China Ingin Hidupkan Kembali Hubungan Ekonomi dengan Libya Usai Terkubur 13 Tahun
loading...
A
A
A
JAKARTA - China memiliki kepentingan besar di Libya , sebelum pecahnya perang saudara berdarah di negara Afrika Utara yang kaya minyak tersebut. Sebelum revolusi 2011 yang menggulingkan Muammar Gaddafi hingga memicu perang, China mengendalikan banyak proyek di Libya.
Pada saat itu tercatat ada 75 perusahaan China menggarap 50 proyek besar dengan nilai kontrak lebih dari USD20 miliar, menurut perkiraan Kementerian Perdagangan China. Semua itu mencakup minyak, konstruksi, kereta api dan telekomunikasi.
Namun gelontoran investasi China yang luas tiba-tiba terhenti setelah beberapa perusahaan jadi sasaran penyerangan hingga menyebabkan puluhan pekerja terluka parah. Beijing lantas bertindak cepat dengan mengevakuasi warganya dari kekacauan.
Selama krisis, 35.860 warga negara China ditarik keluar dari Libya - secara resmi evakuasi luar negeri itu menjadi yang terbesar sejak berdirinya Republik Rakyat China pada tahun 1949. Kemudian ketika situasi keamanan memburuk, China menangguhkan investasi baru, sesuatu yang relatif tidak berubah sampai sekarang.
Saat ini Libya terbagi antara dua pemerintahan: Pemerintah Persatuan Nasional (GNU) yang diakui secara internasional yang berbasis di Tripoli di barat negara itu, dan saingannya Pemerintah Stabilitas Nasional (GNS) yang selaras dengan jenderal pemberontak Khalifa Hifter dari Tentara Nasional Libya di Benghazi di timur.
Baru-baru ini, ada sinyal yang terlihat bahwa China siap untuk kembali membuka diri kepada negara yang kaya energi, namun masih terpecah secara politik tersebut.
Pada 10 Juni, Menteri Ekonomi dan Perdagangan Libya, Mohamed al Hwej mengeluarkan arahan untuk mengaktifkan Kamar Ekonomi Bersama Libya-China. Menteri mendesak hal itu untuk membantu membangun jembatan dan meningkatkan komunikasi investasi antara kedua negara.
Para pejabat China dan Dewan Transisi Nasional Libya telah merundingkan kembalinya China ke Libya, yang merupakan salah satu masalah yang sedang dibahas ketika Perdana Menteri GNU Abdul Hamid Dbeibah, mengunjungi China pada akhir Mei.
Pada saat itu tercatat ada 75 perusahaan China menggarap 50 proyek besar dengan nilai kontrak lebih dari USD20 miliar, menurut perkiraan Kementerian Perdagangan China. Semua itu mencakup minyak, konstruksi, kereta api dan telekomunikasi.
Namun gelontoran investasi China yang luas tiba-tiba terhenti setelah beberapa perusahaan jadi sasaran penyerangan hingga menyebabkan puluhan pekerja terluka parah. Beijing lantas bertindak cepat dengan mengevakuasi warganya dari kekacauan.
Selama krisis, 35.860 warga negara China ditarik keluar dari Libya - secara resmi evakuasi luar negeri itu menjadi yang terbesar sejak berdirinya Republik Rakyat China pada tahun 1949. Kemudian ketika situasi keamanan memburuk, China menangguhkan investasi baru, sesuatu yang relatif tidak berubah sampai sekarang.
Saat ini Libya terbagi antara dua pemerintahan: Pemerintah Persatuan Nasional (GNU) yang diakui secara internasional yang berbasis di Tripoli di barat negara itu, dan saingannya Pemerintah Stabilitas Nasional (GNS) yang selaras dengan jenderal pemberontak Khalifa Hifter dari Tentara Nasional Libya di Benghazi di timur.
Baru-baru ini, ada sinyal yang terlihat bahwa China siap untuk kembali membuka diri kepada negara yang kaya energi, namun masih terpecah secara politik tersebut.
Pada 10 Juni, Menteri Ekonomi dan Perdagangan Libya, Mohamed al Hwej mengeluarkan arahan untuk mengaktifkan Kamar Ekonomi Bersama Libya-China. Menteri mendesak hal itu untuk membantu membangun jembatan dan meningkatkan komunikasi investasi antara kedua negara.
Para pejabat China dan Dewan Transisi Nasional Libya telah merundingkan kembalinya China ke Libya, yang merupakan salah satu masalah yang sedang dibahas ketika Perdana Menteri GNU Abdul Hamid Dbeibah, mengunjungi China pada akhir Mei.