Krisis Real Estate China Makin Parah Usai Raksasa Properti Evergrande Ajukan Bangkrut

Jum'at, 18 Agustus 2023 - 15:22 WIB
loading...
Krisis Real Estate China Makin Parah Usai Raksasa Properti Evergrande Ajukan Bangkrut
Raksasa properti, Evergrande telah mengajukan perlindungan kebangkrutan di Amerika Serikat atau AS, ketika krisis real estat di China semakin dalam. Foto/Dok
A A A
NEW YORK - Raksasa properti, Evergrande telah mengajukan perlindungan kebangkrutan di Amerika Serikat atau AS, ketika krisis real estat di China semakin dalam. Hal ini akan memungkinkan perusahaan yang punya utang jumbo itu untuk melindungi asetnya di AS dalam kesepakatan multi-miliar dolar dengan kreditor.



Seperti diketahui, Evergrande pada tahun 2021 lalu, gagal membayar utangnya dengan nilai sangat besar hingga mengirimkan gelombang kejutan ke pasar keuangan global. Langkah ini dilakukan, usai krisis di pasar properti China menambah kekhawatiran tentang kondisi ekonomi terbesar kedua di dunia.

China Evergrande Group membuat pengajuan perlindungan kebangkrutan Bab 15 di pengadilan New York pada hari Kamis, waktu setempat. Bab 15 melindungi aset AS dari perusahaan asing saat bekerja untuk merestrukturisasi utangnya.



Dilansir BBC, Evergrande belum berkomentar terkait aksi perusahaan tersebut. Unit real estat grup itu memiliki lebih dari 1.300 proyek di lebih dari 280 kota di China, menurut situs webnya. Tidak hanya itu, ada juga uni bisnis lainnya termasuk produsen mobil listrik dan klub sepak bola.

Evergrande belakangan telah bekerja untuk menegosiasikan kembali perjanjiannya dengan kreditur setelah gagal membayar utangnya. Diperkirakan utang raksasa properti China, Evergrande berjumlah lebih dari USD300 miliar, untuk membuatnya menjadi pengembang properti yang paling banyak berhutang di dunia.

Sahamnya telah ditangguhkan dari perdagangan sejak tahun lalu. Evergrande mengungkapkan bulan lalu bahwa mereka secara total mengalami kerugian mencapai USD80 miliar selama periode dua tahun terakhir.

Pekan lalu, raksasa properti besar China lainnya, Country Garden, memperingatkan bahwa mereka kemungkinan besar bakal menelan kerugian hingga USD7,6 miliar untuk enam bulan pertama tahun ini.

Beberapa perusahaan terbesar di pasar real estat China juga sedang berjuang mendapatkan uang untuk menyelesaikan pembangunan.

"Kunci untuk masalah ini adalah menyelesaikan proyek yang belum selesai karena ini setidaknya akan membuat sebagian pembiayaan mengalir," kata Steven Cochrane dari perusahaan riset ekonomi Moody's Analytics.

Dia menambahkan, bahwa banyak rumah pra-penjualan tetapi jika konstruksi berhenti, pembeli tidak lagi melakukan pembayaran hipotek, yang menempatkan lebih banyak tekanan pada keuangan pengembang.

Awal bulan ini, Beijing mengatakan bahwa ekonomi China telah tergelincir ke dalam deflasi karena harga konsumen menurun pada Juli untuk pertama kalinya dalam lebih dari dua tahun.

Pertumbuhan yang lemah berarti China tidak menghadapi kenaikan harga yang telah mengguncang banyak negara lain dan mendorong para bankir sentral di tempat lain untuk secara tajam meningkatkan biaya pinjaman.

Impor dan ekspor China juga turun tajam bulan lalu karena permintaan global yang lebih lemah mengancam prospek pemulihan ekonomi terbesar kedua di dunia itu. Angka resmi menunjukkan ekspor turun 14,5% pada Juli dibandingkan dengan tahun sebelumnya, sementara impor turun 12,4%.

Awal pekan ini, bank sentral China secara tak terduga memangkas suku bunga utama untuk kedua kalinya dalam tiga bulan, dalam upaya untuk meningkatkan ekonomi.
(akr)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1176 seconds (0.1#10.140)