Infrastruktur China di Asia Tenggara Makin Mencengkeram, Jebakan atau Peluang?

Kamis, 03 Oktober 2024 - 10:29 WIB
loading...
Infrastruktur China...
Asia Tenggara memainkan peran penting dalam investasi dan keputusan diplomatik China, terutama ketika perang dagang dengan Amerika Serikat atau AS memanas. Foto/Dok
A A A
JAKARTA - Asia Tenggara memainkan peran penting dalam investasi dan keputusan diplomatik China , terutama ketika perang dagang dengan Amerika Serikat atau AS memanas. China menggunakan infrastruktur (dalam kerangka Belt and Road Initiative/BRI ) untuk menjalin hubungan yang lebih kuat dengan kawasan ASEAN .



Hal itu terlihat ketika pemimpin tertinggi baru Vietnam, To Lam mengunjungi Beijing pada pertengahan Agustus, lalu dimana infrastruktur menjadi perhatian utama. Selama pertemuan, China sepakat untuk mendukung studi kelayakan terhadap dua proyek kereta api standar dan membantu dalam perencanaan satu lagi di negara Asia Tenggara itu.

Dua minggu sebelumnya, Kamboja melakukan peletakan batu pertama di kanal Funan Techo yang disponsori China, yang akan menghubungkan Sungai Mekong dengan Teluk Thailand.

Perkembangan tersebut menunjukkan dorongan infrastruktur China di Asia Tenggara semakin kencang, dan yang menurut para analis kemungkinan akan memberi Beijing keunggulan geopolitik atas Washington dalam "medan pertempuran yang semakin kritis".



Selain itu ada juga sinyal pergerakan di tempat lain. Bangkok meluncurkan layanan kereta penumpang ke Vientiane, Laos, tiga bulan setelah persetujuan fase kedua proyek di Thailand untuk menghubungkan kereta api berkecepatan tinggi di ketiga negara tersebut.

Ibu kota Laos pertama kali diintegrasikan ke dalam jaringan kereta api berkecepatan tinggi China pada Desember 2021, ketika jalur kereta api ke provinsi Yunnan Tiongkok dibuka.

Sementara itu, Jakarta dan Beijing memulai diskusi tentang perluasan jalur kereta api cepat yang didukung China di Indonesia, dan konsorsium China dilaporkan telah menawar kontrak untuk membangun proyek kereta api berkecepatan tinggi yang menghubungkan Kuala Lumpur dan Singapura.

Direktur Pusat Penelitian Studi Asia (RCAS) di Hong Kong, Nian Peng mengatakan ada "tren percepatan" dalam konektivitas berbasis infrastruktur antara China dan Asia Tenggara.

Mengutip perkembangan rute ke Vietnam dan Thailand, dia mengatakan, hubungan kereta api China dengan negara-negara Asia Tenggara telah berubah. Dulunya kereta cepat tidak ada sebelum kereta api berkecepatan tinggi China-Laos dibuka tiga tahun lalu, hingga kini sudah "berkembang di banyak tempat".

Peng memperkirakan, bahwa ini dapat membantu Beijing menangkis risiko Amerika Serikat membujuk negara-negara Asia Tenggara ke orbitnya dan menekan mereka untuk memisahkan diri dari ekonomi China.

"Jika kita dapat mencapai docking infrastruktur di darat, termasuk jalan raya, kereta api dan penerbangan, kita dapat menempatkan Asia Tenggara dengan kuat dalam rantai pasokan yang berpusat pada China," katanya.

"Dengan konektivitas infrastruktur antara China dan Asia Tenggara yang berkembang begitu pesat, saya pikir AS harus menjadi yang paling cemas," paparnya.

Dia menambahkan bahwa AS dan sekutunya Jepang tidak mungkin sepenuhnya memuaskan selera besar kawasan itu untuk infrastruktur karena keterbatasan dalam pendanaan dan mekanisme pengambilan keputusan. Kondisi tersebut menyisakan banyak ruang bagi China.

Namun, Li Mingjiang, seorang profesor di Sekolah Studi Internasional S. Rajaratnam di Universitas Teknologi Nanyang di Singapura, mengatakan langkah-langkah terbaru dalam kerja sama infrastruktur China-Asia Tenggara adalah "kelanjutan" daripada percepatan atau "fase baru".

Dia mencatat bahwa tidak ada lompatan kuantitatif atau kualitatif dibandingkan dengan proyek-proyek sebelumnya selama satu dekade terakhir.

Namun dia menggambarkan, Asia Tenggara sebagai "prioritas" untuk keterlibatan infrastruktur China. Ditambahkan juga olehnya, bahwa kerja sama ekonomi selama tiga dekade terakhir, membantu menempatkan Beijing dalam "posisi terdepan" atas Washington di kawasan itu dalam hal pengaruh keseluruhan.

"Kami dapat memperkirakan efek seperti itu dapat terus terlihat di masa depan," kata Li.

Dia menambahkan, bahwa investasi infrastruktur yang berkembang akan menguntungkan hubungan China dengan anggota ASEAN dan membantu China saat bersaing mendapatkan pengaruh dengan kekuatan besar lainnya di kawasan tersebut.

"Negara-negara Asia Tenggara juga akan mendapatkan banyak manfaat, seperti untuk pembangunan ekonomi jangka panjang mereka," kata Li.

Ia juga memberikan, catatan bahwa mereka mungkin memanfaatkan tawaran China untuk tawar-menawar dengan kekuatan lain untuk mendapatkan lebih banyak perhatian dan dukungan.

Membangun hubungan yang lebih erat dengan negara-negara Asia Tenggara menjadi penting bagi China, mengingat persaingan sengitnya dengan Washington. Perang dagang yang dimulai di bawah mantan presiden AS Donald Trump dan gangguan pada rantai pasokan global oleh pandemi Covid-19 dan invasi Rusia ke Ukraina, membuat Asia Tenggara jadi kunci buat China.

Empat tahun lalu, blok ASEAN yang beranggotakan 10 negara menjadi mitra dagang terbesar Beijing, sementara China telah menjadi mitra dagang utama kelompok itu selama 15 tahun berturut-turut.

Dalam dolar AS, ekspor China ke ASEAN tumbuh 10,6% dari tahun sebelumnya pada delapan bulan pertama tahun 2024, dan impornya dari blok tersebut naik 3,5%, menurut data terbaru Bea Cukai China per 10 September.

Angka dari Kementerian Perdagangan Tiongkok menunjukkan bahwa investasi langsung keluar non-finansial China ke ASEAN melonjak hampir 37% pada kuartal pertama tahun ini.

Banyak perusahaan China mulai menyalurkan pengiriman mereka ke seluruh dunia melalui negara-negara Asia Tenggara atau merelokasi sebagian dari jalur produksi mereka ke wilayah tersebut untuk melewati pembatasan perdagangan, seperti tarif, yang diberlakukan oleh AS dan sekutunya.

Negara-negara ASEAN memiliki populasi hampir 700 juta, mewakili kumpulan tenaga kerja potensial yang besar dan pasar konsumen besar untuk dimanfaatkan oleh China.

Dalam sebuah artikel yang diterbitkan oleh Foreign Affairs awal bulan ini, Lynn Kuok, ketua Lee Kuan Yew dalam Studi Asia Tenggara di Brookings Institution, mengatakan proyek-proyek di bawah Belt and Road Initiative China "secara umum disambut" di kawasan itu.

Mengutip survei oleh Institut ISEAS-Yusof Ishak yang berbasis di Singapura yang dirilis pada bulan April, dia memperingatkan bahwa penurunan dukungan untuk AS di kawasan itu mengharuskan Washington untuk membunyikan alarm, "melihat China sebagai pesaing utamanya dan Indo-Pasifik sebagai medan pertempuran kritis".

"Asia Tenggara terletak di jantung geografis dari wilayah yang luas dan dinamis ini," tambahnya.

Beberapa rencana yang dipimpin Washington mencakup pembangunan infrastruktur Asia Tenggara. Kerangka Kerja Ini termasuk Kerangka Ekonomi Indo-Pasifik untuk Kemakmuran, Kemitraan untuk Infrastruktur dan Investasi Global, inisiatif Build Back Better World, dan Blue Dot Network.

Dalam sebuah artikel yang diterbitkan pada awal tahun ini, Yan Shaojun, seorang peneliti di lembaga think tank China Centre for International Economic Exchanges yang didukung pemerintah, mengatakan bahwa infrastruktur menjadi elemen kunci dalam persaingan kekuatan besar.

Yan memperingatkan, bahwa AS dan negara-negara Barat lainnya kemungkinan akan melanjutkan "campur tangan" mereka dalam rencana Beijing untuk membangun perdagangan global dan hubungan infrastruktur - dan "wilayah tetangga" termasuk Asia Tenggara akan menjadi "prioritas utama" bagi China dalam menstabilkan fondasi strategi.

"(Kita) harus lebih memanfaatkan keunggulan unik provinsi perbatasan seperti Guangxi dan Yunnan dalam membuka diri ke ASEAN untuk mempromosikan kerja sama antara Tiongkok dan ASEAN di bidang-bidang seperti infrastruktur," tulisnya.

(akr)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.0983 seconds (0.1#10.140)