Problem Manajemen dan Solusi dari Sisi Ontologi-Epistemologi

Selasa, 29 November 2016 - 08:00 WIB
Problem Manajemen dan Solusi dari Sisi Ontologi-Epistemologi
Problem Manajemen dan Solusi dari Sisi Ontologi-Epistemologi
A A A
Dr Rudolf Tjandra
C Level Executive with Indonesia's Leading FMCG Company

DI dalam dunia manajemen semua problem dapat dikategorikan secara umum sebagai tame problem dan wicked problem. Tame problem bisa jadi adalah sebuah atau serangkaian problem yang sifatnya open-ended – problem ditemukan, dicarikan solusinya, problem selesai.

Mungkin juga tame problem adalah sebuah rangkaian masalah yang penuh komplikasi. Namun dengan waktu dan metode yang tepat dapat diselesaikan dengan baik dan membuahkan hasil akhir yang baik pula. Metode pemecahan tame problem umumnya dapat ditemukan dengan misalnya menerapkan best practice dengan ilmu dan pengetahuan yang kita pelajari dari pengalaman, riset, dan temuan.

Best practice pada intinya adalah serangkaian programmed knowledge yang dapat dipelajari dan dikuasai oleh praktisi manajemen melalui pendidikan atau pengalaman. Berbagai masalah yang kita temui dalam organisasi: motivasi karyawan, desain organisasi, pengelolaan distribusi, serta manajemen demand dan supply adalah masalah tame.

Tame problem
membutuhkan gaya kepemimpinan yang kalkulatif yang mampu menggabungkan gaya manajemen ’command & control’ dengan gaya yang ’collaborative’.

Sementara wicked problem, menurut Rittell and Webber (1973), adalah problem yang bukan hanya kompleks dan penuh dengan segala komplikasi tetapi juga sangat sulit untuk di pinpoint mana awal, tengah, dan ujung dari permasalahannya. Solusi yang diterapkan kemungkinan besar akan berakhir kepada permasalahan baru.

Salah satu contoh adalah bagaimana misalnya kita dapat menerapkan sistem manajemen yang partisipatif dalam situasi dan kultur yang mengedepankan penunjukan rasa hormat kepada yang lebih tua, lebih berpengalaman, dan lebih berkuasa. Bagaimana pula kita dapat melahirkan anak-anak sekolah yang kritis dan kreatif dalam sebuah kultur, di mana guru selalu benar dan murid hanya perlu menyimak dan mendengarkan dengan seksama?

Kemacetan di Ibu Kota menurut saya adalah suatu bentuk wicked problem. Satu solusi yang diterapkan menghasilkan problem lainnya dan membutuhkan investasi yang terus-menerus.

Ketika berhadapan dengan melemahnya toleransi antarumat beragama, pimpinan negara juga menghadapi wicked problem. Setiap aksi dan non-aksi hanya akan menyinggung satu pihak atau lainnya. Tanpa legal framework dan kemampuan untuk menerapkan keputusan legalitas sangatlah sulit diharapkan akan terjadi banyak perbaikan terhadap wicked problem ini.

Belum lagi dalam setiap wicked problem terdapat aktor-aktor yang memiliki kepentingan yang berbeda, perhitungan keuntungan yang berbeda. Karenanya aksi dan reaksinya pun berbeda pula. Jalan teraman adalah menghindari problem yang ada dengan pertanyaan ”kita semua harus bersabar, menahan diri, meningkatkan toleransi”.

Wicked problem bukan juga tanpa solusi tapi fokus kita harus beralih dari sekadar mencari solusi terhadap problem yang memang sangat kompleks tapi pemecahan wicked problem membutuhkan aplikasi ’insightful questioning’ yang sangat persisten dan penuh konsistensi. Smith (1997) misalnya menganjurkan agar kita dapat membuat pola yang seimbang antara programmed learning (P) dengan insightful questioning (Q).

Dalam praktiknya kita berbicara tentang belajar, pengembangan kemampuan, dan pengetahuan melalui pendidikan serta kurikukum formal. Selanjutnya menggabungkannya dengan menciptakan kebiasaan untuk mempertanyakan apa yang sedang kita pelajari, apa yang kita ketahui, dan apa yang tidak kita ketahui.

Kebenaran dalam hal ini bukanlah hal yang mutlak dan jawaban terhadap wicked problem berkembang serta berevolusi sesuai keadaan yang berlaku. Wicked problem pada intinya membawa kita kepada kebutuhan akan kemampuan untuk me-manage perubahan.

Saya sendiri condong kepada pola pikir yang didasari classical economic theory yang menyatakan bahwa organisasi bisnis adalah sebuah ’purposeful entity’ yang gerak-gerik dan tindak tanduknya lebih bersifat natural daripada planned (terencanakan). Perubahan tidak terjadi dengan tiba-tiba tapi melalui tahap evolusi dan bersifat incremental.

Melihat dengan perspektif ini saya yakin bahwa perubahan adalah bagian tidak terpisahkan dari aksi dan reaksi sebuah organisasi. Lahan dan latar belakang, di mana organisasi harus berkompetisi dan berkembang dipenuhi dengan constant flux yang sewaktu-waktu mebuat apa yang kita rasakan sebagi kestabilan tiba-tiba tergoyahkan.

Perubahan adalah sesuatu yang berasal dari evolusi berkesinambungan yang bersifat ’emergent’ dan bukan sekadar deliberasi terencana. Di tengah evolusi yang terus bergulir, perubahan akan secara natural terjadi agar organisasi/perusahaan dapat dengan tepat memformulasikan, membuat rencana, dan mengimplimentasikan strategi yang sesuai dengan keadaan terakhir dan keadaan yang segera berlaku di lingkungan mereka.

Me-manage perubahan dengan sukses memang bukan hal yang gampang. Memang tidak mudah. Berbagai praktisi dan akademis ternama seperti Kotter (1996) dan Cadwell (2003) membuktikan pentingnya peran seorang pemimpin dalam membawa sebuah organisasi dalam meraih kemenangan atas berbagai wicked problem yang harus dihadapi.

Untuk menggulirkan perubahan kita memerlukan pimpinan yang mampu mendefinisikan seperti apa masa depan yang harus diraih (sense-making), mengajak semua elemen dalam organisasi/komunitas untuk merangkul visi tersebut, dan terus memberikan inspirasi agar setahap demi setahap semuanya dapat menjadi kenyataan.
(poe)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5614 seconds (0.1#10.140)