Pemerintah Diminta Waspadai Pergerakan Nilai Tukar Rupiah

Rabu, 19 Juni 2024 - 20:30 WIB
loading...
Pemerintah Diminta Waspadai...
Pergerakan kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) perlu diwaspadai pemerintah. FOTO/dok.SINDOnews
A A A
JAKARTA - Anggota Dewan Pakar DPP Partai Gerindra, Bambang Haryo Soekartono (BHS), menyatakan pergerakan kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) yang mendekati Rp17 ribu harus diwaspadai pemerintah.

"Ini harusnya sudah menjadi warning bagi pemerintah. Karena pergerakan ini termasuk yang tertinggi di Asia Tenggara," kata BHS, dikutip Rabu (19/6/2024).

Data investing.com menunjukkan perkembangan kurs rupiah terhadap dolar merupakan salah satu yang terburuk dibandingkan dengan mata uang beberapa negara lainnya sejak awal tahun hingga sekarang, year-to-date (YTD) per tanggal 17/6/2024. Kurs dolar terhadap dong Vietnam +3,88%, ringgit Malaysia +2,68%, dolar Singapore +2,57%, baht Thailand +6,88%, sedangkan rupiah +6,58%.

"Kalau kita lihat pergerakan dari tahun 2012 berbanding tahun 2024 di exchangerates.org, pada dolar Singapura pergerakannya dari 1,25 dolar Singapura menjadi 1,325 dolar Singapura, Brunei Darussalam dari 1,24 dolar menjadi 1,35 dolar, Thailand dari 31,074 Baht menjadi 36,67 Baht atau 18 persen. Malasyia mengalami pergerakan cukup tinggi, yaitu dari 3,08 ringgit menjadi 4,69 ringgit atau 52%. Bandingkan dengan Indonesia yang mengalami pergerakan dari Rp9.670 menjadi 16.466 atau 70,28%," paparnya.

Ia mengingatkan bahwa pergerakan kurs rupiah terhadap dolar yang terus merangsek ke angka Rp17 ribu atau lebih buruk lagi ke Rp20 ribu berpotensi memengaruhi kondisi makro dan mikro ekonomi Indonesia.

"Malaysia itu sudah mengambil langkah untuk merespon pergerakan kurs-nya, dengan cara membuka sebesar-besarnya pintu investasi pada industri, kepada negara China, Amerika maupun Eropa, karena Malaysia dilewati oleh kapal-kapal dari seluruh dunia. Kalau Indonesia ini susah mau melakukan langkah yang sama karena investasi dan biaya produksi di sini itu lebih mahal dibandingkan Malaysia," paparnya lagi.

Baca Juga: Rupiah Ambruk ke Rp16.374/USD, Ekonom: Perlu Penguatan Sisi Pemerintah Selain BI

Menyikapi kondisi ini, BHS mengimbau pemerintah untuk bisa belajar dari kebijakan ekonomi di zaman Presiden BJ Habibie.

"Langkah BJ Habibie saat itu yang bisa ditiru adalah kebijakan fiskal untuk menghentikan sejumlah proyek infrastruktur dan mengurangi bahkan meniadakan perjalanan presiden yang kemudian diikuti pejabat dari pusat hingga daerah, untuk sementara. Tujuannya untuk menjaga anggaran negara," ungkapnya.

BJ Habibie juga menolak usulan IMF untuk menaikkan harga BBM dan harga listrik, demi menghindari economic multiplier effect kepada pelaku usaha industri dan terutama UMKM.

"Kalau harga energi naik, yang paling banyak terkena dampaknya itu pastinya UMKM. Sementara UMKM itu adalah penyangga ekonomi kita yaitu 65% dan juga menyerap banyak tenaga kerja, yaitu 97% dari total lapangan kerja," ungkapnya lagi.

Ia mengharapkan pemerintah bisa memulai langkah-langkah untuk mengantisipasi pergerakan kurs rupiah agar tidak semakin meningkat ke nilai Rp17 ribu atau lebih.

"Jika nilai tukar terhadap dolar terus meningkat, maka dampaknya akan sangat merugikan. Karena hampir semua sektor di Indonesia ini bergantung pada komoditas yang terpengaruh oleh dolar. Saya juga mengimbau pemerintah bisa memberikan insentif maupun pengurangan biaya energi untuk sektor tekstil," ucapnya.



Lebih lanjut, apabila sektor energi mengalami kenaikan harga, maka masyarakat dan pelaku usaha, terutama skala kecil, akan mengalami pengaruh yang signifikan. Jika BBM naik, maka sektor transportasi akan terpaksa melakukan penyesuaian tarif, yang akhirnya akan membuat konsumen atau masyarakat selaku pengguna jasa transportasi harus menerima adanya penambahan biaya.

"Saat itu terjadi, akan ada pengaruh pada perekonomian nasional juga. Harga barang tinggi, masyarakat tak mampu beli, akhirnya angka pertumbuhan ekonomi itu hanya bagus di atas kertas saja," tandas BHS.
(nng)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.4153 seconds (0.1#10.140)