Indonesia Berhasil Turunkan Tingkat Deforestasi hingga 65%
loading...
A
A
A
JAKARTA - World Resources Institute Global melaporkan Indonesia menjadi negara nomor satu tingkat penurunan deforestasi di dunia sebesar 65%. Padahal sebelumnya World Population Review melaporkan Indonesia menjadi negara kedua terparah yang bertanggung jawab atas hilangnya hutan (deforestasi) sejak tahun 1990-2020. Berdasarkan laporan Indonesia kehilangan 101.977 mil persegi hutan dalam kurun waktu tersebut.
Untuk mencapai penurunan deforestasi pemerintah setiap tahun melakukan pemantauan keberadaan dan luas tutupan lahan berhutan maupun tidak berhutan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). KLHK mengungkapkan pemantauan hutan dan deforestasi ini dilakukan pada seluruh daratan Indonesia seluas 187 juta hektare, baik di dalam kawasan hutan maupun di luar kawasan hutan. Pantauan dilakukan berdasarkan peta Rupa Bumi Indonesia (RBI) dalam program Kebijakan Satu Peta (KSP).
Pemantauan dilakukan menggunakan data utama citra satelit landsat yang disediakan Organisasi Riset Penerbangan dan Antariksa (OR-PA) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dan diidentifikasi secara visual oleh tenaga teknis penafsir KLHK yang tersebar di seluruh Indonesia.
"Berdasarkan hasil pemantauan hutan Tahun 2022, luas lahan berhutan seluruh daratan Indonesia adalah 96,0 juta ha atau 51,2 % dari total daratan. 92,0% dari total luas berhutan atau 88,3 juta ha berada di dalam kawasan hutan," dikutip dari laporan KLHK, Kamis (18/1/2024).
Adapun deforestasi (netto) Indonesia tahun 2021-2022 adalah sebesar 104 ribu ha. Angka ini berasal dari angka deforestasi bruto sebesar 119,4 ribu ha, dikurangi reforestasi sebesar 15,4 ribu ha. Luas deforestasi tertinggi terjadi di kelas hutan sekunder, yaitu 105,2 ribu ha. 71,3% atau 75,0 ribu ha di antaranya berada di dalam kawasan hutan, sedangkan sisa 30,2 ribu ha atau 28,7% berada di luar kawasan hutan.
Perbandingannya, hasil pemantauan hutan Indonesia tahun 2020-2021 menunjukkan deforestasi Indonesia tahun 2020-2021 sebesar 113,5 ribu ha berasal dari angka deforestasi bruto sebesar 139,1 ribu ha dikurangi reforestasi sebesar 25,6 ribu ha. Dengan memperhatikan hasil pemantauan tahun 2020-2021, terlihat adanya penurunan deforestasi Indonesia tahun 2021-2022 sebesar 8,4%.
Deforestasi Terendah
Indonesia berhasil menurunkan angka deforestasi sampai titik terendah pada tahun 2021-2022 sebesar 104 ribu ha. Adapun angka deforestasi Indonesia tahun 2020-2021 sebesar 113,5 ribu ha. Indonesia mulai menghitung tingkat deforestasi sejak tahun 1990. Faktanya, deforestasi tertinggi terjadi pada periode tahun 1996 sampai 2000, sebesar 3,5 juta ha per tahun, periode 2002 sampai 2014 sebesar 0,75 juta ha per tahun, dan mencapai titik terendah laju deforestasi pada tahun 2022 sebesar 104 ribu ha.
Jika dilihat tren deforestasi berdasarkan data sebelumnya, penurunan hutan Indonesia relatif rendah dan cenderung stabil. Hal ini menunjukkan berbagai upaya yang dilakukan KLHK memberikan hasil yang signifikan, antara lain penerapan Inpres Penghentian Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut, Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan, Pengendalian Kerusakan Gambut, Pengendalian Perubahan Iklim, Pembatasan perubahan Alokasi Kawasan Hutan untuk sektor non kehutanan (HPK), Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan (PPTKH/TORA), Pengelolaan Hutan lestari, Perhutanan Sosial, serta Rehabilitasi Hutan dan Lahan. Hal ini seiring dengan program Indonesia FOLU netsink 2030.
Data hotspot dan luas karhutla menjadi indikasi keberhasilan upaya pengendalian karhutla di Indonesia. Pada tahun 2015, data hotspot dari satelit Terra/Aqua (MODIS NASA) 70.971 titik, 2016: 3.844 titik, 2017: 2.440 titik, 2018: 9.245 titik, 2019: 29.341 titik, 2020: 2.568 titik, 2021: 1.451 titik, 2022: 1.297 titik, dan 2023: 10.673 titik.
Tren penurunan titik panas ini juga ekuivalen dengan luas area yang terbakar. Luas Kebakaran Hutan dan Lahan tahun 2015 s/d 2023 berdasarkan citra satelit landsat 8 OLI/TIRS yang di-overlay dengan data sebaran hotspot, serta laporan hasil groundchek hotspot dan laporan pemadaman yang dilaksanakan Manggala Agni sebagai berikut: 2015: 2.611.411 ha, 2016: 438.368 ha, 2017: 165.484 ha, 2018: 529.267 ha, 2019: 1.649.258 ha, 2020: 296.942 ha, 2021: 358.864 ha,2022: 204.896 ha, 2023: 994.313 ha.
Kebakaran hutan dan lahan tahun 2023 pun berhasil ditekan lebih kecil, sebesar 30,80% dibandingkan tahun 2019 dengan pengaruh El-Nino yang hampir sama, bahkan saat kondisi 2023 lebih kering. Kondisi ini telah diantisipasi melalui berbagai upaya pencegahan karhutla sejak awal tahun.
Kondisi ini dapat menjadi indikasi keberhasilan upaya pencegahan kebakaran hutan dan lahan yang efektif. Kenaikan hotspot yang terjadi pada tahun 2019 dan tahun 2023 disebabkan oleh adanya El Nino. Namun, Indonesia berhasil memitigasi fenomena El Nino, sehingga jumlah hotspot dan luas tidak setinggi tahun-tahun sebelumnya.
Jika dibandingkan karhutla tahun 2019 dengan kondisi akibat dampak El-Nino yang serupa dengan tahun 2023, luas karhutla tahun 2023 masih jauh menurun.
Indonesia juga berhasil menekan kejadian karhutla khususnya di lahan gambut. Pada tahun 2015, terdapat luas karhutla di lahan gambut seluas 891.275 hektare atau 34% dari total luas karhutla. Jumlahnya turun pada tahun 2019 menjadi 483.111 hektare atau 30% dari total luas karhutla, kemudian pada tahun 2023 semakin turun menjadi 182.789 hektare atau 16,38% dari total luas karhutla.
Selain itu, pengaturan tinggi muka air tanah 0,4 m ternyata tidak menyebabkan penurunan produktivitas perkebunan sawit. Penelitian menunjukkan terjadi peningkatan produktivitas antara 13-30%. Data pemerintah mencatat luas kebakaran hutan dan lahan dari tahun 2015 menunjukkan tren penurunan sampai Oktober 2023. Sejak kejadian karhutla tahun 2015 (baseline) dengan adanya perubahan paradigma pengendalian karhutla sampai dengan sekarang luas karhutla di Indonesia menurun signifikan 94% -37%.
Sebagai konsekuensi, emisi Gas Rumah Kaca yang dihasilkan oleh Indonesia tidak lagi sebesar tahun-tahun sebelumnya seperti kondisi 2015 dan 2019. Indonesia tidak lagi menjadi negara penghasil emisi 5 terbesar secara global, bahkan pada tahun 2021 tercatat peng-emisi pada ranking ke-9; dengan angka penurunan emisi 890 juta Ton CO2eq.
Menurut data Copernicus Atmosphere Monitoring Service (CAMS) dari Uni Eropa, Indonesia tidak termasuk ke dalam kelompok negara-negara penyumbang emisi terbesar dari kebakaran hutan dan lahan. Padahal negara-negara maju seperti AS dan Kanada termasuk di dalam kelompok tersebut.
Meski begitu, pemerintah tetap konsisten menjalankan berbagai upaya untuk mencegah karhutla, mulai dari monitoring, penetapan kebijakan, pencegahan, hingga penegakan hukum. Pada tahun 2024, KLHK pun merencanakan upaya mitigasi kejadian karhutla dengan meningkatkan upaya-upaya pengendalian karhutla lewat patroli terpadu, TMC, monitoring hotspot, dan pemberdayaan masyarakat yang berada di wilayah rawan karhutla.
Untuk mencapai penurunan deforestasi pemerintah setiap tahun melakukan pemantauan keberadaan dan luas tutupan lahan berhutan maupun tidak berhutan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). KLHK mengungkapkan pemantauan hutan dan deforestasi ini dilakukan pada seluruh daratan Indonesia seluas 187 juta hektare, baik di dalam kawasan hutan maupun di luar kawasan hutan. Pantauan dilakukan berdasarkan peta Rupa Bumi Indonesia (RBI) dalam program Kebijakan Satu Peta (KSP).
Pemantauan dilakukan menggunakan data utama citra satelit landsat yang disediakan Organisasi Riset Penerbangan dan Antariksa (OR-PA) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dan diidentifikasi secara visual oleh tenaga teknis penafsir KLHK yang tersebar di seluruh Indonesia.
"Berdasarkan hasil pemantauan hutan Tahun 2022, luas lahan berhutan seluruh daratan Indonesia adalah 96,0 juta ha atau 51,2 % dari total daratan. 92,0% dari total luas berhutan atau 88,3 juta ha berada di dalam kawasan hutan," dikutip dari laporan KLHK, Kamis (18/1/2024).
Adapun deforestasi (netto) Indonesia tahun 2021-2022 adalah sebesar 104 ribu ha. Angka ini berasal dari angka deforestasi bruto sebesar 119,4 ribu ha, dikurangi reforestasi sebesar 15,4 ribu ha. Luas deforestasi tertinggi terjadi di kelas hutan sekunder, yaitu 105,2 ribu ha. 71,3% atau 75,0 ribu ha di antaranya berada di dalam kawasan hutan, sedangkan sisa 30,2 ribu ha atau 28,7% berada di luar kawasan hutan.
Perbandingannya, hasil pemantauan hutan Indonesia tahun 2020-2021 menunjukkan deforestasi Indonesia tahun 2020-2021 sebesar 113,5 ribu ha berasal dari angka deforestasi bruto sebesar 139,1 ribu ha dikurangi reforestasi sebesar 25,6 ribu ha. Dengan memperhatikan hasil pemantauan tahun 2020-2021, terlihat adanya penurunan deforestasi Indonesia tahun 2021-2022 sebesar 8,4%.
Deforestasi Terendah
Indonesia berhasil menurunkan angka deforestasi sampai titik terendah pada tahun 2021-2022 sebesar 104 ribu ha. Adapun angka deforestasi Indonesia tahun 2020-2021 sebesar 113,5 ribu ha. Indonesia mulai menghitung tingkat deforestasi sejak tahun 1990. Faktanya, deforestasi tertinggi terjadi pada periode tahun 1996 sampai 2000, sebesar 3,5 juta ha per tahun, periode 2002 sampai 2014 sebesar 0,75 juta ha per tahun, dan mencapai titik terendah laju deforestasi pada tahun 2022 sebesar 104 ribu ha.
Jika dilihat tren deforestasi berdasarkan data sebelumnya, penurunan hutan Indonesia relatif rendah dan cenderung stabil. Hal ini menunjukkan berbagai upaya yang dilakukan KLHK memberikan hasil yang signifikan, antara lain penerapan Inpres Penghentian Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut, Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan, Pengendalian Kerusakan Gambut, Pengendalian Perubahan Iklim, Pembatasan perubahan Alokasi Kawasan Hutan untuk sektor non kehutanan (HPK), Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan (PPTKH/TORA), Pengelolaan Hutan lestari, Perhutanan Sosial, serta Rehabilitasi Hutan dan Lahan. Hal ini seiring dengan program Indonesia FOLU netsink 2030.
Data hotspot dan luas karhutla menjadi indikasi keberhasilan upaya pengendalian karhutla di Indonesia. Pada tahun 2015, data hotspot dari satelit Terra/Aqua (MODIS NASA) 70.971 titik, 2016: 3.844 titik, 2017: 2.440 titik, 2018: 9.245 titik, 2019: 29.341 titik, 2020: 2.568 titik, 2021: 1.451 titik, 2022: 1.297 titik, dan 2023: 10.673 titik.
Tren penurunan titik panas ini juga ekuivalen dengan luas area yang terbakar. Luas Kebakaran Hutan dan Lahan tahun 2015 s/d 2023 berdasarkan citra satelit landsat 8 OLI/TIRS yang di-overlay dengan data sebaran hotspot, serta laporan hasil groundchek hotspot dan laporan pemadaman yang dilaksanakan Manggala Agni sebagai berikut: 2015: 2.611.411 ha, 2016: 438.368 ha, 2017: 165.484 ha, 2018: 529.267 ha, 2019: 1.649.258 ha, 2020: 296.942 ha, 2021: 358.864 ha,2022: 204.896 ha, 2023: 994.313 ha.
Kebakaran hutan dan lahan tahun 2023 pun berhasil ditekan lebih kecil, sebesar 30,80% dibandingkan tahun 2019 dengan pengaruh El-Nino yang hampir sama, bahkan saat kondisi 2023 lebih kering. Kondisi ini telah diantisipasi melalui berbagai upaya pencegahan karhutla sejak awal tahun.
Kondisi ini dapat menjadi indikasi keberhasilan upaya pencegahan kebakaran hutan dan lahan yang efektif. Kenaikan hotspot yang terjadi pada tahun 2019 dan tahun 2023 disebabkan oleh adanya El Nino. Namun, Indonesia berhasil memitigasi fenomena El Nino, sehingga jumlah hotspot dan luas tidak setinggi tahun-tahun sebelumnya.
Jika dibandingkan karhutla tahun 2019 dengan kondisi akibat dampak El-Nino yang serupa dengan tahun 2023, luas karhutla tahun 2023 masih jauh menurun.
Indonesia juga berhasil menekan kejadian karhutla khususnya di lahan gambut. Pada tahun 2015, terdapat luas karhutla di lahan gambut seluas 891.275 hektare atau 34% dari total luas karhutla. Jumlahnya turun pada tahun 2019 menjadi 483.111 hektare atau 30% dari total luas karhutla, kemudian pada tahun 2023 semakin turun menjadi 182.789 hektare atau 16,38% dari total luas karhutla.
Selain itu, pengaturan tinggi muka air tanah 0,4 m ternyata tidak menyebabkan penurunan produktivitas perkebunan sawit. Penelitian menunjukkan terjadi peningkatan produktivitas antara 13-30%. Data pemerintah mencatat luas kebakaran hutan dan lahan dari tahun 2015 menunjukkan tren penurunan sampai Oktober 2023. Sejak kejadian karhutla tahun 2015 (baseline) dengan adanya perubahan paradigma pengendalian karhutla sampai dengan sekarang luas karhutla di Indonesia menurun signifikan 94% -37%.
Sebagai konsekuensi, emisi Gas Rumah Kaca yang dihasilkan oleh Indonesia tidak lagi sebesar tahun-tahun sebelumnya seperti kondisi 2015 dan 2019. Indonesia tidak lagi menjadi negara penghasil emisi 5 terbesar secara global, bahkan pada tahun 2021 tercatat peng-emisi pada ranking ke-9; dengan angka penurunan emisi 890 juta Ton CO2eq.
Menurut data Copernicus Atmosphere Monitoring Service (CAMS) dari Uni Eropa, Indonesia tidak termasuk ke dalam kelompok negara-negara penyumbang emisi terbesar dari kebakaran hutan dan lahan. Padahal negara-negara maju seperti AS dan Kanada termasuk di dalam kelompok tersebut.
Meski begitu, pemerintah tetap konsisten menjalankan berbagai upaya untuk mencegah karhutla, mulai dari monitoring, penetapan kebijakan, pencegahan, hingga penegakan hukum. Pada tahun 2024, KLHK pun merencanakan upaya mitigasi kejadian karhutla dengan meningkatkan upaya-upaya pengendalian karhutla lewat patroli terpadu, TMC, monitoring hotspot, dan pemberdayaan masyarakat yang berada di wilayah rawan karhutla.
(nng)