Kesenjangan Upah di Freeport Disebut Bentuk Neo-kolonialisme

Selasa, 28 Februari 2017 - 11:45 WIB
Kesenjangan Upah di Freeport Disebut Bentuk Neo-kolonialisme
Kesenjangan Upah di Freeport Disebut Bentuk Neo-kolonialisme
A A A
SEMARANG - Gerakan Pemuda (GP) Ansor menyatakan, permasalahan terkait PT Freeport Indonesia (PTFI) tidak hanya tentang divestasi saham maupun kewajiban pembangungan smelter (pemurnian) di Papua. Namun juga banyak kesenjangan yang diterima tenaga kerja Indonesia terutama dalam hal upah pekerja.

(Baca Juga: 4.000 Pekerja Lokal di Freeport Hanya Digaji UMR
Kesenjangan atau ketimpangan upah tersebut bukan hal biasa, bahkan menjurus ketidakadilan dan penindasaan. Oleh karena itu, GP Ansor mendesak pemerintah dan pihak terkait untuk melakukan evaluasi secara menyeluruh terhadap PT Freeport Indonesia.

"Kami (GP Ansor) menilai kesenjangan pendapatan yang diterima saudara-saudara kami yang bekerja di Freeport, khususnya saudara-saudara kami dari Papua. Bukan lagi sebuah kesenjangan pendapatan biasa, tapi sudah merupakan ketidakadilan dan penindasan, bahkan sudah merupakan sebuah bentuk neo-kolonialisme yang paling vulgar," kata Ketua Umum Pimpinan Pusat GP Ansor, Yaqut Cholil Qoumas di Bandara Ahmad Yani Semarang.

(Baca Juga: Eks Karyawan Freeport Bongkar Diskriminasi dan Ketimpangan di Grasberg
Lebih lanjut dia memaparkan, penilaian tersebut bukan tanpa dasar, melainkan hasil pengkajian beberapa data yang diperoleh GP Ansor. Berdasarkan laporan terkait ketenagakerjaan di Freeport, diketahui dari sekitar 32.000 pekerja Freeport sebagian besar merupakan pekerja kontrak atau outsourcing, tepatnya sebanyak 63,2%. Sementara pekerja berkewarganegaraan Indonesia hanya sebanyak 36,8%.

"Dari 36,8% pekerja langsung berkewarganegaraan Indonesia, hanya 35,8% yang merupakan saudara kami, putra-putri asli Papua. Di mana sebanyak 98,9% di antaranya adalah buruh tambang dengan 24 jenjang upah dengan jenjang terendah mendapatkan upah sebesar Rp3.316.000 dan jenjang tertinggi untuk karyawan hanya mendapat upah sebesar, Rp5.517.000," jelasnya yang juga Anggota Komisi VI DPR RI ini.

Data lain menyebutkan, rasio pendapatan antara buruh berpendapatan terendah dengan Komisaris Utama Freeport di Amerika adalah 1 banding 535. Sementara upah keseluruhan yang diterima oleh 4.321 pekerja asal Indonesia di Papua setiap bulannya hanya 59,8% dari pendapatan Komisaris Utama Freeport. "Jumlah itu hanyalah 0,017% atau sebanyak-banyaknya 0,028% dari laba bersih yang diterima Freeport tiap bulan," ungkap Gus Yaqut, sapaan akrabnya.

(Baca Juga: Soal Freeport, GP Ansor Dukung Penuh Pemerintah
Adapun berdasarkan laporan keuangan yang telah dirilis diketahui bahwa 31% pendapatan Freeport berasal dari tembaga dan 99% pendapatan berasal dari emas dari tanah Papua. Keuntungan bersih yang didapatkan Freeport diketahui lebih dari Rp1.000 triliun. Dari jumlah keuntungan tersebut, Freeport hanya memberikan kontribusi sebanyak Rp80 triliun kepada Pemerintah Republik Indonesia setiap tahunnya. Jumlah tersebut hanya sekitar 8% dari total keuntungan Freeport beroperasi di Indonesia.

Melihat adanya kesenjangan atau ketimpangan upah tersebut, GP Ansor mengambil sikap tegas. GP Ansor mendesak Menteri Tenaga Kerja dan pihak-pihak terkait untuk mengevaluasi secara menyeluruh sistem pengupahan di Freeport, agar berasaskan pada prinsip pengupahan yang manusiawi dan berkeadilan.

"Kami mendesak pemerintah dan pihak terkait untuk mengevaluasi secara menyeluruh sistem pengupahan di Freeport. Kami juga menegaskan akan melawan segala bentuk eksploitasi sumber daya alam secara tidak berkeadilan, tidak berpihak pada penduduk lokal, dan hanya menampilkan neo-kolonialisme dalam wujud turbo-kapitalisme yang hanya menghasilkan duka kemanusiaan dan derita ekologis," pungkas Yaqut.
(akr)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4757 seconds (0.1#10.140)