Power Wheeling Berisiko Ganggu Program Strategis Pemerintah Baru
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pengamat ekonomi energi Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi meminta pasal power wheeling dalam RUU EBET harus dihapus dalam RUU EBET karena melanggar konstitusi, mengurangi pendapatan negara, dan menggerus APBN.
"Mengizinkan Independent Power Plant (IPP) menjual listrik secara langsung kepada konsumen merupakan bentuk liberalisasi kelistrikan yang bertentangan dengan konstitusi. Karena cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara," kata dia di Jakarta, Jumat (6/9/2024).
Baca Juga: MTQ 2024 Inovatif, Kontingen Harus Adaptif Terhadap Teknologi Digital
Menurut dia power wheeling justru akan menggerus pendapatan negara, lantaran 90% penjualan listrik berasal dari pelanggan industri. Selain itu, skema power wheeling akan meningkatkan biaya operasional PLN untuk membiayai pembangkit cadangan, yang dibutuhkan menopang Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) dan Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) yang bersifat intermittent dipengaruhi matahari dan angin.
Peningkatan biaya operasional itu akan memperbesar harga pokok penyediaan (HPP) listrik. Kalau tarif listrik ditetapkan di bawah HPP, maka negara harus merogoh APBN untuk membayar kompensasi dari biaya operasional ketenagalistrikan.
Membengkaknya pengeluaran APBN untuk kompensasi tersebut sudah pasti akan menggerus APBN yang berpotensi mengurangi anggaran APBN untuk membiayai program strategis presiden terpilih Prabowo Subianto, termasuk program makan bergizi gratis.
Baca Juga: Festival Harmoni Budaya Nusantara Hidupkan Budaya Lokal di IKN
Pembahasan Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET), yang sempat tertunda, kembali dibahas di Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI). Salah satu penyebab penundaaan pembahasan RUU EBET itu adalah adanya perbedaan pendapat antar pihak terkait pasal power wheeling (sewa jaringan).
Bahkan pasal tersebut sudah didrop pada awal 2023, namun dimunculkan lagi tiga bulan berikutnya. Saat ini RUU EBET dibahas kembali dan sudah dalam tahap perumusan dan sinkronisasi.
Power wheeling merupakan mekanisme yang mengizinkan pihak swasta atau IPP untuk membangun pembangkit listrik EBET sekaligus menjual secara langsung kepada konsumen dengan menggunakan jaringan transmisi dan distribusi milik PLN.
Lihat Juga: Gotong Royong Bangun Jargas, Solusi Kurangi Beban Subsidi Energi lewat Optimalisasi Gas Domestik
"Mengizinkan Independent Power Plant (IPP) menjual listrik secara langsung kepada konsumen merupakan bentuk liberalisasi kelistrikan yang bertentangan dengan konstitusi. Karena cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara," kata dia di Jakarta, Jumat (6/9/2024).
Baca Juga: MTQ 2024 Inovatif, Kontingen Harus Adaptif Terhadap Teknologi Digital
Menurut dia power wheeling justru akan menggerus pendapatan negara, lantaran 90% penjualan listrik berasal dari pelanggan industri. Selain itu, skema power wheeling akan meningkatkan biaya operasional PLN untuk membiayai pembangkit cadangan, yang dibutuhkan menopang Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) dan Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) yang bersifat intermittent dipengaruhi matahari dan angin.
Peningkatan biaya operasional itu akan memperbesar harga pokok penyediaan (HPP) listrik. Kalau tarif listrik ditetapkan di bawah HPP, maka negara harus merogoh APBN untuk membayar kompensasi dari biaya operasional ketenagalistrikan.
Membengkaknya pengeluaran APBN untuk kompensasi tersebut sudah pasti akan menggerus APBN yang berpotensi mengurangi anggaran APBN untuk membiayai program strategis presiden terpilih Prabowo Subianto, termasuk program makan bergizi gratis.
Baca Juga: Festival Harmoni Budaya Nusantara Hidupkan Budaya Lokal di IKN
Pembahasan Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET), yang sempat tertunda, kembali dibahas di Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI). Salah satu penyebab penundaaan pembahasan RUU EBET itu adalah adanya perbedaan pendapat antar pihak terkait pasal power wheeling (sewa jaringan).
Bahkan pasal tersebut sudah didrop pada awal 2023, namun dimunculkan lagi tiga bulan berikutnya. Saat ini RUU EBET dibahas kembali dan sudah dalam tahap perumusan dan sinkronisasi.
Power wheeling merupakan mekanisme yang mengizinkan pihak swasta atau IPP untuk membangun pembangkit listrik EBET sekaligus menjual secara langsung kepada konsumen dengan menggunakan jaringan transmisi dan distribusi milik PLN.
Lihat Juga: Gotong Royong Bangun Jargas, Solusi Kurangi Beban Subsidi Energi lewat Optimalisasi Gas Domestik
(nng)