Pertamina Pecahkan Rekor Lagi, tapi Kali Ini Soal Kerugian
loading...
A
A
A
JAKARTA - Agak mencengangkan memang. Pertamina yang selama ini selalu menyodorkan pencapaian laba bersihnya yang triliunan rupiah itu, kini sekonyong-konyong membisu.
Pasalnya, berdasarkan publikasi laporan keuangan Pertamina semester I-2020, perusahaan migas negara itu menderita kerugian. Tak tanggung-tanggung, nilai kerugiannya segede gaban, sekitar Rp11 triliun. ( Baca juga:Pecahkan Rekor Lagi, Setoran Pertamina Capai Rp181,5 Triliun )
"Kerugian sebesar itu merupakan rekor rugi tertinggi selama 10 tahun terakhir," kata Fahmi Rady, pengamat ekonomi energi dari Universitas Gadjah Mada , Selasa (25/8/2020).
Fahmi melanjutkan, ada beberapa penyebab kerugian Pertamina itu. Penurunan lifting minyak menjadi penyumbang terbesar terhadap penurunan penjualan ekspor migas sehingga menyebabkan Pertamina merugi.
Memang, penurunan kerugian dari lifting minyak itu bisa ditambal Pertamina dari harga BBM yang tak diturunkan, ketika harga minyak dunia tengah jatuh sepanjang 2020. Sayangnya, konsumsi BBM Pertamina juga anjlok selama pandemi sehingga memengaruhi pendapatan Pertamina.
Menurut Fahmi, dalam kondisi merugi itu, keputusan Pertamina untuk mengakuisisi ladang minyak di luar negeri merupakan keputusan blunder, sebab akan memperbesar kerugian Pertamina pada semester II 2020. Alasannya, investasi tersebut tidak bisa dibiayai dari sumber internal laba ditahan.
"Tapi dibiayai dari sumber eksternal utang, yang akan semakin memperbesar biaya bunga sehingga memberatkan kerugian," jelas Fahmi.
Selain tidak ada laba ditahan, setoran deviden dan pajak juga akan mengalami penurunan drastis. Demikian juga dengan partner dan kontraktor yang selama ini bekerja sama dengan Pertamina pasti akan terkena imbasnya.
"Ujung-ujungnya, PHK di Pertamina dan para partner tidak bisa dihindarkan. Sehingga memperbesar jumlah PHK di Indonesia," kata Fahmi, lagi. ( Baca juga:Ketua MPR Minta Banpres Produktif untuk 12 Juta UMKM Tepat Sasaran )
Dalam kondisi tersebut, Pertamina tidak bisa ikut berperan dalam memberikan kontribusi terhadap sumber dana APBN, pembukaan lapangan pekerjaan, dan pertumbuhan ekonomi, serta pencegahan ancaman resesi ekonomi Indonesia.
"Dalam kondisi merugi, akhirnya menempatkan Pertamina sebagai liabilities (beban), bukan asset bangsa," tutup Fahmi.
Pasalnya, berdasarkan publikasi laporan keuangan Pertamina semester I-2020, perusahaan migas negara itu menderita kerugian. Tak tanggung-tanggung, nilai kerugiannya segede gaban, sekitar Rp11 triliun. ( Baca juga:Pecahkan Rekor Lagi, Setoran Pertamina Capai Rp181,5 Triliun )
"Kerugian sebesar itu merupakan rekor rugi tertinggi selama 10 tahun terakhir," kata Fahmi Rady, pengamat ekonomi energi dari Universitas Gadjah Mada , Selasa (25/8/2020).
Fahmi melanjutkan, ada beberapa penyebab kerugian Pertamina itu. Penurunan lifting minyak menjadi penyumbang terbesar terhadap penurunan penjualan ekspor migas sehingga menyebabkan Pertamina merugi.
Memang, penurunan kerugian dari lifting minyak itu bisa ditambal Pertamina dari harga BBM yang tak diturunkan, ketika harga minyak dunia tengah jatuh sepanjang 2020. Sayangnya, konsumsi BBM Pertamina juga anjlok selama pandemi sehingga memengaruhi pendapatan Pertamina.
Menurut Fahmi, dalam kondisi merugi itu, keputusan Pertamina untuk mengakuisisi ladang minyak di luar negeri merupakan keputusan blunder, sebab akan memperbesar kerugian Pertamina pada semester II 2020. Alasannya, investasi tersebut tidak bisa dibiayai dari sumber internal laba ditahan.
"Tapi dibiayai dari sumber eksternal utang, yang akan semakin memperbesar biaya bunga sehingga memberatkan kerugian," jelas Fahmi.
Selain tidak ada laba ditahan, setoran deviden dan pajak juga akan mengalami penurunan drastis. Demikian juga dengan partner dan kontraktor yang selama ini bekerja sama dengan Pertamina pasti akan terkena imbasnya.
"Ujung-ujungnya, PHK di Pertamina dan para partner tidak bisa dihindarkan. Sehingga memperbesar jumlah PHK di Indonesia," kata Fahmi, lagi. ( Baca juga:Ketua MPR Minta Banpres Produktif untuk 12 Juta UMKM Tepat Sasaran )
Dalam kondisi tersebut, Pertamina tidak bisa ikut berperan dalam memberikan kontribusi terhadap sumber dana APBN, pembukaan lapangan pekerjaan, dan pertumbuhan ekonomi, serta pencegahan ancaman resesi ekonomi Indonesia.
"Dalam kondisi merugi, akhirnya menempatkan Pertamina sebagai liabilities (beban), bukan asset bangsa," tutup Fahmi.
(uka)