Rupiah Melorot, Sri Mulyani Coba Yakinkan Dunia Usaha
A
A
A
JAKARTA - Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati hari ini mengundang lebih dari 40 institusi baik dari dunia usaha maupun dari analis, guna memberikan penjelasan mengenai perkembangan ekonomi terkini. Hal ini menyusul pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (USD) yang terjadi dalam beberapa waktu belakangan hingga tembus Rp14.080/USD.
(Baca Juga: Pelemahan Rupiah Jauh dari Fundamental, BI Pertimbangkan Naikkan Suku Bunga
Pertemuan tersebut juga melibatkan otoritas terkait seperti Bank Indonesia (BI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Sri Mulyani pun mencoba meyakinkan kepada dunia usaha, bahwa kondisi perekonomian Indonesia hingga saat ini masih stabil.
"Saya undang lebih dari 40 institusi. Tujuannya berikan update perkembangan ekonomi terkini di sektor keuangan, capital market dan surat berharga untuk memberikan keyakinan dan untuk jaga stabilitas dari ekonomi," katanya di Gedung Ditjen Pajak, Jakarta, Jumat (11/5/2018).
Menurutnya, respons yang disampaikan para pengusaha yang hadir dalam pertemuan tersebut pun cukup baik. Para pengusaha sependapat dengan pemerintah bahwa seluruh gejolak yang terjadi saat ini murni berasal dari luar Indonesia. Sementara perekonomian Indonesia sendiri diyakini tidak ada masalah.
"Seluruh gejolak yang terjadi saat ini purely di luar Indonesia. Jadi sebetulnya mengenai ekonomi Indonesia sendiri dan policy di Indonesia sendiri enggak ada yang dijadikan sebagai pemicu dan mereka masih memiliki optimisme terhadap policy pemerintah dan kinerja ekonomi," imbuh dia.
Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia ini menjabarkan, gejolak yang terjadi dari luar negeri ini dipicu oleh rencana kenaikan tingkat suku bunga acuan Amerika Serikat (Fed Fund Rate). "Maupun ada yang mereka pegang short dalam bentuk dolar dan unwining, yang menyebabkan reposisi atau komposisi dari portfolionya yang kemudian menimbulkan eksposure terhadap indonesia, termasuk aset klas yang dipegang oleh mereka," tuturnya.
Dalam pertemuan tersebut, lanjut wanita yang akrab disapa Ani ini, para pengusaha dan industri juga mempertanyakan koordinasi antara pemerintah dan BI dalam menyikapi kondisi ini, terutama jika gejolak yang terjadi di pasar global terus berjalan. Mereka ingin mengetahui respon BI dalam situasi jangka pendek untuk menyikapi hal ini.
Tak hanya itu, para pengusaha juga menginginkan informasi mengenai outlook harga minyak, subsidi, serta outlook APBN. Ani sendiri memastikan bahwa defisit akan dijaga di level 2,14% meskipun pemerintah tetap akan melakukan kajian terhadap harga minyak dunia terutama kaitannya dengan subsidi dan neraca keuangan PT Pertamina (Persero) dan PT PLN (Persero).
Sementara itu Gubernur BI Agus Martowardojo menambahkan, dalam pertemuan tersebut terlihat jelas bahwa pengusaha sependapat fundamental ekonomi Indonesia dalam keadaan baik. Hal ini terlihat dari pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal 1/2018 yang tumbuh 5,06% dan tertinggi di pola musiman pertama sejak 2015.
"Kita sama-sama berkesepahaman bahwa yang ada adalah tantangan terutama siklus peningkatan suku bunga AS, meningkatnya harga minyak dunia, dan menguatnya risiko geo politik sebagai akibat dari menguatnya tensi dagang AS-Tiongkok, dan pembatalan kesepakatan nuklir AS-Iran yang membuat dolar menguat terhadap seluruh mata uang dunia," paparnya.
"Jadi ekonomi kita baik, kita punya optimisme Indonesia adalah negara yang akan masuk kondisi normal yang baru. Dan Indonesia adalah negara dengan status investment grade bahkan satu notch di atas investment grade yang terendah," tegas Sri Mulyani.
(Baca Juga: Pelemahan Rupiah Jauh dari Fundamental, BI Pertimbangkan Naikkan Suku Bunga
Pertemuan tersebut juga melibatkan otoritas terkait seperti Bank Indonesia (BI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Sri Mulyani pun mencoba meyakinkan kepada dunia usaha, bahwa kondisi perekonomian Indonesia hingga saat ini masih stabil.
"Saya undang lebih dari 40 institusi. Tujuannya berikan update perkembangan ekonomi terkini di sektor keuangan, capital market dan surat berharga untuk memberikan keyakinan dan untuk jaga stabilitas dari ekonomi," katanya di Gedung Ditjen Pajak, Jakarta, Jumat (11/5/2018).
Menurutnya, respons yang disampaikan para pengusaha yang hadir dalam pertemuan tersebut pun cukup baik. Para pengusaha sependapat dengan pemerintah bahwa seluruh gejolak yang terjadi saat ini murni berasal dari luar Indonesia. Sementara perekonomian Indonesia sendiri diyakini tidak ada masalah.
"Seluruh gejolak yang terjadi saat ini purely di luar Indonesia. Jadi sebetulnya mengenai ekonomi Indonesia sendiri dan policy di Indonesia sendiri enggak ada yang dijadikan sebagai pemicu dan mereka masih memiliki optimisme terhadap policy pemerintah dan kinerja ekonomi," imbuh dia.
Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia ini menjabarkan, gejolak yang terjadi dari luar negeri ini dipicu oleh rencana kenaikan tingkat suku bunga acuan Amerika Serikat (Fed Fund Rate). "Maupun ada yang mereka pegang short dalam bentuk dolar dan unwining, yang menyebabkan reposisi atau komposisi dari portfolionya yang kemudian menimbulkan eksposure terhadap indonesia, termasuk aset klas yang dipegang oleh mereka," tuturnya.
Dalam pertemuan tersebut, lanjut wanita yang akrab disapa Ani ini, para pengusaha dan industri juga mempertanyakan koordinasi antara pemerintah dan BI dalam menyikapi kondisi ini, terutama jika gejolak yang terjadi di pasar global terus berjalan. Mereka ingin mengetahui respon BI dalam situasi jangka pendek untuk menyikapi hal ini.
Tak hanya itu, para pengusaha juga menginginkan informasi mengenai outlook harga minyak, subsidi, serta outlook APBN. Ani sendiri memastikan bahwa defisit akan dijaga di level 2,14% meskipun pemerintah tetap akan melakukan kajian terhadap harga minyak dunia terutama kaitannya dengan subsidi dan neraca keuangan PT Pertamina (Persero) dan PT PLN (Persero).
Sementara itu Gubernur BI Agus Martowardojo menambahkan, dalam pertemuan tersebut terlihat jelas bahwa pengusaha sependapat fundamental ekonomi Indonesia dalam keadaan baik. Hal ini terlihat dari pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal 1/2018 yang tumbuh 5,06% dan tertinggi di pola musiman pertama sejak 2015.
"Kita sama-sama berkesepahaman bahwa yang ada adalah tantangan terutama siklus peningkatan suku bunga AS, meningkatnya harga minyak dunia, dan menguatnya risiko geo politik sebagai akibat dari menguatnya tensi dagang AS-Tiongkok, dan pembatalan kesepakatan nuklir AS-Iran yang membuat dolar menguat terhadap seluruh mata uang dunia," paparnya.
"Jadi ekonomi kita baik, kita punya optimisme Indonesia adalah negara yang akan masuk kondisi normal yang baru. Dan Indonesia adalah negara dengan status investment grade bahkan satu notch di atas investment grade yang terendah," tegas Sri Mulyani.
(akr)