Beleid Anyar EBT Bakal Dirilis, Pungutan Air yang Mahal Bisa Diberantas
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pemerintah tengah menggodok rancangan peraturan presiden (perpres) yang mengatur harga listrik energi baru terbarukan (EBT) . Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM F.X. Sutijastoto mengatakan, Kementerian ESDM terus melakukan komunikasi dengan kementerian terkait agar beleid itu cepat diselesaikan.
"Sedang dibahas antarkementerian. Ya semoga sebelum akhir tahun sudah selesai," ujarnya pada konferensi pers virtual di Jakarta, Selasa (28/7/2020).
Dia meyakini, aturan itu telah mendapat dukungan penuh dari para pengusaha EBT. Keyakinan itu ditunjukkan dengan adanya sinergi komunikasi kepada mereka selama proses penyusunan regulasi.
"Ini kita susun bersama dengan para pelaku usaha. Jadi kita komunikasikan dan melakukan benchmarking terhadap proyek-proyek yang ada. Fasilitasi ini diharapkan mendukung pendanaan bagi dunia usaha mereka," ungkapnya.
Menurut Sutijastoto, saat ini dengan mengandalkan peraturan menteri (permen) ESDM saja belum cukup menstimulus lahirnya kontrak-kontrak EBT yang baru. Untuk itu, pemerintah berupaya membangun level playing field dengan perpres EBT.
"Makanya untuk membangun level kompetitif, harga EBT nanti ditentukan melalui perpres. Ini sangat penting," tuturnya. ( Baca juga:PLN Terus Dorong Penggunaan Energi Ramah Lingkungan )
Sutijastoto melanjutkan, belum optimalnya pasar EBT di Indonesia menjadi tantangan tersendiri mengingat skala keekonomian sering kali dianggap kurang kompetitif ditandai dengan tingginya harga beli EBT.
"Pabrikan-pabrikan PLTS kita itu baru pabrikan solar panel. Itupun kapasitasnya kecil-kecil, paling besar 100 mega watt (MW). Apalagi bahan bakunya masih impor, akibatnya harganya cukup tinggi," jelasnya.
Dia membandingkan, harga PLTS di Indonesia telah mencapai USD1 per watt peak, sementara di Tiongkok sudah berada di level USD20-30 sen per watt peak dengan kapasitas 500 MW hingga 1.000 MW.
"Perpres EBT mampu menjadi jawaban atas berbagai permasalahan saat ini dengan memberikan net benefit yang positif," imbuhnya.
Urgensi lain dari pembentukan rancangan perpres ini adalah belum ada kontrak atau power purchase agreement (PPA) pembangkit independent power producer (IPP) yang proses pengadaannya mengikuti ketentuan yang diatur dalam Permen ESDM No. 50 Tahun 2017 tentang Pemanfaatan Sumber Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik.
Pemerintah berharap beleid baru ini mendapat dukungan dari berbagai stakeholder terkait. Dukungan ini menjadi bagian dari sinergi dan sinkronisasi atas instrumen kebijakan yang akan dijalankan di kemudian hari.
"Ini yang terjadi di PLTA, pungutan air baik pusat maupun di daerah cukup besar bahkan sampai Rp250 per kWh. Ini yang sedang kita perbaiki," kata Sutijastoto.
Direktur Aneka Energi Harris menambahkan, mekanisme penentuan harga yang akan ditentukan dalam rancangan perpres EBT.
"Jadi hanya ada tiga, yaitu harga feed in tariff, harga patokan tertinggi (HPT), dan harga kesepakatan," ujarnya.
"Sedang dibahas antarkementerian. Ya semoga sebelum akhir tahun sudah selesai," ujarnya pada konferensi pers virtual di Jakarta, Selasa (28/7/2020).
Dia meyakini, aturan itu telah mendapat dukungan penuh dari para pengusaha EBT. Keyakinan itu ditunjukkan dengan adanya sinergi komunikasi kepada mereka selama proses penyusunan regulasi.
"Ini kita susun bersama dengan para pelaku usaha. Jadi kita komunikasikan dan melakukan benchmarking terhadap proyek-proyek yang ada. Fasilitasi ini diharapkan mendukung pendanaan bagi dunia usaha mereka," ungkapnya.
Menurut Sutijastoto, saat ini dengan mengandalkan peraturan menteri (permen) ESDM saja belum cukup menstimulus lahirnya kontrak-kontrak EBT yang baru. Untuk itu, pemerintah berupaya membangun level playing field dengan perpres EBT.
"Makanya untuk membangun level kompetitif, harga EBT nanti ditentukan melalui perpres. Ini sangat penting," tuturnya. ( Baca juga:PLN Terus Dorong Penggunaan Energi Ramah Lingkungan )
Sutijastoto melanjutkan, belum optimalnya pasar EBT di Indonesia menjadi tantangan tersendiri mengingat skala keekonomian sering kali dianggap kurang kompetitif ditandai dengan tingginya harga beli EBT.
"Pabrikan-pabrikan PLTS kita itu baru pabrikan solar panel. Itupun kapasitasnya kecil-kecil, paling besar 100 mega watt (MW). Apalagi bahan bakunya masih impor, akibatnya harganya cukup tinggi," jelasnya.
Dia membandingkan, harga PLTS di Indonesia telah mencapai USD1 per watt peak, sementara di Tiongkok sudah berada di level USD20-30 sen per watt peak dengan kapasitas 500 MW hingga 1.000 MW.
"Perpres EBT mampu menjadi jawaban atas berbagai permasalahan saat ini dengan memberikan net benefit yang positif," imbuhnya.
Urgensi lain dari pembentukan rancangan perpres ini adalah belum ada kontrak atau power purchase agreement (PPA) pembangkit independent power producer (IPP) yang proses pengadaannya mengikuti ketentuan yang diatur dalam Permen ESDM No. 50 Tahun 2017 tentang Pemanfaatan Sumber Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik.
Pemerintah berharap beleid baru ini mendapat dukungan dari berbagai stakeholder terkait. Dukungan ini menjadi bagian dari sinergi dan sinkronisasi atas instrumen kebijakan yang akan dijalankan di kemudian hari.
"Ini yang terjadi di PLTA, pungutan air baik pusat maupun di daerah cukup besar bahkan sampai Rp250 per kWh. Ini yang sedang kita perbaiki," kata Sutijastoto.
Direktur Aneka Energi Harris menambahkan, mekanisme penentuan harga yang akan ditentukan dalam rancangan perpres EBT.
"Jadi hanya ada tiga, yaitu harga feed in tariff, harga patokan tertinggi (HPT), dan harga kesepakatan," ujarnya.
(uka)