Kelola Blok Terminasi, Pertamina Harusnya Bebas Pilih Mitra

Selasa, 10 April 2018 - 16:31 WIB
Kelola Blok Terminasi, Pertamina Harusnya Bebas Pilih Mitra
Kelola Blok Terminasi, Pertamina Harusnya Bebas Pilih Mitra
A A A
JAKARTA - PT Pertamina (Persero) dinilai perlu diberi kebebasan memilih mitra untuk mengelola seluruh blok migas yang telah habis masa kontraknya (blok terminasi) yang diserahkan pemerintah kepada BUMN energi tersebut. Sebab, selain tidak ada aturan yang mewajibkan untuk menggandeng mitra tertentu, keberadaan mitra juga seharusnya tergantung pada kebutuhan yang didasari pertimbangan bisnis.

"Jadi kalau mengajak mitra yang tidak jelas untuk apa? Tidak ada kewajiban Pertamina untuk menggandeng mitra, itu (seharusnya) keputusan bisnis," ujar pendiri ReforMiner Institute Pri Agung Rakhmanto dalam Dialog Interaktif Menuju Kemandirian Energi Nasional: Menimbang Pelibatan Mitra Asing dalam Mengelola Blok yang Diserahkan ke Pertamina di Jakarta, Selasa (10/4/2018).

Diketahui, dari delapan blok migas terminasi yang diserahkan pemerintah ke Pertamina melalui anak usahanya, PT Pertamina Hulu Energi, empat di antaranya akan dikelola bersama mitra. Namun, dalam prosesnya, terjadi ketidaksepahaman antara anak usaha Pertamina itu dengan sejumlah mitra mengenai participating interest (PI) di blok migas tersebut. Sebagian mitra menilai tidak perlu lagi membeli PI di blok tersebut.

Terkait dengan itu, anggota Komisi VII DPR Kardaya Warnika menegaskan bahwa persoalan itu harusnya tidak perlu terjadi jika sejak awal dalam pengelolaan ladang minyak habis kontrak Pertamina diberi kebebasan memilih mitra, bukan ditetapkan oleh pemerintah.

"Dalam penentuan mitra kerja, sebelumnya sudah ada preseden di Blok Mahakam. Untuk blok yang kecil saja direcokin pemerintah, bagaimana kalau blok yang besar," tuturnya.

Kardaya menegaskan perlunya pemerintah berkomitmen terhadap peraturan yang telah dibuat. Sebab, kata dia, jika aturan yang ada di sektor migas begitu mudah ditabrak, maka hal itu akan menimbulkan ketidakpastian hukum yang dampaknya sangat negatif.

"Sektor migas itu padat modal, berisiko tinggi dan melibatkan waktu yang panjang. Karena itu investor sangat butuh kepastian, kalau itu tidak ada, mereka khususnya (investor) yang besar-besar akan lari," cetusnya.

Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan berpendapat senada. Pemerintah telah memberikan kepercayaan kepada Pertamina untuk mengambil seluruh blok terminasi. Bahwa kemudian Pertamina membutuhkan mitra atau tidak, imbuh dia, bergantung pada kebijakan manajemen Pertamina.

"Dalam menentukan mitra, Pertamina harusnya menggandeng mitra atau badan usaha yang mempunyai semangat yang sama tanpa ada intervensi," katanya.

Intervensi pemerintah juga disoroti Kardaya dalam hal berlarutnya penetapan pengelola Lapangan Unitisasi Sukowati di Bojonegoro, Jawa Timur. Akibatnya, hal itu memengaruhi produksi minyak dari lapangan yang berada di Wilayah Kerja Tuban tersebut. "Aturan unitisasi itu sudah jelas, tapi dibuat jlimet. Karena reservoar lapangan unitisasi itu mayoritas berada di WK-nya Pertamina EP, ya otomatis Pertamina EP yang jadi operator," tandasnya.

Menurut Kardaya, kegiatan unitisasi harus memberikan keuntungan bagi negara secara maksimal. Namun, untuk memulai kegiatan usaha terhadap wilayah kerja yang habis kontrak, perlu ada surat yang jelas. "Pemerintah harus segera mengeluarkan surat resmi bahwa Pertamina EP sebagai operator Sukowati. Itu persoalan gampang, termasuk skema PSC-nya," tandasnya.

Pemerintah sebelumnya menetapkan komposisi PI dan operator WK Tuban pascaterminasi 28 Februari 2018 sebagai berikut, Pertamina memiliki 78,75%, badan usaha existing yang berminat mendapatkan 11,25%, BUMD 10%, dan Pertamina menjadi operator.
(fjo)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7215 seconds (0.1#10.140)