Bangun Ekosistem Transisi Energi, Kadin: Teknologi Harus Didukung Regulasi

Rabu, 22 Desember 2021 - 20:07 WIB
Ketua Komite Tetap Energi Terbarukan Kadin, Muhammad Yusrizki memandang pentingnya perubahan regulasi dalam rangka mendorong Energi Baru dan Terbarukan (EBT), dan pada akhirnya transisi energi. Foto/Dok
JAKARTA - Kamar Dagang dan Industri Indonesia ( Kadin ) menilai, transisi energi tidak hanya berhenti pada teknologi, tetapi harus didukung dengan regulasi. Ketua Komite Tetap Energi Terbarukan Kadin, Muhammad Yusrizki memandang pentingnya perubahan regulasi dalam rangka mendorong Energi Baru dan Terbarukan (EBT) , dan pada akhirnya transisi energi.

Pernyataan itu disampaikan Ketua Komite Tetap Energi Terbarukan Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin), Muhammad Yusrizki saat mewakili Kadin dalam peluncuran Indonesia Energy Transition Outlook (IETO) 2022 oleh Institute for Essential Services Reform (IESR) di Jakarta, Rabu (22/12/21).





“Transisi energi tidak hanya berhenti pada teknologi pembangkitan atau bagaimana energy mix kita antara energi fosil dan energi EBT. Tidak ada yang menyangkal bahwa aspek pembangkitan punya peranan penting, tetapi kebutuhan akan pembangkitan listrik tidak berdiri dalam ruang hampa. Teknologi tersebut harus didukung dengan regulasi yang mendukung ekosistem transisi energi,” katanya saat berbicara mewakili Kadin secara daring.

“Jika berbicara mengenai regulasi spesifik apa yang harus diubah atau diperbaiki, saya yakin teman-teman dari asosiasi dan pemangku kepentingan lain banyak yang memiliki pemahaman yang lebih komprehensif, terutama jika aturan tersebut menyangkut aspek teknis atau operasional. Tetapi sebagai perwakilan Kadin yang mengemban tugas atas transisi energi dan net zero emission, saya menekankan pada pentingnya peraturan yang memberikan korelasi antara teknologi pembangkitan dan emisi karbon yang dihasilkan,” lanjut Yusrizki.

Yusrizki menjelaskan lebih lanjut mengenai pentingnya korelasi dengan emisi karbon. “Target utama transisi energi adalah menurunkan emisi karbon hingga mencapi net zero emission. Dalam konteks transisi, apabila kita masih memerlukan listrik dari energi fosil dengan pertimbangan security dan reliability menurut saya merupakan hal yang wajar dari sisi teknis,” papar Yusrizki.

“Akan tetapi jika kita memiliki formula harga yang terhubung dengan tingkat emisi, terutama dalam siklus perencanaan ketenagalistrikan, otomatis harga tersebut tidak hanya merefleksikan kepentingan pasokan listrik tetapi juga tingkat emisi,” timpalnya.



Dia memberi contoh apabila memang Indonesia masih membutuhkan PLTU batubara untuk alasan stabilitas sistem, maka bisa saja PLN tetap menjalankan PLTU batubara, tetapi harga listrik dari PLTU batubara tersebut disesuaikan dengan tingkat emisi yang dihasilkan. Menggunakan pola pikir seperti ini tentu saja sumber-sumber EBT akan sangat bersaing dengan emission adjusted price dari PLTU.

“Saat ini harga jual listrik EBT selalu dibandingkan dengan BPP nasional atau setempat, yang kita sudah pahami bahwa BPP banyak dibentuk oleh pembangkit listrik tenaga fosil tanpa memperhitungkan emisi gas buang. Maka sampai hari ini konteks perencanaan dan pembangunan infrastruktur ketenagalistrikan masih berpatokan kepada satu faktor: harga. Emisi sama sekali belum diperhitungkan sebagai faktor dalam perencanaan,” lanjut Yusrizki.

Yusrizki menegaskan bahwa belum terwakilinya emisi dalam siklus perencanaan infrastruktur ketenagalistrikan yang membuat dirinya menekankan perlunya revolusi sektor ketenagalistrikan untuk mendukung agenda transisi energi Indonesia. “Saya yakin jika revolusi ini terjadi, maka peraturan-peraturan operasional, misalnya dalam tubuh PLN, akan beradaptasi dengan perubahan ini,” tutupnya.
(akr)
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More