Menko Airlangga Dorong DPR Sepakati RUU Penetapan Perppu Cipta Kerja Jadi Undang-Undang
loading...
A
A
A
JAKARTA - Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Perpu Cipta Kerja) pada 30 Desember 2022. Perppu ini sebagai pelaksanaan Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 yang memutuskan UU Cipta Kerja yang berkaitan dengan formil pembentukannya.
Presiden juga telah menyampaikan kepada Ketua DPR-RI tentang RUU Penetapan Perppu Cipta Kerja menjadi melalui surat Nomor: R-01/Pres/01/2023 tanggal 9 Januari 2023. Presiden menugaskan kepada Menko Perekonomian RI Airlangga Hartarto dan menteri terkait lainnya untuk mewakili Presiden dalam pembahasan RUU Penetapan Perppu Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang guna mendapatkan persetujuan bersama.
“Dalam pelaksanaan perbaikan tersebut, Pemerintah menghadapi situasi dan kondisi serta dinamika global, nasional, dan kepastian hukum atas UU Cipta Kerja yang akan sangat berdampak kepada perekonomian nasional dan penciptaan lapangan kerja,” Menko Perekonomian RI Airlangga Hartarto dalam keterangan di DPR Selasa (14/2/2023).
“Penetapan Perpu Cipta Kerja menjadi sangat urgen dan penting dalam mencegah terjadinya krisis perekonomian dan untuk memberikan kepastian hukum bagi investasi dan dunia usaha dalam rangka penciptaan lapangan kerja dan peningkatan kesejahteraan pekerja dan masyarakat,” ujar Airlangga.
Dengan telah selesai dilakukannya tindak lanjut putusan MK Nomor 91/PUUXVIII/2020 tersebut, Pemerintah melakukan penyelesaian perbaikan UU Cipta Kerja dalam rentang waktu yang ditetapkan Mahkamah Konstitusi selama 2 tahun, yaitu paling lambat pada November 2023.
Pada dasarnya isi Perpu Cipta Kerja secara umum sama dengan isi UU Cipta Kerja namun ada beberapa perubahan isi yang menyangkut, ketenagakerjaan, jaminan produk halal (Sertifikat Halal), harmonisasi dan sinkronisasi dengan UU HPP dan UU HKPD. Kemudian juga pengelolaan sumber daya air dan perbaikan teknis penulisan.
Presiden menerbitkan Perppu Cipta Kerja, karena menilai terdapat kegentingan yang memaksa untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan UU. Selain itu, UU yang dibutuhkan belum ada, sehingga terjadi kekosongan hukum atau tidak memadainya UU yang saat ini ada.
Parameter kegentingan yang memaksa lainnya adalah mengatasi terjadinya kondisi kekosongan hukum yang tidak dapat diatasi dengan cara membuat UU secara prosedur biasa yang memerlukan waktu yang cukup lama, sedangkan keadaan atau kebutuhan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.
Dasar hukum penerbitan Perppu Cipta Kerja adalah Pasal 22 UUD 1945 yang memberikan kewenangan kepada Presiden untuk mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) dalam keadaan yang mendesak. Selain itu, Perppu Cipta Kerja didasarkan pada beberapa undang-undang yang sudah ada, seperti Undang-Undang Ketenagakerjaan, Undang-Undang Investasi, dan Undang-Undang Pajak.
Beberapa pakar dan ahli hukum juga mendukung penetapan Perppu tersebut. Menurut Guru Besar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum, Universitas Padjadjaran, Prof. Dr. I. Gede Pantja Astawa, S.H., M.H., penerbitan Perppu oleh Presiden merupakan hak istimewa subyektif yang diberikan secara atributif oleh UUD 1945, namun tidak lepas dari pengawasan DPR RI untuk menyetujui atau tidak menyetujuinya.
Sementara itu, Prof. Aidul Fitriciada Azhari, mantan Ketua Komisi Yudisial menyatakan bahwa Perppu bentuk kewenangan Presiden yang dibatasi melalui pengujian obyektivitas di DPR. Dukungan juga diberikan oleh Prof Nurhasan Ismail, guru besar UGM, yang menyebut kegentingan memaksa dalam penetapan Perppu dimaknai sebagai sikap antisipatif atas kondisi perekonomian dan kepastian hukum yang diperlukan dalam penciptaan lapangan kerja terutama dari sektor Usaha Mikro dan Kecil (UMK).
Begitu pula dengan Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Padjadjaran Prof Ahmad M. Ramli. Menurutnya, fungsi hukum selain untuk memberikan kepastian dan kemanfaatan juga berfungsi sebagai infrastruktur transformasi dan Perppu Cipta Kerja menjawab ketidakpastian dari UU Cipta Kerja pasca putusan MK pada Tahun 2021. Oleh karena itu, Menko Airlangga berharap bahwa pembahasan RUU Penetapan Perppu Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang agar mendapatkan persetujuan bersama dari DPR.
“Dalam hal DPR RI dapat menyetujui Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja dan menyepakati RUU Penetapan Perppu Cipta Kerja menjadi Undang-Undang, kami optimistis bahwa Pemerintah akan tetap dapat mempertahankan dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi dimana pada tahun 2022 kita dapat mencapai 5,31% yang merupakan capaian tertinggi selama masa Presiden Jokowi,” ungkap Menko Airlangga.
Presiden juga telah menyampaikan kepada Ketua DPR-RI tentang RUU Penetapan Perppu Cipta Kerja menjadi melalui surat Nomor: R-01/Pres/01/2023 tanggal 9 Januari 2023. Presiden menugaskan kepada Menko Perekonomian RI Airlangga Hartarto dan menteri terkait lainnya untuk mewakili Presiden dalam pembahasan RUU Penetapan Perppu Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang guna mendapatkan persetujuan bersama.
“Dalam pelaksanaan perbaikan tersebut, Pemerintah menghadapi situasi dan kondisi serta dinamika global, nasional, dan kepastian hukum atas UU Cipta Kerja yang akan sangat berdampak kepada perekonomian nasional dan penciptaan lapangan kerja,” Menko Perekonomian RI Airlangga Hartarto dalam keterangan di DPR Selasa (14/2/2023).
“Penetapan Perpu Cipta Kerja menjadi sangat urgen dan penting dalam mencegah terjadinya krisis perekonomian dan untuk memberikan kepastian hukum bagi investasi dan dunia usaha dalam rangka penciptaan lapangan kerja dan peningkatan kesejahteraan pekerja dan masyarakat,” ujar Airlangga.
Dengan telah selesai dilakukannya tindak lanjut putusan MK Nomor 91/PUUXVIII/2020 tersebut, Pemerintah melakukan penyelesaian perbaikan UU Cipta Kerja dalam rentang waktu yang ditetapkan Mahkamah Konstitusi selama 2 tahun, yaitu paling lambat pada November 2023.
Pada dasarnya isi Perpu Cipta Kerja secara umum sama dengan isi UU Cipta Kerja namun ada beberapa perubahan isi yang menyangkut, ketenagakerjaan, jaminan produk halal (Sertifikat Halal), harmonisasi dan sinkronisasi dengan UU HPP dan UU HKPD. Kemudian juga pengelolaan sumber daya air dan perbaikan teknis penulisan.
Presiden menerbitkan Perppu Cipta Kerja, karena menilai terdapat kegentingan yang memaksa untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan UU. Selain itu, UU yang dibutuhkan belum ada, sehingga terjadi kekosongan hukum atau tidak memadainya UU yang saat ini ada.
Parameter kegentingan yang memaksa lainnya adalah mengatasi terjadinya kondisi kekosongan hukum yang tidak dapat diatasi dengan cara membuat UU secara prosedur biasa yang memerlukan waktu yang cukup lama, sedangkan keadaan atau kebutuhan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.
Dasar hukum penerbitan Perppu Cipta Kerja adalah Pasal 22 UUD 1945 yang memberikan kewenangan kepada Presiden untuk mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) dalam keadaan yang mendesak. Selain itu, Perppu Cipta Kerja didasarkan pada beberapa undang-undang yang sudah ada, seperti Undang-Undang Ketenagakerjaan, Undang-Undang Investasi, dan Undang-Undang Pajak.
Beberapa pakar dan ahli hukum juga mendukung penetapan Perppu tersebut. Menurut Guru Besar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum, Universitas Padjadjaran, Prof. Dr. I. Gede Pantja Astawa, S.H., M.H., penerbitan Perppu oleh Presiden merupakan hak istimewa subyektif yang diberikan secara atributif oleh UUD 1945, namun tidak lepas dari pengawasan DPR RI untuk menyetujui atau tidak menyetujuinya.
Sementara itu, Prof. Aidul Fitriciada Azhari, mantan Ketua Komisi Yudisial menyatakan bahwa Perppu bentuk kewenangan Presiden yang dibatasi melalui pengujian obyektivitas di DPR. Dukungan juga diberikan oleh Prof Nurhasan Ismail, guru besar UGM, yang menyebut kegentingan memaksa dalam penetapan Perppu dimaknai sebagai sikap antisipatif atas kondisi perekonomian dan kepastian hukum yang diperlukan dalam penciptaan lapangan kerja terutama dari sektor Usaha Mikro dan Kecil (UMK).
Begitu pula dengan Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Padjadjaran Prof Ahmad M. Ramli. Menurutnya, fungsi hukum selain untuk memberikan kepastian dan kemanfaatan juga berfungsi sebagai infrastruktur transformasi dan Perppu Cipta Kerja menjawab ketidakpastian dari UU Cipta Kerja pasca putusan MK pada Tahun 2021. Oleh karena itu, Menko Airlangga berharap bahwa pembahasan RUU Penetapan Perppu Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang agar mendapatkan persetujuan bersama dari DPR.
“Dalam hal DPR RI dapat menyetujui Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja dan menyepakati RUU Penetapan Perppu Cipta Kerja menjadi Undang-Undang, kami optimistis bahwa Pemerintah akan tetap dapat mempertahankan dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi dimana pada tahun 2022 kita dapat mencapai 5,31% yang merupakan capaian tertinggi selama masa Presiden Jokowi,” ungkap Menko Airlangga.
(nng)