Anak Buah Sri Mulyani Jelaskan Kronologi Kasus Dugaan TPPU Impor Emas Rp189,7 Triliun
loading...
A
A
A
Berdasarkan kasus PT. Q serta ditemukannya kesamaan modus, PPATK menyampaikan SR-205/PR.01/V/2020 kepada DJBC by hand, berisi IHP atas grup perusahaan yang bergerak di bidang emas (9 WP Badan, 5 WP OP) dengan total nilai transaksi keuangan (keluar-masuk) sebesar Rp189,7 triliun. Selain itu sejak 2020 juga dilaksanakan tripartit yang merupakan forum intelijen Joint Analysis dengan callsign Jagadara (Juanda – Gatot Subroto – Rawamangun) dengan tujuan untuk optimalisasi penerimaan negara, antara PPATK, DJP, dan DJBC.
DJBC kemudian menindaklanjuti SR tersebut, salah satunya dengan analisis kepabeanan (ekspor-impor) dan disimpulkan belum ditemukan adanya indikasi pelanggaran pidana di bidang kepabeanan. Mempertimbangkan tidak adanya unsur pidana kepabeanan dan telah dilakukan penyidikan, divonis, namun kalah di tingkat peninjauan kembali (PK), maka dilakukan optimalisasi melalui tindak lanjut aspek perpajakan melalui surat PPATK nomor SR-595/PR.01/X/2020 yang disampaikan ke DJP.
"Data di SR tersebut dimanfaatkan DJP untuk pemeriksaan bukti permulaan terhadap PT. Q, sehingga WP melakukan Pengungkapan Ketidakbenaran dan diperoleh pembayaran sebesar Rp1,25 miliar serta berhasil mencegah restitusi LB SPT Tahunan 2016 yang sebelumnya diajukan oleh PT. Q sebesar Rp1,58 miliar. Sehingga, menjadi jelas bahwa Kemenkeu tidak mendiamkan apalagi menutup-nutupi data PPATK ke Bu Menteri. Semua dapat dijabarkan dengan akuntabel, transparan, bahkan digunakan untuk optimalisasi penerimaan," tegas Yustinus.
Bahkan, termasuk mengenai impor akan dibahas tuntas sesuai ketentuan, di mana yang mengajukan kasasi adalah Jaksa Penuntut Umum sesuai KUHAP. Tentunya, sebut dia, DJBC sebagai penyidik dan JPU memiliki posisi yang sama sehingga memutuskan untuk kasasi.
"Kemenkeu akan terus berkoordinasi dengan PPATK dan APH (aparat) lain, tentu dalam arahan Komite Nasional PP TPPU. Ini untuk memastikan tindak lanjut bersama sesuai kewenangan, apabila terdapat indikasi TPPU berdasarkan penyidikan pidana asal," pungkas Yustinus.
DJBC kemudian menindaklanjuti SR tersebut, salah satunya dengan analisis kepabeanan (ekspor-impor) dan disimpulkan belum ditemukan adanya indikasi pelanggaran pidana di bidang kepabeanan. Mempertimbangkan tidak adanya unsur pidana kepabeanan dan telah dilakukan penyidikan, divonis, namun kalah di tingkat peninjauan kembali (PK), maka dilakukan optimalisasi melalui tindak lanjut aspek perpajakan melalui surat PPATK nomor SR-595/PR.01/X/2020 yang disampaikan ke DJP.
"Data di SR tersebut dimanfaatkan DJP untuk pemeriksaan bukti permulaan terhadap PT. Q, sehingga WP melakukan Pengungkapan Ketidakbenaran dan diperoleh pembayaran sebesar Rp1,25 miliar serta berhasil mencegah restitusi LB SPT Tahunan 2016 yang sebelumnya diajukan oleh PT. Q sebesar Rp1,58 miliar. Sehingga, menjadi jelas bahwa Kemenkeu tidak mendiamkan apalagi menutup-nutupi data PPATK ke Bu Menteri. Semua dapat dijabarkan dengan akuntabel, transparan, bahkan digunakan untuk optimalisasi penerimaan," tegas Yustinus.
Bahkan, termasuk mengenai impor akan dibahas tuntas sesuai ketentuan, di mana yang mengajukan kasasi adalah Jaksa Penuntut Umum sesuai KUHAP. Tentunya, sebut dia, DJBC sebagai penyidik dan JPU memiliki posisi yang sama sehingga memutuskan untuk kasasi.
"Kemenkeu akan terus berkoordinasi dengan PPATK dan APH (aparat) lain, tentu dalam arahan Komite Nasional PP TPPU. Ini untuk memastikan tindak lanjut bersama sesuai kewenangan, apabila terdapat indikasi TPPU berdasarkan penyidikan pidana asal," pungkas Yustinus.
(uka)