PPN Naik 12% di Tengah Ekonomi yang Rapuh, Rakyat dapat Apa?
loading...
A
A
A
JAKARTA - Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai ( PPN ) 12% yang akan diimplementasikan pada 1 Januari 2025 dianggap tidak tepat di tengah rapuhnya kondisi ekonomi saat ini. Pemerintah perlu mempertimbangkan kembali keputusan tersebut dan mencari alternatif kebijakan fiskal yang lebih kreatif tanpa membebani daya beli masyarakat.
"Kenaikan ini berpotensi meningkatkan inflasi terutama mempengaruhi harga kebutuhan pokok dan barang lainnya. Pemerintah juga harus mempertimbangkan kebutuhan anggaran untuk stimulus guna meredam tekanan kenaikan harga terhadap daya beli masyarakat," ujar Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, melalui keterangan tertulis, Jumat (20/12/2024).
Dalam konteks stimulus, pemerintah harus menyiapkan Paket Kebijakan Ekonomi untuk Kesejahteraan dengan total nilai Rp445,5 triliun atau 1,83% dari PDB. Menurut dia, ada beberapa opsi lain daripada menaikkan PPN 12%. Pertama, pemerintah perlu mengoptimalisasi pajak digital. Perkembangan ekonomi digital di Indonesia sangat pesat, tetapi penerimaan pajak dari sektor ini masih belum maksimal.
Dia menyebut, pada 2023, sektor ekonomi digital Indonesia diproyeksikan mencapai nilai transaksi sebesar USD77 miliar, dan angka ini terus meningkat setiap tahun. Namun, kontribusi pajak dari sektor ini masih berada di bawah 5% dari total penerimaan pajak.
Pemerintah perlu memperbaiki mekanisme pemungutan pajak dari platform digital, termasuk e-commerce, layanan streaming, aplikasi ride-hailing, dan marketplace daring. Salah satu langkah yang dapat diambil adalah peningkatan pengawasan dan penegakan aturan terhadap perusahaan digital asing yang beroperasi di Indonesia. Misalnya, banyak perusahaan digital global masih belum terdaftar sebagai wajib pajak resmi di Indonesia, sehingga pemerintah kehilangan potensi penerimaan pajak yang signifikan.
Baca Juga: Siap-siap PPN 12%, Beban Rakyat Makin Berat
Lebih lanjut, potensi penerimaan dari pajak digital ini sangat besar. Jika pemerintah dapat mengenakan pajak yang adil pada transaksi digital, termasuk PPN dan pajak penghasilan (PPh) untuk pelaku usaha digital. "Penerimaan negara dari sektor ini diperkirakan dapat mencapai tambahan Rp70-100 triliun per tahun," kata dia.
Sebagai perbandingan, negara seperti Inggris telah mengimplementasikan pajak digital khusus yang dikenal sebagai "Digital Services Tax" (DST). Pajak ini menetapkan tarif sebesar 2% untuk pendapatan perusahaan teknologi dari pengguna domestik.
Dalam tahun pertama penerapannya, DST Inggris berhasil mengumpulkan lebih dari USD700 juta. Sementara itu, Prancis juga telah memberlakukan pajak digital serupa dengan tarif 3%, yang menyasar raksasa teknologi seperti Google, Amazon, dan Facebook.
Indonesia dapat mempelajari model ini dan menyesuaikannya dengan kondisi lokal. Selain itu, pemerintah Indonesia juga bisa memperkenalkan skema kerja sama dengan platform digital untuk mempermudah pelaporan dan pemungutan pajak.
"Kenaikan ini berpotensi meningkatkan inflasi terutama mempengaruhi harga kebutuhan pokok dan barang lainnya. Pemerintah juga harus mempertimbangkan kebutuhan anggaran untuk stimulus guna meredam tekanan kenaikan harga terhadap daya beli masyarakat," ujar Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, melalui keterangan tertulis, Jumat (20/12/2024).
Dalam konteks stimulus, pemerintah harus menyiapkan Paket Kebijakan Ekonomi untuk Kesejahteraan dengan total nilai Rp445,5 triliun atau 1,83% dari PDB. Menurut dia, ada beberapa opsi lain daripada menaikkan PPN 12%. Pertama, pemerintah perlu mengoptimalisasi pajak digital. Perkembangan ekonomi digital di Indonesia sangat pesat, tetapi penerimaan pajak dari sektor ini masih belum maksimal.
Dia menyebut, pada 2023, sektor ekonomi digital Indonesia diproyeksikan mencapai nilai transaksi sebesar USD77 miliar, dan angka ini terus meningkat setiap tahun. Namun, kontribusi pajak dari sektor ini masih berada di bawah 5% dari total penerimaan pajak.
Pemerintah perlu memperbaiki mekanisme pemungutan pajak dari platform digital, termasuk e-commerce, layanan streaming, aplikasi ride-hailing, dan marketplace daring. Salah satu langkah yang dapat diambil adalah peningkatan pengawasan dan penegakan aturan terhadap perusahaan digital asing yang beroperasi di Indonesia. Misalnya, banyak perusahaan digital global masih belum terdaftar sebagai wajib pajak resmi di Indonesia, sehingga pemerintah kehilangan potensi penerimaan pajak yang signifikan.
Baca Juga: Siap-siap PPN 12%, Beban Rakyat Makin Berat
Lebih lanjut, potensi penerimaan dari pajak digital ini sangat besar. Jika pemerintah dapat mengenakan pajak yang adil pada transaksi digital, termasuk PPN dan pajak penghasilan (PPh) untuk pelaku usaha digital. "Penerimaan negara dari sektor ini diperkirakan dapat mencapai tambahan Rp70-100 triliun per tahun," kata dia.
Sebagai perbandingan, negara seperti Inggris telah mengimplementasikan pajak digital khusus yang dikenal sebagai "Digital Services Tax" (DST). Pajak ini menetapkan tarif sebesar 2% untuk pendapatan perusahaan teknologi dari pengguna domestik.
Dalam tahun pertama penerapannya, DST Inggris berhasil mengumpulkan lebih dari USD700 juta. Sementara itu, Prancis juga telah memberlakukan pajak digital serupa dengan tarif 3%, yang menyasar raksasa teknologi seperti Google, Amazon, dan Facebook.
Indonesia dapat mempelajari model ini dan menyesuaikannya dengan kondisi lokal. Selain itu, pemerintah Indonesia juga bisa memperkenalkan skema kerja sama dengan platform digital untuk mempermudah pelaporan dan pemungutan pajak.