Tjio Wie Tay Pendiri Gunung Agung yang Sukses Berkat Keberanian dan Pesan Bung Karno
loading...
A
A
A
JAKARTA - Tjio Wie Tay pendiri dari Toko Gunung Agung merupakan sosok pemberani . Sikap berani itulah yang mengantarkan kesuksesan pria yang lebih dikenal Masagung ini.
Wie Tay yang lahir pada 8 September 1927 ini menjadi anak yatim ketika masih berusia empat tahun dan hidup dalam keadaan ekonomi yang sangat sulit.
Wie Tay tumbuh sebagai anak nakal yang sering berkelahi. Ia juga punya kebiasaan "suka mencuri" buku-buku pelajaran kakak-kakaknya untuk dijual di Pasar Senen guna mendapatkan uang saku. Kenakalan itu membuatnya tak bisa menyelesaikan sekolah, meski sudah dikirim sampai ke Bogor dan sempat masuk di dua sekolah berbeda.
Sebagai anak pemberani, Wie Tay tidak takut berkenalan dengan siapa saja, termasuk dengan tentara Jepang yang kala itu mulai masuk ke Banten. Dari sikap berani itu, ia mendapatkan sebuah sepeda dari seorang tentara Jepang.
Keberanian itu jualah yang kemudian membawa masuk ke dalam dunia bisnis. Tidak bisa dimungkiri, keberaniannya itu menjadi salah satu senjata andalan dalam menggerakkan roda bisnis.
Saat berusia 13 tahun, Wie Tay harus kembali ke Jakarta lantaran diusir oleh pamannya. Saat kembali dia berhadapan dengan kenyataan bahwa keadaan ekonomi ibunya belum membaik juga. Dia pun memutuskan harus mencari uang sendiri.
Awalnya, ia kembali ke kebiasaan lama mencuri buku pelajaran kakaknya untuk dijual guna mendapatkan 50 sen. Setelah stok buku pelajaran habis, ia mencoba menjadi "manusia karet di panggung pertunjukkan" senam dan aerobatik, walaupun penghasilannya ternyata tidak seberapa banyak.
Wie Tay kemudian banting setir menjadi pedagang rokok keliling. Di sinilah sifat beraninya kembali terlihat. Ia nekat menemui Lie Tay San, seorang saudagar rokok besar kala itu. Dengan modal 50 sen, Wie Tay memulai usaha menjual rokok keliling di daerah Senen dan Glodok.
Ia pun mulai rajin menabung karena merasakan betapa susah mencari uang. Hasil tabungannya kemudian dibelikan sebuah meja sebagai tempat berjualan di daerah Glodok. Karena belum memiliki kios sendiri, meja tersebut dititipkan pada sebuah toko onderdil di Glodok, sampai akhirnya ia mampu membuka kios di Senen.
Ketika berdagangan rokok, pergaulannya menjadi bertambah luas. Wie Tay mengetahui ada tempat partai rokok besar selain Lie Tay San, yaitu di Pasar Pagi. Setelah membuka kios dia mulai membeli rokok di Pasar Pagi. Di sinilah dia berkenalan dengan The Kie Hoat, pekerja di perusahaan rokok Perola, salah satu merek rokok laris kala itu. The Kie Hoat kemudian akrab dengan Wie Tay dan Lie Tay San.
Singkat cerita, ketiga sahabat ini kemudian bergabung dan mendirikan usaha bersama pada tahun 1945 bernama Tay San Kongsie. Ini adalah awal pergulatan serius Wie Tay dalam dunia bisnis. Mereka memang masih menjual rokok, tetapi melebar ke agen bir cap Burung Kenari. Pada saat bersamaan mereka juga mulai serius berbisnis buku.
Atas bantuan seorang kerabat, mereka bisa menjual buku-buku berbahasa Belanda yang diimpor dari luar. Buku-buku yang dijual mereka ternyata laku keras. Mereka berjualan di lapangan Kramat Bunder, tidak jauh dari rumah Lie Tay San. Lantaran keuntungan dari penjualan buku sangat besar, mereka lalu memutuskan berhenti berjualan rokok dan berkonsentrasi hanya menjual buku dan alat tulis menulis.
Tahun 1948, mereka sepakat mengukuhkan bisnis mereka dalam bentuk firma, menjadi Firma Tay San Kongsie. Saham terbesar dimiliki Lie Tay San (40%), The Kie Hoat (27%) dan Wie Tay (33%). Wie Tay ditunjuk memimpin perusahaan ini. Mereka kemudian membuka toko di kawasan Kwitang. Ketika orang-orang Belanda hendak meninggalkan Indonesia, Wie Tay mendatangi rumah orang-orang Belanda tersebut dan meminta buku-buku bekas mereka untuk dijual dengan harga murah.
Usai menikahi Hian Nio pada 13 Mei 1951, Wie Tay berpikir untuk mengembangkan usaha menjadi besar. Dia mengusulkan kepada kedua rekannya untuk menambah modal. Namun Lie Tay San keberatan, dia memutuskan mundur dan tetap dengan toko bukunya di lapangan Kramat Bunder (kini Toko Buku Kramat Bundar).
Tjio Wie Tay bersama The Kie Hoat membangun toko sendiri di Jl. Kwitang No 13, sekarang menjadi Gedung Idayu dan Toko Walisongo. Saat itu, Kwitang masih sepi. Ketika Wie Tay membuka toko di sana, keramaian mulai tercipta.
Suatu ketika, Tjio Wie Tay harus mencari nama untuk toko barunya. Nama toko baru itu muncul dari terjemahan namanya sendiri ke dalam bahasa Indonesia. Tjio Wie Tay dalam bahasa Indonesia berarti Gunung Besar atau Gunung Gede tetapi Wie Tay mengubahnya menjadi Gunung Agung.
Pelan tapi pasti, Toko Gunung Agung terus membesar. Melihat perkembangan ini, tercetuslah ide untuk membina usaha dengan kalangan yang dekat dengan buku, antara lain kalangan wartawan dan pengarang. Sejumlah wartawan senior kala itu ikut bergabung, termasuk sejumlah saudagar tingkat atas. Tidak heran kalau buku-buku yang diterbitkan pada awal berdirinya adalah buku-buku sastra tulisan tangan para orang dalam tersebut. Bentuk usaha firma lalu diubah menjadi NV.
Saat peresmian NV Gunung Agung, Wie Tay membuat gebrakan dengan menggelar pameran buku pada 8 September 1953. Dengan modal Rp500 ribu, mereka berhasil memamerkan sekitar 10 ribu buku. Tanggal ini yang kemudian dianggap sebagai hari lahirnya Toko Gunung Agung--yang juga menjadi hari kelahiran Wie Tay.
Pameran buku itu menjadi jalan Wie Tay berkenalan dengan tokoh kebangsaan yang diidolakan, Bung Karno dan Bung Hatta pada 1954. Sukses menyelenggarakan Pekan Buku Nasional dan kedekatannya dengan Bung Karno, membuat Gunung Agung dipercaya membantu pemerintah menyelenggarakan pameran buku di Medan dalam rangka Kongres Bahasa Indonesia pada tahun yang sama.
Dari sana dilanjutkan dengan pembukaan Cabang Gunung Agung di Yogyakarta, 1955. Tahun 1956, kembali Gunung Agung diminta pemerintah menyelenggarakan pameran buku di Malaka dan Singapura.Tahun 1963, Toko Gunung Agung sudah memiliki sebuah gedung megah berlantai tiga di Jl Kwitang 6. Acara ulang tahun ke-10 tersebut yang diikuti dengan peresmian gedung tersebut dihadiri langsung Bung Karno. Pada tahun itu juga, tepatnya 26 Agustus 1963, Wie Tay berganti nama menjadi Masagung.
Masagung mengakui bahwa Bung Karno adalah sosok yang paling berpengaruh dalam bisnis penerbitan dan toko buku. Makanya, ia selalu teringat akan pesan Bung Karno padanya. "Masagung, saya ingin saudara meneruskan kegiatan penerbitan. Ini sangat bermanfaat untuk mencerdaskan bangsa, jadi jangan ditinggalkan," ujar Bung Karno.
Bung Karno menyerahkan kepercayaan kepada Masagung untuk menerbitkan dan memasarkan buku-bukunya semacam Di Bawah Bendera Revolusi (2 jilid), Biografi Bung Karno tulisan wartawan AS, Cindy Adams, buku koleksi lukisan Bung Karno (5 jilid), serta sejumlah buku tentang Bung Karno lainnya. Penerbitan buku-buku Bung Karno inilah yang membawa Gunung Agung menanjak.
Ternyata, kepak sayap bisnis Masagung tidak sebatas toko buku dan penerbitan. Ia juga merambah bisnis lain. Ia tercatat mengelola bisnis ritel bekerja sama dengan Departement Store Sarinah di Jl MH Thamrin, lalu masuk ke Duty Free Shop, money changer, dan perhotelan. Kini juga mengageni pena Parker, rokok Dunhill, dan Rothmans, majalah Time, sampai komputer Honeywell.
Ia juga mendirikan PT Jaya Bali Agung, sebuah perusahaan pariwisata. Ia juga pernah menjadi Direktur PT Jaya Mandarin Agung, pengelola Hotel Mandarin, Jakarta, sebuah usaha patungan dengan Hong Kong.
Baca Juga
Wie Tay yang lahir pada 8 September 1927 ini menjadi anak yatim ketika masih berusia empat tahun dan hidup dalam keadaan ekonomi yang sangat sulit.
Wie Tay tumbuh sebagai anak nakal yang sering berkelahi. Ia juga punya kebiasaan "suka mencuri" buku-buku pelajaran kakak-kakaknya untuk dijual di Pasar Senen guna mendapatkan uang saku. Kenakalan itu membuatnya tak bisa menyelesaikan sekolah, meski sudah dikirim sampai ke Bogor dan sempat masuk di dua sekolah berbeda.
Sebagai anak pemberani, Wie Tay tidak takut berkenalan dengan siapa saja, termasuk dengan tentara Jepang yang kala itu mulai masuk ke Banten. Dari sikap berani itu, ia mendapatkan sebuah sepeda dari seorang tentara Jepang.
Keberanian itu jualah yang kemudian membawa masuk ke dalam dunia bisnis. Tidak bisa dimungkiri, keberaniannya itu menjadi salah satu senjata andalan dalam menggerakkan roda bisnis.
Saat berusia 13 tahun, Wie Tay harus kembali ke Jakarta lantaran diusir oleh pamannya. Saat kembali dia berhadapan dengan kenyataan bahwa keadaan ekonomi ibunya belum membaik juga. Dia pun memutuskan harus mencari uang sendiri.
Awalnya, ia kembali ke kebiasaan lama mencuri buku pelajaran kakaknya untuk dijual guna mendapatkan 50 sen. Setelah stok buku pelajaran habis, ia mencoba menjadi "manusia karet di panggung pertunjukkan" senam dan aerobatik, walaupun penghasilannya ternyata tidak seberapa banyak.
Wie Tay kemudian banting setir menjadi pedagang rokok keliling. Di sinilah sifat beraninya kembali terlihat. Ia nekat menemui Lie Tay San, seorang saudagar rokok besar kala itu. Dengan modal 50 sen, Wie Tay memulai usaha menjual rokok keliling di daerah Senen dan Glodok.
Ia pun mulai rajin menabung karena merasakan betapa susah mencari uang. Hasil tabungannya kemudian dibelikan sebuah meja sebagai tempat berjualan di daerah Glodok. Karena belum memiliki kios sendiri, meja tersebut dititipkan pada sebuah toko onderdil di Glodok, sampai akhirnya ia mampu membuka kios di Senen.
Ketika berdagangan rokok, pergaulannya menjadi bertambah luas. Wie Tay mengetahui ada tempat partai rokok besar selain Lie Tay San, yaitu di Pasar Pagi. Setelah membuka kios dia mulai membeli rokok di Pasar Pagi. Di sinilah dia berkenalan dengan The Kie Hoat, pekerja di perusahaan rokok Perola, salah satu merek rokok laris kala itu. The Kie Hoat kemudian akrab dengan Wie Tay dan Lie Tay San.
Singkat cerita, ketiga sahabat ini kemudian bergabung dan mendirikan usaha bersama pada tahun 1945 bernama Tay San Kongsie. Ini adalah awal pergulatan serius Wie Tay dalam dunia bisnis. Mereka memang masih menjual rokok, tetapi melebar ke agen bir cap Burung Kenari. Pada saat bersamaan mereka juga mulai serius berbisnis buku.
Atas bantuan seorang kerabat, mereka bisa menjual buku-buku berbahasa Belanda yang diimpor dari luar. Buku-buku yang dijual mereka ternyata laku keras. Mereka berjualan di lapangan Kramat Bunder, tidak jauh dari rumah Lie Tay San. Lantaran keuntungan dari penjualan buku sangat besar, mereka lalu memutuskan berhenti berjualan rokok dan berkonsentrasi hanya menjual buku dan alat tulis menulis.
Tahun 1948, mereka sepakat mengukuhkan bisnis mereka dalam bentuk firma, menjadi Firma Tay San Kongsie. Saham terbesar dimiliki Lie Tay San (40%), The Kie Hoat (27%) dan Wie Tay (33%). Wie Tay ditunjuk memimpin perusahaan ini. Mereka kemudian membuka toko di kawasan Kwitang. Ketika orang-orang Belanda hendak meninggalkan Indonesia, Wie Tay mendatangi rumah orang-orang Belanda tersebut dan meminta buku-buku bekas mereka untuk dijual dengan harga murah.
Usai menikahi Hian Nio pada 13 Mei 1951, Wie Tay berpikir untuk mengembangkan usaha menjadi besar. Dia mengusulkan kepada kedua rekannya untuk menambah modal. Namun Lie Tay San keberatan, dia memutuskan mundur dan tetap dengan toko bukunya di lapangan Kramat Bunder (kini Toko Buku Kramat Bundar).
Tjio Wie Tay bersama The Kie Hoat membangun toko sendiri di Jl. Kwitang No 13, sekarang menjadi Gedung Idayu dan Toko Walisongo. Saat itu, Kwitang masih sepi. Ketika Wie Tay membuka toko di sana, keramaian mulai tercipta.
Suatu ketika, Tjio Wie Tay harus mencari nama untuk toko barunya. Nama toko baru itu muncul dari terjemahan namanya sendiri ke dalam bahasa Indonesia. Tjio Wie Tay dalam bahasa Indonesia berarti Gunung Besar atau Gunung Gede tetapi Wie Tay mengubahnya menjadi Gunung Agung.
Pelan tapi pasti, Toko Gunung Agung terus membesar. Melihat perkembangan ini, tercetuslah ide untuk membina usaha dengan kalangan yang dekat dengan buku, antara lain kalangan wartawan dan pengarang. Sejumlah wartawan senior kala itu ikut bergabung, termasuk sejumlah saudagar tingkat atas. Tidak heran kalau buku-buku yang diterbitkan pada awal berdirinya adalah buku-buku sastra tulisan tangan para orang dalam tersebut. Bentuk usaha firma lalu diubah menjadi NV.
Saat peresmian NV Gunung Agung, Wie Tay membuat gebrakan dengan menggelar pameran buku pada 8 September 1953. Dengan modal Rp500 ribu, mereka berhasil memamerkan sekitar 10 ribu buku. Tanggal ini yang kemudian dianggap sebagai hari lahirnya Toko Gunung Agung--yang juga menjadi hari kelahiran Wie Tay.
Pameran buku itu menjadi jalan Wie Tay berkenalan dengan tokoh kebangsaan yang diidolakan, Bung Karno dan Bung Hatta pada 1954. Sukses menyelenggarakan Pekan Buku Nasional dan kedekatannya dengan Bung Karno, membuat Gunung Agung dipercaya membantu pemerintah menyelenggarakan pameran buku di Medan dalam rangka Kongres Bahasa Indonesia pada tahun yang sama.
Dari sana dilanjutkan dengan pembukaan Cabang Gunung Agung di Yogyakarta, 1955. Tahun 1956, kembali Gunung Agung diminta pemerintah menyelenggarakan pameran buku di Malaka dan Singapura.Tahun 1963, Toko Gunung Agung sudah memiliki sebuah gedung megah berlantai tiga di Jl Kwitang 6. Acara ulang tahun ke-10 tersebut yang diikuti dengan peresmian gedung tersebut dihadiri langsung Bung Karno. Pada tahun itu juga, tepatnya 26 Agustus 1963, Wie Tay berganti nama menjadi Masagung.
Masagung mengakui bahwa Bung Karno adalah sosok yang paling berpengaruh dalam bisnis penerbitan dan toko buku. Makanya, ia selalu teringat akan pesan Bung Karno padanya. "Masagung, saya ingin saudara meneruskan kegiatan penerbitan. Ini sangat bermanfaat untuk mencerdaskan bangsa, jadi jangan ditinggalkan," ujar Bung Karno.
Bung Karno menyerahkan kepercayaan kepada Masagung untuk menerbitkan dan memasarkan buku-bukunya semacam Di Bawah Bendera Revolusi (2 jilid), Biografi Bung Karno tulisan wartawan AS, Cindy Adams, buku koleksi lukisan Bung Karno (5 jilid), serta sejumlah buku tentang Bung Karno lainnya. Penerbitan buku-buku Bung Karno inilah yang membawa Gunung Agung menanjak.
Ternyata, kepak sayap bisnis Masagung tidak sebatas toko buku dan penerbitan. Ia juga merambah bisnis lain. Ia tercatat mengelola bisnis ritel bekerja sama dengan Departement Store Sarinah di Jl MH Thamrin, lalu masuk ke Duty Free Shop, money changer, dan perhotelan. Kini juga mengageni pena Parker, rokok Dunhill, dan Rothmans, majalah Time, sampai komputer Honeywell.
Ia juga mendirikan PT Jaya Bali Agung, sebuah perusahaan pariwisata. Ia juga pernah menjadi Direktur PT Jaya Mandarin Agung, pengelola Hotel Mandarin, Jakarta, sebuah usaha patungan dengan Hong Kong.
(uka)