Selalu Rugi! Nasib BUMN Kereta Api AS Harus Jadi Cermin Kereta Cepat Indonesia
Minggu, 06 Maret 2022 - 17:17 WIB
"Meskipun layanan kereta api terus berlanjut, masalah dengan penumpang dan ketidakstabilan keuangan tetap ada. Amtrax bersaing dengan perusahaan kereta api lainnya untuk stasiun dan jalur," sebut Business Insider dalam sebuah videonya, dikutip Minggu (6/3/2022).
Pada saat layanan kereta beroperasi pertama kali, penumpang harus dialihkan dari tujuh stasiun dari sebuah layanan kereta di Chicago . Amtrax harus memelihara dan membayar sejumlah stasiun di suatu kota karena kekurangan koneksi track.
Pada awal 2000-an Pemerintah AS berusaha membuat keuangan Amtrax stabil dengan mencoba meningkatkan penumpang dan mengimplementasikan Acela Express, layanan kereta yang berjalan dengan kecepatan maksimum 150 mph (240 km per jam). Tetapi rencana itu gagal karena Atmtrax masih memiliki utang dalam jumlah besar karena bertahun-tahun kekurangan dana.
Hingga saat ini, Amtrax masih memiliki margin keuntungan yang rendah dan sangat bergantung pada subsidi untuk beroperasi. Menurut laporan fiskal perusahaan 2017, Amtrax memiliki total pendapatan USD3,3 miliar. Sayangnya capaian itu tak cukup bagi Amtrax untuk mencipatakan keuntungan, sehingga kerugian operasional masih tercatat sebesar USD194 juta.
Cara lain ditempuh untuk mengatasi keuangan Amtrax. Misalnya, mengoptimalkan layanan jalur-jalur yang menguntungkan untuk menutupi kerugian jalur lainnya. Masalahnya, kebijakan itu membuat harga tiket menjadi mahal, sehingga tak mampu juga mengatasi masalah keuangan Amtrax.
Penyebab kerugian kereta amtrax adalah layanan mereka berjalan di sepanjang 21.400 mil jalur kereta, tapi yang menjadi milik sendiri hanya 640 miles. Sehingga mereka harus membayar kepada perusahaan kereta lainnya karena menyewa jalur.
Semoga saja, nasib Amtrax nantinya tak akan menular ke operator Kereta Cepat Jakarta-Bandung atau Jakarta-Surabaya. Makanya, operator kereta cepat kita tak sembarang menentukan harga tiket sehingga menjadi mahal.
Pada saat layanan kereta beroperasi pertama kali, penumpang harus dialihkan dari tujuh stasiun dari sebuah layanan kereta di Chicago . Amtrax harus memelihara dan membayar sejumlah stasiun di suatu kota karena kekurangan koneksi track.
Pada awal 2000-an Pemerintah AS berusaha membuat keuangan Amtrax stabil dengan mencoba meningkatkan penumpang dan mengimplementasikan Acela Express, layanan kereta yang berjalan dengan kecepatan maksimum 150 mph (240 km per jam). Tetapi rencana itu gagal karena Atmtrax masih memiliki utang dalam jumlah besar karena bertahun-tahun kekurangan dana.
Hingga saat ini, Amtrax masih memiliki margin keuntungan yang rendah dan sangat bergantung pada subsidi untuk beroperasi. Menurut laporan fiskal perusahaan 2017, Amtrax memiliki total pendapatan USD3,3 miliar. Sayangnya capaian itu tak cukup bagi Amtrax untuk mencipatakan keuntungan, sehingga kerugian operasional masih tercatat sebesar USD194 juta.
Cara lain ditempuh untuk mengatasi keuangan Amtrax. Misalnya, mengoptimalkan layanan jalur-jalur yang menguntungkan untuk menutupi kerugian jalur lainnya. Masalahnya, kebijakan itu membuat harga tiket menjadi mahal, sehingga tak mampu juga mengatasi masalah keuangan Amtrax.
Penyebab kerugian kereta amtrax adalah layanan mereka berjalan di sepanjang 21.400 mil jalur kereta, tapi yang menjadi milik sendiri hanya 640 miles. Sehingga mereka harus membayar kepada perusahaan kereta lainnya karena menyewa jalur.
Semoga saja, nasib Amtrax nantinya tak akan menular ke operator Kereta Cepat Jakarta-Bandung atau Jakarta-Surabaya. Makanya, operator kereta cepat kita tak sembarang menentukan harga tiket sehingga menjadi mahal.
(uka)
tulis komentar anda