Penyederhanaan Cukai Ancam Keberlangsungan Industri Hasil Tembakau

Sabtu, 25 Juli 2020 - 08:53 WIB
loading...
Penyederhanaan Cukai...
Foto: dok/SINDOphoto
A A A
JAKARTA - Kementerian Keuangan (Kemenkeu) akan menyederhanakan tarif cukai hasil tembakau (CHT) sebagaimana tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No77 Tahun 2020. Kebijakan tersebut untuk mengurai masalah prevalensi perokok muda dan sarana untuk reformasi fiskal.

Namun rencana tersebut mendapat tentangan dari sebagian pelaku di Industri Hasil Tembakau (IHT), khususnya yang tergolong pelaku industri kecil dan menengah. Ketua Gabungan Pengusaha Rokok Surabaya (Gapero) Sulami Bahar mengatakan penyederhanaan tarif cukai akan membuat keberadaan pabrikan kecil dan menengah tergerus.

Hal itu bisa terjadi karena perusahaan rokok kecil di daerah harus membayar cukai sama besarnya dengan yang dibayar perusahaan rokok besar, dari luar negeri pula. Pabrik-pabrik rokok kecil di daerah bisa mati. (Baca:

“Nanti kalau jadi seperti itu, akhirnya harga rokok menjadi sangat melambung dan daya beli konsumen tidak menutupi, akhirnya larinya ke rokok yang murah atau ilegal,” ungkap Sulami. (Baca: WHO Dukung Kebijakan Penyedehanaan Struktur Tarif Cukai Rokok)

Juni lalu, lembaga riset Forum for Socio Economic Studies (Foses) menyatakan jika aturan simplikasi tarif kembali diterapkan berdampak negatif terhadap industri dan tenaga kerja.

Hal ini ditunjukkan dari simulasi penyederhanaan struktur tarif cukai model estimasi simplifikasi dari 10 layer ke 6 layer. Hasilnya, setiap terjadi pengurangan 1 layer dari struktur tarif cukai hasil tembakau (CHT) akan berpotensi pada turunnya volume produksi rokok SKM sebesar 7%, SKT sebesar 9% dan SPM sebesar 6%.

Ketua tim riset Foses Putra Perdana mengatakan simulasi jika penyederhanaan tarif CHT terus dilanjutkan, berdampak negative pada tenaga kerja dan volume produksi rokok. Artinya, ada indikasi penyederhanaan tarif CHT dari 10 layer menjadi 6 layer berpotensi menurunkan tenaga kerja IHT sebesar 18,4% dan menurunkan volume produksi rokok sebesar 3,6%. (Baca juga: Kemegahan Hagia Sophia Kembali Terpancar dengan Salat Jumat Pertama)

Jika ditelusuri dari implementasi kebijakannya, pihaknya melihat implementasi Peraturan Menteri Keuangan (PMK) selama periode 2015-2018 selalu memberikan pengaruh negatif terhadap jumlah tenaga kerja di sektor IHT. “PMK yang terbit 2016, 2017 dan 2018 secara berturut-turut terindikasi berkontribusi pada penurunan jumlah tenaga kerja IHT sebesar 7,77%, 4,26% dan 4,88%,” kata Putra.

Ketua Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) Henry Najoan memprediksi akan ada penurunan signifikan akibat merosotnya penjualan rokok di tengah pandemi Covid-19. Penerimaan negara dari cukai cenderung tetap, namun penurunan justru terjadi di ranah kemampuan produksi pabrikan rokok.

Hal ini sebagian besar dipengaruhi kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di sejumlah wilayah yang menjadi sentra tembakau, terutama di Jawa Timur dan Jawa Tengah. “Pada 2020 ini, estimasi penerimaan negara dari cukai akan sama dengan 2019 atau sekitar Rp165 triliun, sementara penurunan volume produksi dari IHT justru akan turun 13-23%,” tutur Henry. (Baca: Lihat videonya: Usai Memesan Minuman, Seorang Pengunjung Warkop Tiba-tiba Meninggal)

Terlepas dari berbagai tekanan yang dialami pelaku IHT dan pengaruhnya dalam jangka panjang, pemerintah tetap memutuskan untuk kembali melakukan pembahasan soal penyederhanaan struktur tarif cukai tembakau.

Hal ini disampaikan Kepala Pusat Kebijakan Pendapatan Negara (PKPN) Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu Pande Putu Oka. “Simplifikasi tarif ini memang sudah masuk roadmap. PMK 77/2020 ini baru saja terbit, akan membutuhkan waktu dan diskusi dalam implementasinya karena memiliki dampak ekonomi yang luas,” kata Pande. (Sudarsono)
(ysw)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2160 seconds (0.1#10.140)