Pemerintah Pastikan Tidak Akan Cabut BBM Subsidi, Tapi Jumlahnya Dipangkas
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pemerintah melalui Kementerian Bidang Kemaritiman dan Investasi memastikan tidak akan mencabut BBM subsidi di masyarakat. Namun jumlah kuota BBM subsidi akan dikurangi untuk penyediaan BBM rendah sulfur.
Deputi Bidang Koordinasi Infrastruktur dan Transportasi Kemenko Marves, Rachmat Kaimuddin mengatakan produksi BBM rendah sulfur tersebut punya ongkos yang lebih besar ketimbang BBM dengan kandungan sulfur yang tinggi. Sehingga diperlukan kompensasi tambahan jika Pemerintah mau menghadirkan BBM rendah sulfur di masyarakat.
"Kita tidak ada naikan harga BBM, tapi ada kenaikan cost untuk penambahan biaya produksi (BBM low sulfur), itu yang nanggung pemerintah, kalau pemerintah yang membayar, artinya ada subsidi," lanjutnya.
Rencananya, Pemerintah akan memberikan kompensasi kepada Pertamina untuk memproduksi BBM rendah sulfur. Sehingga peningkatan biaya produksi tidak berdampak pada harga jual ke masyarakat.
"Karena tadi kita sampaikan, untuk memperbaiki kualitasnya (menjadi BBM rendah sulfur), tentu harus tambah biaya," katanya.
Kaimudin mengatakan, ada beberapa opsi yang untuk menutup penambahan biaya produksi BBM rendah sulfur. Pertama menaikan harga BBM, kedua ditanggung seluruhnya oleh negara, ketiga memotong anggaran subsidi BBM dan dialokasikan untuk produksi BBM rendah sulfur.
Opsi terakhir lah yang dipilih oleh Pemerintah, sebab menurutnya saat ini subsidi BBM yang digelontorkan tidak tepat sasaran. Bahkan BBM subsidi yang seharusnya dinikmati oleh kalangan kelas bawah nyatanya dimanfaatkan oleh masyarakat kelas menengah keatas.
"Sederhananya, kalau dia pendapatan kecil mungkin naik kendaraan umum atau motor, kemudian mulai sejahtera, beli mobil, awalnya mobil kecil, kemudian menggunakan cc yang lebih besar. Jadi semakin tinggi pendapatan seseorang, maka kemungkinannya dia akan menggunakan bbm lebih banyak, artinya mendapatkan subsidi semakin banyak," kata Kaimudin.
"Penyaluran BBM subsidi yang seharusnya dinikmati oleh masyarakat yang ekonominya rentan justru dinikmati oleh golongan yang lebih kuat, jadi perlu subsidi ini tepat sasaran," tambahnya.
Sebelumnya diberitakan, Pemerintah akan menghapus peredaran BBM bersulfur tinggi, seperti pertalite, pertamax, dan solar dari pasaran. BBM tersebut akan digantikan dengan BBM baru dengan kandungan sulfur yang lebih rendah.
Meski demikian, Kaimudin memastikan BBM baru rendah sulfur tersebut akan memiliki harga jual yang sama seperti jenis pertalite dan pertamax saat ini, meski ada penambahan biaya produksi untuk menghasilkan produk baru tersebut.
Penambahan biaya itulah yang nantinya akan ditanggung pemerintah yang diberikan kepada PT Pertamina berupa modal kerja. Sehingga beban biaya tambahan dari proses produksi bisa ditambal pemerintah dan tidak berpengaruh terhadap harga jual ke konsumen.
Pada kesempatan yang berbeda, SVP Business Development Pertamina Wisnu Medan Santoso mengungkapkan untuk memproduksi BBM rendah sulfur ini diperlukan tambahan investasi sebesar USD2 miliar atau sekitar Rp30 triliun. Investasi ini digunakan untuk meningkatkan kapasitas produksi di kilang.
"Melalui investasi Pertamina di RDMP Balikpapan, kami sudah investasi sekitar USD5 miliar, itu akan bisa produksi BBM kualitas EURO 5. Tapi memang untuk meningkatkan kilang lain juga investasinya cukup lumayan, ada sekitar hampir USD2 miliar," kata Wisnu (11/9).
Deputi Bidang Koordinasi Infrastruktur dan Transportasi Kemenko Marves, Rachmat Kaimuddin mengatakan produksi BBM rendah sulfur tersebut punya ongkos yang lebih besar ketimbang BBM dengan kandungan sulfur yang tinggi. Sehingga diperlukan kompensasi tambahan jika Pemerintah mau menghadirkan BBM rendah sulfur di masyarakat.
"Kita tidak ada naikan harga BBM, tapi ada kenaikan cost untuk penambahan biaya produksi (BBM low sulfur), itu yang nanggung pemerintah, kalau pemerintah yang membayar, artinya ada subsidi," lanjutnya.
Rencananya, Pemerintah akan memberikan kompensasi kepada Pertamina untuk memproduksi BBM rendah sulfur. Sehingga peningkatan biaya produksi tidak berdampak pada harga jual ke masyarakat.
"Karena tadi kita sampaikan, untuk memperbaiki kualitasnya (menjadi BBM rendah sulfur), tentu harus tambah biaya," katanya.
Kaimudin mengatakan, ada beberapa opsi yang untuk menutup penambahan biaya produksi BBM rendah sulfur. Pertama menaikan harga BBM, kedua ditanggung seluruhnya oleh negara, ketiga memotong anggaran subsidi BBM dan dialokasikan untuk produksi BBM rendah sulfur.
Opsi terakhir lah yang dipilih oleh Pemerintah, sebab menurutnya saat ini subsidi BBM yang digelontorkan tidak tepat sasaran. Bahkan BBM subsidi yang seharusnya dinikmati oleh kalangan kelas bawah nyatanya dimanfaatkan oleh masyarakat kelas menengah keatas.
"Sederhananya, kalau dia pendapatan kecil mungkin naik kendaraan umum atau motor, kemudian mulai sejahtera, beli mobil, awalnya mobil kecil, kemudian menggunakan cc yang lebih besar. Jadi semakin tinggi pendapatan seseorang, maka kemungkinannya dia akan menggunakan bbm lebih banyak, artinya mendapatkan subsidi semakin banyak," kata Kaimudin.
"Penyaluran BBM subsidi yang seharusnya dinikmati oleh masyarakat yang ekonominya rentan justru dinikmati oleh golongan yang lebih kuat, jadi perlu subsidi ini tepat sasaran," tambahnya.
Sebelumnya diberitakan, Pemerintah akan menghapus peredaran BBM bersulfur tinggi, seperti pertalite, pertamax, dan solar dari pasaran. BBM tersebut akan digantikan dengan BBM baru dengan kandungan sulfur yang lebih rendah.
Meski demikian, Kaimudin memastikan BBM baru rendah sulfur tersebut akan memiliki harga jual yang sama seperti jenis pertalite dan pertamax saat ini, meski ada penambahan biaya produksi untuk menghasilkan produk baru tersebut.
Penambahan biaya itulah yang nantinya akan ditanggung pemerintah yang diberikan kepada PT Pertamina berupa modal kerja. Sehingga beban biaya tambahan dari proses produksi bisa ditambal pemerintah dan tidak berpengaruh terhadap harga jual ke konsumen.
Pada kesempatan yang berbeda, SVP Business Development Pertamina Wisnu Medan Santoso mengungkapkan untuk memproduksi BBM rendah sulfur ini diperlukan tambahan investasi sebesar USD2 miliar atau sekitar Rp30 triliun. Investasi ini digunakan untuk meningkatkan kapasitas produksi di kilang.
"Melalui investasi Pertamina di RDMP Balikpapan, kami sudah investasi sekitar USD5 miliar, itu akan bisa produksi BBM kualitas EURO 5. Tapi memang untuk meningkatkan kilang lain juga investasinya cukup lumayan, ada sekitar hampir USD2 miliar," kata Wisnu (11/9).
(fch)