Siap-siap! Harga BBM dan LPG Bisa Naik Gara-gara Pajak Karbon
Kamis, 18 November 2021 - 16:15 WIB
JAKARTA - Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif mengungkapkan, adanya potensi kenaikan harga pada energi yang menghasilkan karbon, seperti Bahan Bakar Minyak atau BBM dan LPG jika pajak karbon diberlakukan. Diterangkan olehnya penerapan pajak karbon akan berpengaruh pada tambahan biaya dan harga pada pemasar energi dari hulu ke hilir industri penghasil karbon.
"Ini tentu akan menyebabkan kenaikan harga baik di sisi hulu maupun di hilir bagi pemasar yang menghasilkan karbon," kata Menteri ESDM Arifin Tasrif dalam keterangan resmi di laman Kementerian ESDM, Kamis (18/11/2021).
Terdapa tiga skema perhitungan dasar atas penerapan pajak karbon di sektor energi yang dilakukan Kementerian ESDM, yaitu USD2 per ton (Rp 30/kg CO2e), USD 5 per ton (Rp 75/kg CO2e), dan USD10 per ton (Rp150/kg CO2e). Secara rinci, terdapat tambahan biaya dari sisi produksi maupun tambahan harga dari sisi konsumen oleh produsen yang menghasilkan emisi seperti batubara, minyak, dan gas bumi seiring diberlakukannya pengenaan pajak karbon.
Sebagai contoh, jika pajak karbon ditetapkan sebesar USD2per ton atau Rp30 per kg CO2e, maka terdapat tambahan biaya USD0,1 per ton dari sisi produksi batu bara dengan intensitas emisi 38,3 Kg CO2/ton dan produksi minyak dengan intensitas emisi 46 kg Co2/barel. Selanjutnya dari sisi produksi gas bumi yang memiliki intensitas emisi sebesar 6.984 kg CO2/MMSCF akan dibebankan tambahan biaya USD0,01/MSCF.
Sementara dari sisi konsumen akan ada potensi peningkatan biaya tambahan harga sebesar Rp64 per liter dari BBM yang memiliki intensitas 2,13 kg CO2/liter. Untuk konsumen gas atau LPG terdapat tambahan harga sebesar Rp1.638/MSCF untuk gas dengan intensitas emisi 54,6 kg CO2/MSCF dan Rp38/kg untuk LPG dengan intensitas emisi 1,26 kg CO2/kg.
Pengenaan pajak karbon juga berdampak pada tambahan biaya pada sisi konsumen batubara. Terdapat tambahan biaya pembangkit sebesar Rp29/kWh dan tambahan di industri sebesar USD5 per ton dengan intensitas emisi 2.526 kg CO2/ton atau 0,95 kg CO2/kWh.
Sementara di di sektor ketenagalistrikan, jika asumsi penjualan listrik negara 265,85 TWh dengan besaran produksi CO2e mencapai 5,33 ton per tahun, maka pengenaan pajak karbon senilai USD1 per ton akan meningkatkan pendapatan negara senilai Rp76,49 miliar.
Hal ini seiring juga dengan penambahan Biaya Pokok Penyediaan (BPP) tenaga listrik senilai Rp76,49 miliar, dan penambahan subsidi listrik senilai Rp20,46 miliar serta kompensasi senilai Rp61,38 miliar.
"Ini tentu akan menyebabkan kenaikan harga baik di sisi hulu maupun di hilir bagi pemasar yang menghasilkan karbon," kata Menteri ESDM Arifin Tasrif dalam keterangan resmi di laman Kementerian ESDM, Kamis (18/11/2021).
Terdapa tiga skema perhitungan dasar atas penerapan pajak karbon di sektor energi yang dilakukan Kementerian ESDM, yaitu USD2 per ton (Rp 30/kg CO2e), USD 5 per ton (Rp 75/kg CO2e), dan USD10 per ton (Rp150/kg CO2e). Secara rinci, terdapat tambahan biaya dari sisi produksi maupun tambahan harga dari sisi konsumen oleh produsen yang menghasilkan emisi seperti batubara, minyak, dan gas bumi seiring diberlakukannya pengenaan pajak karbon.
Sebagai contoh, jika pajak karbon ditetapkan sebesar USD2per ton atau Rp30 per kg CO2e, maka terdapat tambahan biaya USD0,1 per ton dari sisi produksi batu bara dengan intensitas emisi 38,3 Kg CO2/ton dan produksi minyak dengan intensitas emisi 46 kg Co2/barel. Selanjutnya dari sisi produksi gas bumi yang memiliki intensitas emisi sebesar 6.984 kg CO2/MMSCF akan dibebankan tambahan biaya USD0,01/MSCF.
Sementara dari sisi konsumen akan ada potensi peningkatan biaya tambahan harga sebesar Rp64 per liter dari BBM yang memiliki intensitas 2,13 kg CO2/liter. Untuk konsumen gas atau LPG terdapat tambahan harga sebesar Rp1.638/MSCF untuk gas dengan intensitas emisi 54,6 kg CO2/MSCF dan Rp38/kg untuk LPG dengan intensitas emisi 1,26 kg CO2/kg.
Pengenaan pajak karbon juga berdampak pada tambahan biaya pada sisi konsumen batubara. Terdapat tambahan biaya pembangkit sebesar Rp29/kWh dan tambahan di industri sebesar USD5 per ton dengan intensitas emisi 2.526 kg CO2/ton atau 0,95 kg CO2/kWh.
Sementara di di sektor ketenagalistrikan, jika asumsi penjualan listrik negara 265,85 TWh dengan besaran produksi CO2e mencapai 5,33 ton per tahun, maka pengenaan pajak karbon senilai USD1 per ton akan meningkatkan pendapatan negara senilai Rp76,49 miliar.
Hal ini seiring juga dengan penambahan Biaya Pokok Penyediaan (BPP) tenaga listrik senilai Rp76,49 miliar, dan penambahan subsidi listrik senilai Rp20,46 miliar serta kompensasi senilai Rp61,38 miliar.
(akr)
Lihat Juga :
tulis komentar anda