Startup Menolak Tumbang

Sabtu, 18 Juli 2020 - 06:01 WIB
loading...
Startup Menolak Tumbang
Pada masa lalu UKM dianggap sebagai penggerak, bahkan penyelamat ekonomi ketika terjadi krisis. Foto/KOran SINDO
A A A
JAKARTA - Pelemahan ekonomi terjadi akibat pandemi Covid-19 . Bahkan, beberapa negara sudah mengalami resesi. Imbasnya, perusahaan besar, usaha kecil menengah (UKM), dan startup (usaha rintisan) pun ikut terdampak.

Pada masa lalu UKM dianggap sebagai penggerak, bahkan penyelamat ekonomi ketika terjadi krisis. Namun, kondisi saat ini agak berbeda, pelaku UKM banyak yang terdampak situasi tidak menguntungkan akibat wabah virus corona.

Kementerian Perindustrian mencatat, satu juta UKM dari segmen industri kecil menengah (IKM) terdampak pandemi dengan 3,4 juta tenaga kerja yang kena imbasnya. Kondisi startup, khususnya startup digital, agak lebih baik. Sekitar 42% dari total populasi startup digital masih mampu bertahan menghadapi pandemi.

Startup digital tentu memiliki strategi sendiri untuk memanjangkan usia bisnis mereka. Wahyoo, misalnya, aplikasi penyedia dan pengantar kebutuhan warung makan atau warteg ini langsung mengadopsi model bisnis baru.

"Saat karantina mandiri, tidak ada yang keluar rumah, otomatis warteg sepi, Wahyoo ikut terdampak. Namun, Wahyoo yang sudah berbentuk grup usaha ini melahirkan anak perusahaan baru berupa aplikasi Langganan dan usaha katering dengan nama Bekal Bekal," kata Peter Shearer, pendiri Wahyoo, di Jakarta, kemarin.

Aplikasi Langganan, masih satu konsep dengan Wahyoo. Namun, menyasar langsung konsumen. Menyediakan bahan makanan dengan harga grosir dan langsung diantar. Sementara, Bekal Bekal merupakan usaha baru dari Wahyoo untuk tetap membantu warteg yang selama ini menjadi mitra agar tetap bertahan.

"Membantu masyarakat yang ingin berhemat karena hanya dengan Rp15.000-Rp20.000 sudah dapat satu porsi makanan yang sudah diantar," katanya. (Baca: Kasus Djoko Tjandra, Pengamat: Mafia Sudah Tersebar di Semua Sektor)

Tentu ini juga bisa menjadi solusi bagi para pekerja yang sudah pergi ke kantor namun masih takut untuk makan di luar. Peter juga menjamin warteg yang dipesan dalam Bekal Bekal terjamin kebersihannya karena sudah lama menjadi mitra Wahyoo dan terlebih dahulu diperiksa tim Wahyoo. Hingga saat ini Bekal Bekal sudah ada di Jakarta, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Sementara untuk Langganan, masih terbatas di beberapa wilayah Ibu Kota.

Jika Wahyoo memiliki model bisnis baru untuk tetap menambah pendapatan mereka, lain lagi dengan Bahaso. Aplikasi bimbingan belajar bahasa asing ini sejak berdiri sudah memiliki model bisnis yang kuat dan tepat.

Tyovan Ari Widagdo, pendiri Bahaso, mengatakan, fondasi bisnis Bahaso sudah kokoh karena mereka sudah mencari pendapatan sejak awal. Income didapatkan dari keanggotaan belajar di Bahaso. Bahkan, di tengah situasi sulit yang dialami banyak startup digital, Bahaso masih bisa mengumpulkan pundi-pundinya melalui lini bisnis lain seperti berlangganan per sesi. "Startup identik dengan bakar uang pada awal, sebenarnya tidak masalah asal harus cermat berhitung sampai kapan akan seperti itu," sebutnya.

Tyovan mengatakan, semua bisnis digital ataupun konvensional dipastikan mengalami fase membakar uang karena dana besar memang dibutuhkan untuk kegiatan marketing. Biaya marketing sudah pasti dikeluarkan untuk promosi, meningkatkan brand awarness atau yang lainnya. Bahaso dari awal sudah melakukan penjualan dan menentukan anggaran promosi yang dikeluarkan untuk menghasilkan return yang jelas.

Strategi penting, yakni bagaimana mengelola pelanggan dengan cara membangun komunitas. "Tidak sekadar fokus dengan apa yang laku kita jual, tapi bagaimana kita memperlakukan para member seperti bagian dari Bahaso. Sehingga kalau sudah terbentuk komunitas akan lebih mudah, lebih powerful. Sehingga jika kita memiliki produk baru mereka merespons dengan baik," ucapnya. (Baca juga: Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Tergantung Perkembangan Perbankan)

Meluaskan pasar juga menjadi cara yang efektif untuk bisa bertahan. Bahaso kini menjaring anggota bekerja sama dengan sekolah, institusi, dan perusahaan. Strategi ini ampuh karena lebih menjanjikan. Anggota baru bertambah dan anggaran keanggotaan selalu ada.

"Inovasi seperti ini sudah dari dulu kami dilakukan untuk growth hacking karena kami tidak terlalu mengandalkan investor. Jadi dengan modal terbatas, kami masih terus berkembang," tambahnya.

Tyovan juga mengandalkan karyawan untuk bekerja keras karena mengejar suatu misi mulia, yakni meningkatkan level pendidikan dan ekonomi masyarakat Indonesia melalui penguasaan bahasa asing. Visi itu tertanam di benak karyawan. "Tim di sini bukan hanya bekerja nine to five setiap hari, namun ada misi yang harus diselesaikan," tutur pria berusia 30 tahun ini.

Strategi yang dilakukan Wahyoo dan Bahaso pada masa pandemi dinilai tepat. Menurut pakar pemasaran dari Universitas Bina Nusantara, Asnan Furinto, bagi startup digital harus menciptakan ekosistem dan network agar banyak pihak terlibat di platform tersebut. Kemudian jangan lupa juga untuk terus berinovasi terhadap produk atau jasa. Bisa melalui bundling dan lainnya tidak bisa fokus hanya satu produk. "Berikan rewards, points sebab perusahaan digital punya database lengkap dan terus ter-update. Jadi harus menjadi sumber costumer relationship manager," ungkapnya. (Baca juga: Putin Perintahkan Rusia Latihan Perang Besar-besaran dan Dadakan)

Sementara itu, untuk UKM atau IKM jika ingin terus eksis harus memperhatikan pemasaran dan produk. Produk yang dijual harus sesuai dengan kebutuhan masyarakat pada masa pandemi, bahkan new normal. Pastikan juga untuk hijrah menjadi pedagang online di platform marketplace atau memasarkan melalui media sosial.

Asnan melihat, persaingan ke depan akan semakin ketat karena pada era pandemi semua orang berjualan. "Sekarang semua jual makanan secara online. Jenisnya sama namun cara mengemasnya tentu berbeda. Yang unggul yang memikirkan makanannya sampai di tangan konsumen dengan aman, misalnya tidak tumpah dan rapi," kata Asnan.

Para pemilik bisnis dapat terus berupaya menyesuaikan produknya dengan kebutuhan konsumen. Misalnya, usaha pajangan di rumah dalam bentuk kerajinan tangan. Asnan meyakini, jika dibuat produk yang sudah jadi, kemungkinan jarang ada yang minat sehingga keterlibatan konsumen menjadi salah satu peluang.

"Melihat banyak orang di rumah dapat memanfaatkan untuk menambah aktivitas mereka. Dapat dibuat paket atau modul di mana konsumen dapat merangkai itu di rumah. Hasil dari buatan sendiri menjadi kepuasan tersendiri di hati konsumen," tambahnya. (Baca juga: Urine Chaterine Wilson Positif Mengandung Sabu-Sabu)

Menghadapi pukulan telak pandemi korona saat ini, hampir 50% perusahaan rintisan khususnya yang berbasis digital optimistis bisa bertahan hingga lebih dari satu tahun ke depan. Sebanyak 21% startup optimistis mampu bertahan hingga kuartal 1 2021. Riset Katadata Insight Center menyebutkan, sejumlah cara yang dilakukan startup digital untuk bisa bertahan di tengah pandemi. Sebagian besar melakukan pengurangan biaya operasional, melakukan pengurangan biaya promosi, dan mengurangi biaya produksi.

Survei yang dilakukan terhadap 139 eksekutif perusahaan startup digital pada Mei-Juni 2020 menunjukkan bahwa startup cenderung tidak melakukan banyak perubahan strategi pada masa pandemi. Perubahan yang dilakukan kebanyakan terkait jumlah dan jenis produk atau layanan. Hal ini dilakukan karena perubahan preferensi masyarakat yang cenderung mencari barang kebutuhan pokok dan yang terkait dengan kesehatan.

Survei terhadap jajaran eksekutif startup dari berbagai sektor ini juga menunjukkan bahwa sektor pariwisata, sektor ekosistem pendukung digitalisasi dan maritim paling terpukul. Adapun sektor sistem pembayaran, logistik, pertanian, kesehatan, teknologi informasi dan sektor pendidikan meski terkena dampak, kondisi perusahaan masih cukup baik. (Baca juga: Youtuber Cantik Aduhai Asal Batam Ini Diciduk Polisi)

Berbagai cara dilakukan pemilik usaha rintisan agar tetap bertahan. Misalnya membuat produk baru dengan berbeda segmen pasar dari yang biasa. Seperti yang dilakukan Mira Nur Gandaniati, pemilik tas kulit Zola. Biasanya menjual tas wanita dengan kulit yang harganya lebih dari Rp500.000. Kini, Mira memproduksi tas dengan kulit sintesis dengan brand baru bernama Hody.

"Model tas lebih kasual dan harga kurang dari Rp200.000. Meskipun menggunakan kulit sintesis, saya pilihkan yang premium sehingga kualitas tetap terjaga," kata Mira.

Mira menyadari, saat pandemi ini perilaku konsumen berubah. Kegiatan belanja banyak dilakukan ke sistem belanja online. Juga terjadi perubahan daya beli masyarakat yang sebelumnya biasa belanja mahal, kini memilih produk yang lebih murah. (Lihat videonya: Pemulung Bawa Uang Rp7 Juta Hasil Jual Bansos Covid-19)

"Kalau owner-nya saja sudah menyerah, pasti bisnisnya akan tutup. Kasihan para pekerja. Sebisa mungkin para pemilik bisnis untuk memutar otak dengan cepat jika sudah ada tanda-tanda penurunan penjualan," katanya.

Alhasil, seluruh karyawan beserta penjahit yang bekerja untuknya tidak ada yang dirumahkan, bahkan gaji dibayar tepat waktu beserta bonus sesuai prestasi. (Ananda Nararya/Aprilia S Andyna)
(ysw)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1291 seconds (0.1#10.140)