Co-Founder Crowde: Masa Depan Cerah Menanti Petani

Minggu, 06 Mei 2018 - 11:07 WIB
Co-Founder Crowde: Masa Depan Cerah Menanti Petani
Co-Founder Crowde: Masa Depan Cerah Menanti Petani
A A A
TEKNOLOGI membuat semua hal terasa lebih mudah diakses, termasuk oleh para petani. Petani dan lokasi garapan yang sejatinya berjarak jauh bisa dengan mudah dijangkau hanya dengan sekali klik.

Yohanes Sugihtononugroho ada di balik kemudahan ini. Yohanes dan rekannya, Muhammad Risyad Ganis, berhasil membantu beberapa petani melalui dana investor yang sudah tergabung di dalam Crowde, plat form khusus untuk pengumpulan dana di bidang pertanian, peternakan, dan perikanan.

Tujuan mereka membantu permodalan para petani pun berjalan mulus. Hingga majalah Forbes memilih keduanya menjadi anak muda usia di bawah 30 tahun yang paling berpengaruh di Asia. Untuk mengetahui lebih banyak mengenai inovasi Crowde, mari berkenalan dengan Yohanes seraya mendengar kisah serunya menemukan kenikmatan saat bisa membantu orang lain.

Bagaimana kesan Anda masuk kedalam jajaran 30under30 majalah Forbes?
Tentu bangga sekali karena kami satu-satunya social ventures dari Indonesia. Penghargaan ini dapat membuat Crowed untuk semakin dikenal sehingga nanti banyak yang mau gabung menjadi investor demi membantu para petani.

Jadi sebenarnya apa itu Crowde?
Crowde merupakan investor agrifarm. Jadi, kami menghubungkan petani yang membutuhkan dana dengan investor. Lebih ke platform gotong royong atau patungan seperti yang masyarakat suka lakukan. Kami berdiri pada September 2015, dengan pembuatan yang tidak mudah dan tidak sebentar.

Kami awalnya harus tahu dulu, benar tidak ada orang yang mau memasukkan uangnya kepada petani yang tidak mereka kenal dan di tempat yang juga mereka nggak tahu. Sebelum kami buat versi digital, kami berkumpul dulu secara offline dengan proyek menanam mentimun dan butuh Rp7 juta selama 70 hari.

Terkumpul sebanyak sembilan orang, terdiri atas lima orang yang dikenal dan empat orang tidak kenal. Dari situ kami sadar, empat orang itu sajalah yang mau menanamkan uang untuk sesuatu yang mereka belum lihat wujudnya. Modal percaya saja ber dasarkan data yang kami punya.

Akhirnya kami berani buat lagi, masih offline walaupun ada secara grup di WhatsApp . Coba lagi untuk cabai merah, perlu modal Rp60 juta. Senilai itu biasanya bisa untuk tanah seluas 1 hektare. Itu pun sukses lagi akhirnya.

Bagaimana ide tercetus untuk membuat startup seperti ini?
Dulu, ketika saya masih kuliah dan melakukan praktik kerja lapangan (PKL) ke daerah-daerah, di sebuah desa saya kenal seorang ibu yang sudah tidak ada suaminya. Dia punya tiga anak. Pasti kami ingin memberi bantuan secara berkala dengan bekerja. Namun, kenyataannya sulit memberi peker jaan untuk beliau karena masih mempunyai anak kecil.

Bantuan untuk berdagang yang nantinya beliau harus keliling pun tidak mungkin karena anak masih tidak bisa ditinggal. Akhirnya kami bantu dengan memberikan usaha budi daya jamur tiram. Cukup kami buat rak di rumahnya. Pukul 06.00 saat anaknya masih tidur, ibu itu bisa bekerja tanpa meninggalkan anak.

Hanya semprot-semprot pada media bibit jamur. Kemudian pada pukul 09.00 dia sudah bisa panen kecil. Tidak lama, nanti ada orang yang datang untuk membeli sehingga dia jadi punya penghasilan setiap hari. Enam bulan kemudian ibu tersebut menelepon saya. Dia mengucapkan terima kasih, anak sulungnya sudah bisa sekolah perawat.

Kemajuan lain, rak yang dipakai untuk budi daya jamur ditambah sehingga panen menjadi lebih banyak. Saya tentu merasa ikut senang bisa menjadi bagian dari perubahan ekonomi seseorang. Saya magang di salah satu perusahaan besar di Indonesia, tapi yang saya rasakan malah tidak sabar untuk mengerjakan pekerjaan yang saya suka.

Saya ingin merasakan lagi apa yang pernah saya rasakan sewaktu membantu ibu di desa saat PKL. Saya juga mau menyebarkan perasaan tersebut kepada semua orang karena itu sangat memuaskan hidup. Makanya tujuan Crowde bukan cuma saat kita ada peluang kita bisa memanfaatkannya. Namun, ingin melihat lebih banyak senyum di muka petani. Itu yang menjadi tujuan kami. Simpel saja. Apakah ada 1.000 petani yang tersenyum lagi? Kalau nggak ada, berarti gagal.

Bagaimana sistem di Crowde?
Di Crowde ada investor dan petani yang ingin kami bantu. Petani tersebut kami pilih melalui analisis. Apakah ini petani bagus atau tidak, dilihat dari cerita sejarahnya atau background mereka. Kedua, apakah petani tersebut punya pengetahuan pertanian atau tidak.

Contohnya saat hujan, tepat atau tidak menanam cabai. Kalau tidak tahu, kami akan arahkan. Calon investor yang mau ikutan bantu bisa masuk website atau aplikasi. Cukup mudah dan murah. Jadi, investasinya minimal Rp10.000.

Investor lalu bisa memilih siapa petaninya, tanaman apa, dan di mana tempat penggarapannya. Setelah itu menentukan nilai investasi, kemudian transfer. Setelah dana terkumpul, kami kasih ke petani. Setiap proyek maksimal enam bulan. Ada juga yang lama, seperti di peternakan bebek, lele, atau sapi.

Bagaimana perkembangan Crowde hingga saat ini?
Investor sudah mencapai 15.000 orang, sementara petaninya sebanyak 7.000 orang, sudah ada di seluruh Indonesia kecuali Papua, Maluku, dan Nusa Tenggara. Tahun ini baru masuk Bali. Di Nusa Tenggara rencananya kami ingin memberdayakan para wanita.

Adakah kerja sama dengan mereka yang ahli di bidang pertanian atau masuk ke dalam tim Crowde?
Pasti kami membutuhkan mereka yang ahli di bidang pertanian. Kami bekerja sama dengan IPB dan Universitas Padjadjaran karena dulu kami punya dua kantor di Jakarta dan Bandung.

Apakah petani tergerak sendiri untuk bergabung dengan Crowde dan bagaimana cara mengajak ataupun meyakinkan mereka?
Para petani pragmatis kalau tidak ada bukti tidak mau. Mereka tak terbiasa dengan cara pendanaan baru, jadi harus ada bukti. Namun, kami coba jelaskan lagi. Ada dua cara pendanaan, yang biasa dan syariah. Kami jelaskan secara rinci petani mau yang mana. Kalau memilih syariah harus transparan semua bon belanjanya, kebutuhan tanam harus dikumpulkan.

Selama ini petani tidak serapi itu mengumpulkan catatan, bahkan untuk keuntungan mereka pun tidak dipikirkan. Yang penting ada modal untuk menanam berikutnya. Mereka tidak memikirkan keuntungan untuk diri sendiri.

Setelah mereka tahu sistem kami lebih enak, jadi bisa tahu mereka untung atau rugi. Mereka selama ini tidak pernah menghitung, yang penting besok ada untuk makan. Mereka nggak pikirkan tenaga mereka dihargai berapa.

Ada alasan memilih petani atau peternak sebagai subjek yang dibantu oleh Crowde?
Kalau kita mau mengaca, apa yang kita pakai, baju siapa yang produksi? Apa yang ada di meja makan ini siapa yang berusaha mengadakannya? Sangat ironis melihat orang-orang yang sudah susah payah berusaha menanam apa yang kita makan sekarang, justru menjadi orang yang paling susah hidupnya.

Kepada para petani, yang Crowde lakukan juga adalah mengubah mindset. Pertama menjadi petani hanya karena melihat keluarga, mulai kakek sampai bapaknya menjadi petani. Jadi profesi sebagai petani bagi mereka ya sebagai takdir, mau tidak mau.

Memang dia harus jadi petani sehingga tidak melihat bahwa pertanian ini sebetulnya punya peluang sangat besar, ada masa depan yang cerah menanti. Kami ubah mindsetnya bahwa petani punya jenjang karier yang menarik dan punya peluang. Bagaimana mereka nanti berpikir punya satu hektare kemudian berusaha hingga bisa dua hektare. Tadinya panen 3 kg, bagaimana supaya bisa jadi 30 kg.

Apa saja permasalahan petani?
Pertama pendanaan.
Kedua, market.
Terakhir teknologi. Namun, yang paling utama memang permodalan atau dana. Pinjaman dari bank sulit, apalagi banyak juga yang terkendala BI checking . Kebiasaan masyarakat desa suka meminjamkan nama mereka untuk kerabat yang ingin mencicil motor dan sebagainya sehingga nama mereka sudah jelek di mata Bank Indonesia.

Tidak ada solusi untuk ini. Mereka tidak terjamah, akhirnya selalu minta tolong ke lintah darat yang membantu sangat kejam, biaya dengan bunga yang mahal sekali. Bahkan sampai ada yang menjaminkan anaknya demi mengembalikan uang lintah darat. Itu real , masih terjadi di Indonesia sampai detik ini.

Pada saat pembangunan sudah semakin maju, teknologi canggih, di perdesaan masih ada peristiwa seperti ini. Sangat mengenaskan. Modal itu butuh biaya besar ataupun kecil, tergantung butuh perawatan ekstra atau tidak. Jika memakai pestisida tinggi ya butuh modal besar, makanya harga cabai tinggi.

Karena memang menanam cabai butuh dana lebih. Tomat dan kubis juga tinggi. Faktor lain kenapa biaya tinggi karena petani tidak menerima pupuk subsidi. Menggunakan pestisida banyak juga mahal. Crowde memberikan edukasi kepada petani untuk melakukan rotasi tanah. Misalnya bulan ini menanam cabai sukses, lalu lanjut menanam cabai. Padahal belum tentu sukses, kan pakai pestisida dan pupuk berlebihan membuat tanah jenuh.

Untuk sosialisasi kepada petani dan calon investor, apa saja yang dilakukan tim Crowde?
Kami kerja sama dengan banyak pihak. Seperti universitas, koperasi, badan pemerintah, lembaga nonprofit, perusahaan bahan tani, dan perusahaan eksportir. Perusahaan eksportir datang langsung ke kami. Mereka biasa bekerja sama dengan petani, namun tidak bisa memberi modal.

Memang menyediakan market bisa membeli produk para petani, tapi kalau tidak ada modal ya tidak bisa tanam. Jadi para pengusaha eksportir membutuhkan Crowde untuk memberikan modal kepada petani mereka.

Menemukan Passion yang Sesungguhnya
Di balik setiap bisnis yang dibangun pasti ada cerita perjuangan saat memulainya. Yohanes juga memilikinya saat meyakinkan diri untuk membuat Crowde.

Dia sempat berkeliling menemui petani dan bertanya mengenai masalah serta harapan mereka. “Selain tahu masalah mereka, saya juga bertambah gemuk karena se tiap pagi selalu disuguhi teh manis dan gorengan, hehehe,” ungkap pria kelahiran 1992 itu. Yohanes merasakan kehangatan dari masyarakat desa yang membuatnya kian termotivasi untuk membantu mereka.

Ia lantas berjanji untuk selalu membuat senyum para petani. Yohanes turun langsung sampai harus bermalam di rumah petani, mengikuti keseharian mereka seraya berbicara dari hati ke hati. Dengan begitu, dia tahu persis bagaimana kehidupan para petani Indonesia sesungguhnya.

“Mereka selalu bilang, andaikan punya uang mau tanam ini mau tanam itu. Andai saya punya modal yang besar mau ini mau itu. Jadi saya tahu pendanaan memang menjadi kesulitan terbesar mereka. Saya semakin yakin Crowde memang dibutuhkan oleh para petani,” paparnya. Yohanes mantap mengembangkan bisnis sosial yang bukan impiannya.

Dulu saat kuliah di jurusan bisnis manajemen dia justru ingin menjadi ahli ekonomi. “Hitung-hitung saham saja lalu bisa dapat uang. Dulu itu impian saya,” katanya. Semasa kuliah Yohanes suka membuat yang semula tidak bisa menjadi bisa. Sesuatu yang tidak ada menjadi ada.

Berbagai bisnis pun pernah dijalaninya. Bisnis fashion, membuat sepatu, pernah dilakukan, namun semua itu tidak berhasil karena merasa sulit menjualnya. Yohanes juga sempat membuka bisnis rangkaian bunga yang lumayan menjanjikan.

“Tetapi, setiap kali dapat order saya malah kesal karena harus bangun pagi dan pergi ke pasar untuk membeli bunga segar. Jadi saya merasa ini bukan passion saya,” kenangnya.

Sampai akhirnya Yohanes lebih menikmati bisnis sosial. Kini ia punya cara berpikir yang berbeda. Menurut Yohanes, jika hanya mengejar uang, uang itu akan habis terus. Tetapi, jika kita mampu memecahkan masalah uang akan menjadi hadiah. (Ananda Nararya)

(nfl)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 2.9011 seconds (0.1#10.140)