Pengusaha Diminta Tidak Timbun Dolar di Luar Negeri

Sabtu, 04 Agustus 2018 - 08:09 WIB
Pengusaha Diminta Tidak Timbun Dolar di Luar Negeri
Pengusaha Diminta Tidak Timbun Dolar di Luar Negeri
A A A
JAKARTA - Para pelaku usaha didorong untuk tidak menimbun dolar di luar negeri. Pemerintah ingin agar devisa hasil ekspor (DHE) kembali ke dalam negeri sehingga membantu menekan gejolak nilai tukar rupiah.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengakui, masih ada DHE yang parkir di luar negeri. Padahal, kata dia, kalau devisa hasil perdagangan luar negeri bisa masuk ke Indonesia, hal itu bisa menjadi faktor pendorong menguatnya rupiah.

Menurut Darmin, secara umum pertumbuhan ekonomi suatu negara didorong sejumlah indikator, di antaranya konsumsi, investasi, dan ekspor. Indikator tersebut dianggap sebagai suntikan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih baik.

"Tapi kalau devisa tidak masuk, ya engga jadi tambahan tenaga. Jadi dalam bahasa teknis ekonomi itu bocor. Suntikannya tidak menjadi tambahan tenaga," ujarnya di Jakarta kemarin.

Darmin melanjutkan, adanya devisa yang tidak masuk kembali ke Indonesia karena para pengusaha ekspor menyimpan uangnya di luar negeri. Menurut dia, hanya 80-81% devisa yang masuk setiap tahun dari ekspor. "Sisanya, sebanyak 19%-20% engga masuk," ungkapnya.

Darmin menuturkan, dari 80-81% yang membawa masuk uang hasil ekspor, hanya 15% saja yang dikonversi menjadi rupiah. Menurunya, sebagian besar dari uang hasil ekspor itu disimpan dalam bentuk tabungan valas, deposito, maupun giro.

"Nah, itu akan mengurangi dampak dorongan terhadap pertumbuhan ekonomi. Walaupun enggak sama dengan yang enggak masuk, karena lama-lama dia tukar, cuma lama. Kalau langsung dia tukar tahun itu juga dampaknya ke ekonomi," jelasnya.

Darmin menjelaskan, Bank Indonesia (BI) tengah mengkaji aturan untuk menarik DHE dibawa masuk seluruhnya ke dalam negeri. Aturan ini akan diterbitkan dalam waktu dekat.

"BI sedang memfinalisasi dan akan diumumkan minggu depan atau minggu berikutnya. BI sedang merumuskan biaya swap beli lagi valas dan itu biayanya lebih ringan," ujarnya.

Di bagian lain Gubernur BI Perry Warjiyo menyatakan, pihaknya masih melihat tekanan eksternal akan dominan bersumber dari ekspektasi dua kali lagi kenaikan suku bunga acuan Bank Sentral AS The Federal Reserve (The Fed) pada September dan Desember 2018. Agustus 2018 ini, The Federal Reserve menahan suku bunga acuannya di 1,75-2%.

Perry juga mengatakan akan membuat biaya swap atau instrumen yang bisa digunakan sebagai lindung nilai, dengan biaya lebih kompetitif, agar valas lebih banyak masuk ke pasar keuangan domestik.

"Biaya swap di kami itu sebesar 5% untuk tenor satu bulan, dan 6% untuk tenor enam bulan. Itu cukup murah. Kami dorong eksportir untuk bawa devisa dan konversi ke rupiah," ujarnya.

Sementara itu, terkait upaya menghemat devisa negara, pemerintah juga tengah menggenjot penerimaan devisa melalui pariwisata dan perluasan mandatori biodiesel sebanyak 20% atau B20. Di sektor pariwisata yang menjadi andalan penerimaan devisa, pemerintah sudah merumuskan sejumlah langkah konkret.

"Kita mengarahkan pembangunan untuk pariwisata mulai dari infrastruktur seperti hotel, homestay, dan penjualan kerajinan," kata Darmin.

Hal yang sama juga ditekankan untuk implementasi mandatori B20 baik untu moda transportrasi yang bersifat public service obligastion (PSO) maupun non-PSO. Harapannya, kebijakan itu akan mengurangi dan menghemat devisa.

"Itu akan mengurangi penggunaan solar yang tadinya hanya untuk PSO B20. Ke depan, B20 untuk penggunaan solar akan diwajibkan semua dan itu akan menyimpan devisa," tuturnya.

Sebelumnya, Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Rosan P Roeslani mengatakan, kalangan pengusaha mendukung untuk membawa DHE ke dalam negeri. "Sebagian besar setuju. Meski begitu, masih ada beberapa kendala untuk membawa masuk hasil devisa ke dalam negeri," ujarya.

Menurut Rosan, kendala yang dihadapi karena para pengusaha mendapatkan pinjaman dalam bentuk valas di bank asing sehingga DHE tersebut ditempatkan di bank terkait untuk pembayaran cicilan dan bunga pinjaman.

"Pada saat mereka menerima proses dari ekspor ini, harus masuk ke bank dulu untuk dipotong pembayaran pokok dan bunganya," ungkapnya.

Rosan menuturkan, para pengusaha tentu menginginkan mata uang terjaga dan fluktuasi kurs Rupiah yang tidak merugikan. Pelaku usaha juga memperhitungkan masalah fluktuasi kurs Rupiah yang bisa merugikan.

"Misalnya, mereka membawa uangnya ke sini kemudian ditukarkan ke rupiah tapi fluktuasinya besar, itu kerugian juga buat mereka. Mungkin salah satunya menerbitkan instrumen forward yang bisa mengunci nilai kurs. Itu semua bisa dibicarakan dan menurut saya semua ada solusinya," tuturnya.

Rupiah Masih Melemah
Tekanan nilai tukar rupiah hingga kemarin terkenan, berada di level Rp14.503 per dolar Amerika Serikat (USD). Angka tersebut melanjutkan pelemahan yang terjadi dalam beberapa hari terakhir akibat sentimen negatif dari AS yang menyatakan prospek perekonomian di negara itu semakin cerah.

Hal itu memunculkan spekulasi bahwa Bank Sentral AS (Federal Reserve/The Fed) bakal kembali menaikkan suku bunga acuannya.

“Komite Fed menyampaikan bahwa aktivitas ekonomi meningkat dengan laju yang pesat, dan belanja rumah tangga serta investasi bisnis pun meningkat," ujar Chief Market Strategist FXTM Hussein Sayed.

Dia menambahkan, pernyataan the Fed itu menyiratkan kenaikan suku bunga pada bulan September dan Desember mendatang pada tahun ini.

"Spekulasi kenaikan suku bunga AS tahun ini menopang dolar AS, sehingga menahan pergerakan mata uang pasar berkembang termasuk rupiah," katanya.

Sementara itu, Gubernur BI Perry Warjiyo menegaskan, arah kebijakan moneter di dalam negeri akan tetap cenderung tegas dengan memprioritaskan stabilitas perekonomian.

Kebijakan tersebut, kata dia, masih diperlukan untuk membuat pasar keuangan domestik lebih kompetitif dalam memasok portofolio asing. Portofolio asing diperlukan untuk menjaga kecukupan likuiditas valas di pasar domestik sehingga dapat menjaga stabilitas nilai tukar rupiah.

Dia menambahkan, arah kebijakan moneter yang tegas (hawkish) lekat dengan kenaikan suku bunga itu masih diperlukan. Hal ini karena dengan banyaknya portofolio asing yang masuk, maka akan membantu memperbaiki defisit neraca transaksi berjalan.

Tahun ini, bank sentral memperkirakan defisit transaksi berjalan mencapai USD25 miliar atau naik 44% dari 2017 yang sebesar USD17,3 miliar.

"Kami tetap lakukan upaya-upaya untuk antisipatif dan frontloading," kata Perry.

Sebelumnya, otoritas moneter dalam Rapat Dewan Gubernur periode Agustus 2018 ini mengkalkulasi peluang untuk menerapkan langkah kebijakan moneter lebih lanjut, guna meredam tekanan ekonomi eksternal yang terus melemahkan nilai tukar rupiah. Saat ini, suku bunga kebijakan moneter 7-Day Reverse Repo Rate sebesar 5,25%.

"Sasarannya bagaimana pasar keuangan kita berdaya tarik sehingga portofolio bisa masuk," ujar Perry. (Oktiani Endarwati/Ant)
(nfl)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3415 seconds (0.1#10.140)