakakan berkisar hingga di angka USD8,6 miliar.
Padahal, kata Tanizaki, Jepang dalam lima tahun terakhir telah menghabiskan banyak uang untuk melakukan studi kelayakan proyek pembangunan kereta cepat tersebut. Bahkan, negeri Sakura itu telah menyesuaikan skema pembangunan dalam tiga tahun terakhir.
Tak hanya itu, dia turut mempertanyakan proposal Jepang yang dianggap tidak sesuai dengan standar yang ditetapkan pemerintah Indonesia. Menurutnya, proposal yang telah diberikan sudah mencakup aspek perlindungan dan teknologi yang memadai.
Menteri BUMN saat itu, Rini Soemarno, mencatat proposal kereta cepat yang diajukan Jepang harus mensyaratkan jaminan dari pemerintah. Sebab berdasarkan hasil studi kelayakan proyek kereta cepat Jakarta-Bandung tahap I yang dilakukan beberapa waktu lalu, Jepang menyatakan proyek kereta cepat memiliki tingkat pengembalian investasi atau internal rate of return (IRR) negatif.
Dengan demikian proyek tersebut tidak menguntungkan, sehingga pembangunan tidak bisa diserahkan sepenuhnya ke swasta dan harus ada jaminan dari pemerintah.
Proposal Negeri Matahari Terbit itu, lanjutnya, juga mensyaratkan bahwa dana yang dipinjamkan untuk menggarap proyek tersebut harus diberikan kepada pemerintah terlebih dahulu, baru diserahkan ke BUMN oleh pemerintah. Padahal, proyek ini melarang penggunaan dana dari pemerintah baik dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) langsung atau dengan cara apapun.
Rini membandingkan proposal yang diajukan Jepang dengan proposal kereta cepat yang diajukan China. Negeri Tirai Bambu sama sekali tidak meminta jaminan dari pemerintah untuk menggarap proyek tersebut.
Selain itu, China juga mengucurkan langsung pinjaman dananya kepada BUMN, tanpa melalui perantara pemerintah seperti yang dilakukan Jepang. Namun, saat ini kebijakan tersebut mengalami perubahaan saat pemerintah memperkirakan adanya pembengkakan biaya.
Meski secara resmi Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan belum mengumumkan hasil audit anggaran KCJB. Namun perkiraan sementara pembengkakakan berkisar hingga di angka USD8,6 miliar.
tulis komentar anda