CORE: Ancaman Resesi Ekonomi Nasional Sudah di Depan Mata
loading...
A
A
A
JAKARTA - Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal mengatakan, ancaman resesi ekonomi nasional sudah di depan mata. Kontraksi ekonomi diprediksi terjadi pada kuartal II dan III tahun 2020, walaupun diberlakukan kebijakan new normal sejak Juni 2020.
"Walaupun sekarang kita belum masuk ke dalam resesi, tapi kemungkinan besar kita perkirakan kontraksi ekonomi akan terjadi di kuartal kedua tahun ini dan juga kuartal ketiga," ujarnya pada CORE Mid Year Review 2020, Selasa (21/7/2020).
Faisal melanjutkan, jika hal tersebut terjadi maka menjadi resesi ekonomi pertama sejak tahun 1998 namun dengan karakteristik dan faktor pemicu yang berbeda dari resesi tahun 1998.
(SINDOgrafis: Kemiskinan di Tengah Resesi dan Gelombang PHK Bayangi Kondisi Ekonomi Indonesia)
CORE memprediksi jika puncak pandemi terjadi pada kuartal ketiga dan pemerintah tidak memberlakukan kembali pembatasan sosial berskala besar (PSBB), maka ekonomi Indonesia akan terkontraksi di kisaran -1,5%. Namun, jika angka kasus baru terus meningkat sepanjang tahun ini dan pemerintah kembali memberlakukan PSBB, maka CORE memperkirakan kontraksi ekonomi Indonesia bisa mencapai -3%.
"Kuartal II/2020 bisa minus 4% sampai minus 6%. Ini sangat bisa dimengerti. Pertambahan kasus Covid-19 ini masih meningkat bahkan saat new normal," jelasnya.
Dia menuturkan, konsumsi rumah tangga khususnya pada kelompok kelas menengah bawah mengalami tekanan paling besar akibat pandemi Covid-19. Tekanan konsumsi swasta paling besar terjadi pada kuartal kedua tahun ini dan diperkirakan mulai reda pada kuartal ketiga.
Sementara Indeks Penjualan Riil (IPR), indikator yang memotret perkembangan penjualan barang-barang konsumsi masyarakat terkontraksi -20,6% (yoy) pada bulan Mei.
"Pelemahan konsumsi rumah tangga ini terlihat dari indeks penjualan riil yang menurun tajam. Pada new normal tekanannya memang berkurang tetapi tetap akan terjadi kontraksi sekitar di angka minus 14%," jelasnya.
(Baca Juga: Ancaman Resesi Global di Depan Mata, Anggota G20 Rapatkan Barisan)
Sumber pertumbuhan ekonomi yang positif tahun ini adalah net-ekspor, meskipun relatif rendah. Namun, surplus ekspor tahun ini lebih didorong oleh penurunan impor, khususnya bahan baku dan penolong, dan bukan karena pertumbuhan ekspor.
"Jadi perbaikan neraca dagang ini sifatnya semu karena didorong kontraksi impor, bukan peningkatan ekspor. Prediksi kami sampai akhir tahun masih ada potensi surplus tapi surplusnya semakin lama semakin menyempit. Ini sejalan dengan berlakunya new normal dan aktivitas ekonomi akan bergerak kembali dan ini akan mendorong impor," kata Faisal.
Sementara investasi, lanjut Faisal, pembatasan sosial dan mobilitas berakibat demand shock yang menurunkan optimisme investasi PMA maupun PMDN. Tren relokasi investasi manufaktur keluar dari China terus terjadi saat pandemi. Hal ini bisa menjadi peluang bagi Indonesia untuk menarik investasi di sektor manufaktur.
"Ini peluang dengan adanya relokasi dari China tetapi kita harus bersaing dengan negara lain. Tidak mudah karena masih banyak hambatan seperti peringkat kemudahan berusaha masih lebih rendah di ASEAN," tandasnya.
"Walaupun sekarang kita belum masuk ke dalam resesi, tapi kemungkinan besar kita perkirakan kontraksi ekonomi akan terjadi di kuartal kedua tahun ini dan juga kuartal ketiga," ujarnya pada CORE Mid Year Review 2020, Selasa (21/7/2020).
Faisal melanjutkan, jika hal tersebut terjadi maka menjadi resesi ekonomi pertama sejak tahun 1998 namun dengan karakteristik dan faktor pemicu yang berbeda dari resesi tahun 1998.
(SINDOgrafis: Kemiskinan di Tengah Resesi dan Gelombang PHK Bayangi Kondisi Ekonomi Indonesia)
CORE memprediksi jika puncak pandemi terjadi pada kuartal ketiga dan pemerintah tidak memberlakukan kembali pembatasan sosial berskala besar (PSBB), maka ekonomi Indonesia akan terkontraksi di kisaran -1,5%. Namun, jika angka kasus baru terus meningkat sepanjang tahun ini dan pemerintah kembali memberlakukan PSBB, maka CORE memperkirakan kontraksi ekonomi Indonesia bisa mencapai -3%.
"Kuartal II/2020 bisa minus 4% sampai minus 6%. Ini sangat bisa dimengerti. Pertambahan kasus Covid-19 ini masih meningkat bahkan saat new normal," jelasnya.
Dia menuturkan, konsumsi rumah tangga khususnya pada kelompok kelas menengah bawah mengalami tekanan paling besar akibat pandemi Covid-19. Tekanan konsumsi swasta paling besar terjadi pada kuartal kedua tahun ini dan diperkirakan mulai reda pada kuartal ketiga.
Sementara Indeks Penjualan Riil (IPR), indikator yang memotret perkembangan penjualan barang-barang konsumsi masyarakat terkontraksi -20,6% (yoy) pada bulan Mei.
"Pelemahan konsumsi rumah tangga ini terlihat dari indeks penjualan riil yang menurun tajam. Pada new normal tekanannya memang berkurang tetapi tetap akan terjadi kontraksi sekitar di angka minus 14%," jelasnya.
(Baca Juga: Ancaman Resesi Global di Depan Mata, Anggota G20 Rapatkan Barisan)
Sumber pertumbuhan ekonomi yang positif tahun ini adalah net-ekspor, meskipun relatif rendah. Namun, surplus ekspor tahun ini lebih didorong oleh penurunan impor, khususnya bahan baku dan penolong, dan bukan karena pertumbuhan ekspor.
"Jadi perbaikan neraca dagang ini sifatnya semu karena didorong kontraksi impor, bukan peningkatan ekspor. Prediksi kami sampai akhir tahun masih ada potensi surplus tapi surplusnya semakin lama semakin menyempit. Ini sejalan dengan berlakunya new normal dan aktivitas ekonomi akan bergerak kembali dan ini akan mendorong impor," kata Faisal.
Sementara investasi, lanjut Faisal, pembatasan sosial dan mobilitas berakibat demand shock yang menurunkan optimisme investasi PMA maupun PMDN. Tren relokasi investasi manufaktur keluar dari China terus terjadi saat pandemi. Hal ini bisa menjadi peluang bagi Indonesia untuk menarik investasi di sektor manufaktur.
"Ini peluang dengan adanya relokasi dari China tetapi kita harus bersaing dengan negara lain. Tidak mudah karena masih banyak hambatan seperti peringkat kemudahan berusaha masih lebih rendah di ASEAN," tandasnya.
(fai)