Dugaan Praktik Monopoli Avtur di Indonesia Dinilai Tak Berdasar

Kamis, 03 Oktober 2024 - 15:57 WIB
loading...
Dugaan Praktik Monopoli...
Pengamat energi menilai tudingan praktik monopoli yang mengakibatkan pelaku usaha lain tidak dapat masuk ke dalam usaha penyediaan avtur di bandara tidak berdasar. FOTO/Ilustrasi/Dok.
A A A
JAKARTA - Tudingan adanya monopoli dalam bisnis bahan bakar pesawat, avtur, kembali menyeruak setelah Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menyebutkan tengah melakukan penyelidikan atas dugaan praktik monopoli dan penguasaan pasar oleh PT Pertamina Patra Niaga. Monopoli tersebut dinilai mengakibatkan pelaku usaha lain tidak dapat masuk ke dalam persaingan usaha penyediaan avtur di bandar udara.

Menanggapi dugaan adanya monopoli avtur tersebut,General Manager Region Jatim Balinus CENITS (Centre for Energy and Innovation Technology Studies) Raden Muhsin Budiono menilai dugaanitu sama sekali tidak berdasar. Pasalnya, tegas dia, Subholding Commercial & Trading PT Pertamina (Persero) bukanlah satu-satunya penyedia avtur di dalam negeri.

"Faktanya, pasar avtur di Indonesia bukanlah monopoli. Selain Pertamina, ada perusahaan swasta yang mengantongi Izin Usaha Niaga Migas untuk komoditas avtur yakni PT AKR Corporindo Tbk, PT Dirgantara Petroindo Raya, dan PT Fajar Petro Indo," papar Muhsin kepada media, Kamis (3/10/2024).



Muhsin menambahkan, pemerintah telah menetapkan berbagai regulasi yang bertujuan menciptakan iklim usaha sehat dan mencegah praktik monopoli di sektor energi, termasuk avtur. Peraturan Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) No. 13/P/BPH Migas/IV/2008 tentang pengaturan pan Pengawasan atas pelaksanaan penyediaan dan pendistribusian bahan bakar minyak penerbangan di bandar udara, menjadi salah satu aturan acuan dalam penyediaan avtur di Indonesia.

Aturan itu pula menurutnya yang menjadi acuan bagi Pertamina Patra Niaga dalam penyediaan avtur di 72 depot pengisian pesawat udara (DPPU) yang tersebar di seluruh Indonesia. "Selain regulasi-regulasi di atas, terdapat pula penugasan oleh pemerintah kepada Pertamina untuk memasok avtur di bandara-bandara tertentu, terutama di daerah terpencil," tambahnya.

Penugasan tersebut, jelas dia, bertujuan memastikan ketersediaan avtur di seluruh wilayah Indonesia dan mendukung pengembangan daerah. Implikasinya, Pertamina tak hanya fokus melayani penyediaan avtur pada bandara besar, namun juga bandara-bandara kecil atau perintis yang secara komersial tidak menguntungkan karena rendahnya tingkat permintaan.

"Mungkin atas pertimbangan inilah pada Bab II pasal 3 ayat 3 peraturan BPH Migas itu meregulasikan bahwa pemerintah mewajibkan badan usaha yang melaksanakan penyediaan avtur untuk mengutamakan produksi kilang dalam negeri," imbuhnya.

Menurut Muhsin, pasal 3 ayat 3 itu yang kemungkinan dianggap KPPU tidak memihak ke swasta dan menghalangi persaingan sehat, dimana dalam aturan BPH itu persyaratan diatur sedemikian ketat sehingga memosisikan Pertamina lebih unggul di bidang usaha penjualan avtur di Indonesia.

"Mungkin inilah sumber munculnya tuduhan dugaan monopoli terhadap Pertamina. Tak heran jika baru-baru ini atas nama persaingan sehat, KPPU mendesak agar BPH Migas merevisi peraturan No. 13/2008 tersebut guna membuka ruang multiprovider avtur," ujarnya.

Terkait tudingan harga avtur di Indonesia menjadiyang tertinggi di Asia Tenggara, Muhsin menilai hal itu jugatidak benar. Faktanya, kata dia, harga avtur Pertamina kompetitif dan sesuai dengan aturan yang pemerintah, yakni Kepmen ESDM No. 17 K/10/MEM/2019 tentang formula harga dasar dalam perhitungan harga jual eceran jenis bahan bakar minyak umum jenis avtur yang disalurkan melalui DPPU.



Persoalan tingginya harga avtur yang dijual Pertamina, lanjut Muhsin, juga telah dibantah oleh Menteri ESDM Bahlil Lahadalia. Bila dibanding publish price avtur per liter di negara-negara yang memiliki lansekap geografis mirip Indonesia, kata dia, harga publikasi avtur Pertamina didapati setara dan bahkan lebih rendah. "Sebagai contoh harga avtur Pertamina Patra Niaga periode 1-30 September ini Rp13.211 per liter, sedangkan harga avtur di Singapura pada periode yang sama mencapai Rp23.212 per liter," paparnya.

Muhsin menjelaskan, harga avtur sejatinya dipengaruhi banyak faktor, termasuk harga minyak mentah dunia, biaya transportasi, kurs, dan pajak. Penetapan harga juga mempertimbangkan demand volume atas frekuensi pergerakan pesawat dari tiap-tiap bandara serta mempertimbangkan formula Mean of Plats Singapore (MoPS) yang menjadi patokan harga pasar terdekat. "Jadi membandingkan harga avtur antarnegara tanpa mempertimbangkan faktor-faktor tersebut tidak apple to apple, apalagi rantai pasok avtur di Indonesia lebih kompleks dibanding negara lain," tandasnya.

Sebelumnya, Pertamina Patra Niaga juga telah menyampaikan klarifikasi terkait dugaan monopoli tersebut. Pertamina menegaskan tidak pernah menolak kerja sama dengan pelaku usaha yang ingin masuk ke pasar avtur maupun dengan penjualan terbatas pada afiliasi. "Pertamina Patra Niaga tidak pernah menolak kerja sama, karena sampai saat ini belum ada permintaan dari Izin Niaga Umum lain,"tegas Corporate Secretary Pertamina Patra Niaga, Heppy Wulansari, belum lama ini.

Heppy menambahkan, Pertamina Patra Niaga akan selalu menaati Peraturan BPH MIGAS No. 13/P/BPH Migas/IV/2008 yang menjadi acuan badan usaha dalam menyediakan avtur di Indonesia. Pertamina Patra Niaga, sambung dia, juga akan selalu mendukung kebijakan pemerintah dan tetap bertanggung jawab menyediakan avtur di 72 DPPU yang tersebar di seluruh nusantara.
(fjo)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1050 seconds (0.1#10.140)