Cegah Polusi Udara Ibu Kota, Pengembangan BBM Ramah Lingkungan Mendesak
loading...
A
A
A
JAKARTA - Langkah Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian RI Airlangga Hartarto untuk mengembangkan biofuel di Indonesia patut diapresiasi. Bahkan bahan bakar nabati ini tidak hanya dari produk minyak sawit atau CPO seperti biodiesel, bioavtur, dan HVO, tetapi juga produk non-CPO seperti bioetanol.
Dalam acara The 41st Conference ASEAN Federation of Engineering Organization, yang diselenggarakan oleh Persatuan Insinyur Indonesia (PII) dan ASEAN Federation of Engineering Organisations (AFEO), di Bali International Convention Center, Nusa Dua, Rabu (22/11), Airlangga menjelaskan, pengembangan bahan bakar tersebut juga untuk memfasilitasi pembangunan berkelanjutan dan mendorong praktik ramah lingkungan. Selain itu, meningkatkan kesejahteraan sosial dan mendorong pertumbuhan ekonomi di Indonesia maupun kawasan ASEAN.
Pengamat energi, Muhammad Badaruddi, mengatakan, pengembangan bahan bakar ramah lingkungan yang disampaikan Menko Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto sejatinya sudah seharusnya diimplementasikan sesegera mungkin, mengingat kualitas udara di Jakarta yang terjadi belakangan ini kembali berada pada titik terburuk dengan status “tidak sehat”.
Berdasarkan data IQAir, sejak awal November, Indeks Kualitas Udara (AQI) berada pada kisaran 120-169. Padahal,
tingkat udara sehat berada pada tingkat AQI 0-50. Bahkan, tingkat polusi di Jakarta sempat menempati peringkat ke-1 terburuk di dunia pada bulan Agustus dan September 2023 dan sampai sekarang masih menempati peringkat teratas dengan kualtitas udara terburuk di dunia.
"Adapun polusi udara terburuk di dunia hari ini berada di Kolkata India (US AQI 303), Dhaka Bangladesh (US AQI 223), Karachi Pakistan (US AQI 198), Ulaanbatar Mongolia (US AQI 169), dan Jakarta Indonesia (US AQI 168)," ungkap pria yang biasa disapa Badar ini di Jakarta, Rabu (13/12).
Menurut Badar, kerugian yang muncul dari buruknya kualitas udara di Jakarta sangat kompleks.
"Dari sisi ekonomi, di tahun 2023 pula, perhitungan IQAir diperkirakan memunculkan kerugian sebesar USD3,2 miliar atau setara Rp50 triliun. Tidak hanya kerugian ekonomi, tapi juga ancaman kematian. Berdasarkan perhitungan IQAir, di tahun 2023, polusi udara di Jakarta telah menyebabkan 12.000 kematian," tutur Badar yang juga Dosen di Universitas Bakrie ini.
Badar mengungkapkan, di antara faktor penyebab polusi akut di Jakarta adalah polusi yang disebabkan oleh kendaraan bermotor. Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Vital Statistic DKI Jakarta, penyumbang terbesar polusi udara yang saat ini menghantui Jakarta adalah berasal dari sektor transportasi, industri, dan pembangkit listrik.
Dalam acara The 41st Conference ASEAN Federation of Engineering Organization, yang diselenggarakan oleh Persatuan Insinyur Indonesia (PII) dan ASEAN Federation of Engineering Organisations (AFEO), di Bali International Convention Center, Nusa Dua, Rabu (22/11), Airlangga menjelaskan, pengembangan bahan bakar tersebut juga untuk memfasilitasi pembangunan berkelanjutan dan mendorong praktik ramah lingkungan. Selain itu, meningkatkan kesejahteraan sosial dan mendorong pertumbuhan ekonomi di Indonesia maupun kawasan ASEAN.
Pengamat energi, Muhammad Badaruddi, mengatakan, pengembangan bahan bakar ramah lingkungan yang disampaikan Menko Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto sejatinya sudah seharusnya diimplementasikan sesegera mungkin, mengingat kualitas udara di Jakarta yang terjadi belakangan ini kembali berada pada titik terburuk dengan status “tidak sehat”.
Berdasarkan data IQAir, sejak awal November, Indeks Kualitas Udara (AQI) berada pada kisaran 120-169. Padahal,
tingkat udara sehat berada pada tingkat AQI 0-50. Bahkan, tingkat polusi di Jakarta sempat menempati peringkat ke-1 terburuk di dunia pada bulan Agustus dan September 2023 dan sampai sekarang masih menempati peringkat teratas dengan kualtitas udara terburuk di dunia.
"Adapun polusi udara terburuk di dunia hari ini berada di Kolkata India (US AQI 303), Dhaka Bangladesh (US AQI 223), Karachi Pakistan (US AQI 198), Ulaanbatar Mongolia (US AQI 169), dan Jakarta Indonesia (US AQI 168)," ungkap pria yang biasa disapa Badar ini di Jakarta, Rabu (13/12).
Menurut Badar, kerugian yang muncul dari buruknya kualitas udara di Jakarta sangat kompleks.
"Dari sisi ekonomi, di tahun 2023 pula, perhitungan IQAir diperkirakan memunculkan kerugian sebesar USD3,2 miliar atau setara Rp50 triliun. Tidak hanya kerugian ekonomi, tapi juga ancaman kematian. Berdasarkan perhitungan IQAir, di tahun 2023, polusi udara di Jakarta telah menyebabkan 12.000 kematian," tutur Badar yang juga Dosen di Universitas Bakrie ini.
Badar mengungkapkan, di antara faktor penyebab polusi akut di Jakarta adalah polusi yang disebabkan oleh kendaraan bermotor. Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Vital Statistic DKI Jakarta, penyumbang terbesar polusi udara yang saat ini menghantui Jakarta adalah berasal dari sektor transportasi, industri, dan pembangkit listrik.