Asyiknya Thailand, Covid Reda, Warga Dibayari Pemerintah untuk Liburan
loading...
A
A
A
CANBERRA - Dibayari untuk liburan kedengarannya terlalu indah untuk jadi kenyataan. Tapi, itulah yang terjadi di Thailand pascaredanya pandemi Covid-19 hasil dari kebijakan lockdown ketat yang ditempuh pemerintah.
Setelah 16 minggu "terkurung" akibat kebijakan tersebut, warga Thailand kini bebas untuk kembali beraktivitas. Tak hanya itu, ada kejutan dari pemerintahnya. Warga didorong untuk berlibur, menjadi turis di negaranya sendiri.
Bagian terbaiknya, Pemerintah Thailand menanggung sebagian biaya liburan warganya, sebagai bagian dari upaya untuk menghidupkan kembali industri wisata serta menggeliatkan kembali ekonomi yang terpuruk oleh pandemi Covid-19.
(Baca Juga: Pulihkan Pariwisata, Mas Menteri Usul Hibah Rp3,3 T Fokus untuk Program CHSE di Destinasi)
Nattaya Sinsmyther adalah salah satu dari 800.000 warga Thailand yang telah memanfaatkan skema subsidi liburan dari pemerintah tersebut. "Saya amat senang karena benar-benar tak nyaman berdiam diri di rumah selama 4 bulan," ujar wanita berusia 35 tahun yang tinggal di Pattaya, Bangkok, tersebut seperti dikutip ABC News, Senin (14/9/2020).
Tak hanya warga, para pengusaha di bidang wisata pun menyambut baik skema subsidi liburan tersebut. Pornthip Aeng-chaun, pemilik restoran di kota pinggir pantai, Krabi, bersyukur dengan skema pemerintah tersebut. "Kampanye (liburan bersubsidi) ini sangat bagus, kini makin banyak orang yang datang ke restoran," ungkapnya.
"Sepertinya sekitar 50% lebih banyak pengunjung saat ini. Saya berharap kampanye ini berlanjut, karena kalau tidak kami tidak akan bertahan," sambungnya.
Tak hanya restoran, hotel-hotel di Neger Gajah Putih itu pun mulai bergeliat. Namun, meski keadaan membaik, pemilik Hotel Chiang Mai Woody Eupapantawong mengatakan bahwa keuntungan belum akan kembali seperti semula sampai wisatawan asing kembali. "Tapi saya 100% mendukung kampanye pemerintah yang mendorong masyarakat untuk berlibur ini," ujarnya.
Untuk diketahui, dalam skema ini, Pemerintan Thailand hanya mengalokasikan dana sebesar 10,8 juta baht (sekitar Rp5,15 miliar), yang disalurkan melalui aplikasi e-wallet. Setiap bagian dari proses perjalanan, mulai dari membuat reservasi hotel hingga membayar makan malam, dilakukan melalui aplikasi tersebut dan kredit perjalanan hanya dapat digunakan di bisnis yang terdaftar.
Warga negara Thailand yang mendaftar menerima diskon 40% dari harga tiket pesawat dan akomodasi 10 malam. Setelah check-in di hotel, Pemerintah Thailand menambahkan tunjangan pengeluaran harian ke aplikasi e-wallet mereka, sekitar USD25 (sekitar Rp365 ribu) pada akhir pekan dan USD38 (sekitar Rp550 ribu) selama seminggu.
Warga Bangkok Kietthisak Khem-Siripat memanfaatkan skema subsidi tersebut untuk mengajak keluarganya berlibur ke Krabi. "Ini adalah hal yang sangat bagus karena menimbulkan keseimbangan antara ekonomi dan kesehatan," ujarnya seraya memuji langkah pemerintah tersebut. "Memang tak semua biaya liburan ditanggung, tapi setidaknya kami mendapatkan diskon," tuturnya.
Kendati demikian, sektor pariwisata Thailand masih jauh dari pulih. Sejak Maret lalu, kota-kota besar, pantai, pasar hingga pegunungan Thailand yang biasa menjadi sasaran turis sepi tanpa pengunjung. Padahal, Thailand menargetkan kunjungan sekitar 40 juga wisatawan asing tahun ini. Jumlah kunjungan wisman diprediksi merosot tinggal 8 juta saja.
(Baca Juga: Sudah Terapkan Protokol Kesehatan, Bali Masih Pikir-pikir Undang Wisman)
Hal ini berdampak signifikan bagi pengusaha yang bergerak di sektor pariwisata. Aeng-chaun, pemilik restoran yang telah beroperasi 22 tahun di Krabi misalnya, selama lockdown terpaksa menutup restorannya. "Saat dibuka lagi Mei lalu, kami terpaksa memotong gaji karyawan 50%," ujarnya.
Pemilik Hotel Chiang Mai Woody Eupapantawong mengatakan hal serupa, akibat lockdown, semua kamar yang telah di-booking terpaksa dibatalkan. Dia pun masih harus menanggung gaji karyawan di tengah anjloknya pendapatan hotel.
Pornthip Aeng-chaun, yang menjalankan restoran di Krabi pun mengatakan saat ini baru 20% pelanggan yang datang dibanding sebelumnya. Sebab, selama ini kebanyakan tamu restorannya adalah orang asing.
Thailand merupakan negara pertama di luar China yang mencatatkan kasus pertama Covid-19 pada Januari lalu. Terdapat lebih dari 3.473 kasus Covid-19 dan 58 kematian sejak itu. Namun, dibanding negara lain, tingkat infeksi di Thailand terbilang rendah dan negara ini juga dipuji karena mampu mendatarkan kurva Covid-19 dengan cepat. Thailand sempat mencatatkan 100 hari tanpa kasus infeksi secara lokal.
Kini, kehidupan berangsur normal, meski dipastikan butuh waktu sebelum ekonomi kembali pulih, terutama sektor pariwisata. Asisten Professor Ekonomi di Chulalongkorn University Jessica Vechbanyongratana mengatakan, skema liburan bersubsidi akan menolong, namun tak bisa menjadi penyelamat sektor industri.
"Turisme internasional itu adalah dua pertiga dari turisme di negara ini," tuturnya. "Jadi bagi hotel dan restoran, program ini akan menolong mereka mempertahankan level minimumnya sehingga diharapkan bisnisnya dapat bertahan melalui masa pandemi ini. Tapi tak bisa untuk menyelamatkan industri ini," tandasnya.
Setelah 16 minggu "terkurung" akibat kebijakan tersebut, warga Thailand kini bebas untuk kembali beraktivitas. Tak hanya itu, ada kejutan dari pemerintahnya. Warga didorong untuk berlibur, menjadi turis di negaranya sendiri.
Bagian terbaiknya, Pemerintah Thailand menanggung sebagian biaya liburan warganya, sebagai bagian dari upaya untuk menghidupkan kembali industri wisata serta menggeliatkan kembali ekonomi yang terpuruk oleh pandemi Covid-19.
(Baca Juga: Pulihkan Pariwisata, Mas Menteri Usul Hibah Rp3,3 T Fokus untuk Program CHSE di Destinasi)
Nattaya Sinsmyther adalah salah satu dari 800.000 warga Thailand yang telah memanfaatkan skema subsidi liburan dari pemerintah tersebut. "Saya amat senang karena benar-benar tak nyaman berdiam diri di rumah selama 4 bulan," ujar wanita berusia 35 tahun yang tinggal di Pattaya, Bangkok, tersebut seperti dikutip ABC News, Senin (14/9/2020).
Tak hanya warga, para pengusaha di bidang wisata pun menyambut baik skema subsidi liburan tersebut. Pornthip Aeng-chaun, pemilik restoran di kota pinggir pantai, Krabi, bersyukur dengan skema pemerintah tersebut. "Kampanye (liburan bersubsidi) ini sangat bagus, kini makin banyak orang yang datang ke restoran," ungkapnya.
"Sepertinya sekitar 50% lebih banyak pengunjung saat ini. Saya berharap kampanye ini berlanjut, karena kalau tidak kami tidak akan bertahan," sambungnya.
Tak hanya restoran, hotel-hotel di Neger Gajah Putih itu pun mulai bergeliat. Namun, meski keadaan membaik, pemilik Hotel Chiang Mai Woody Eupapantawong mengatakan bahwa keuntungan belum akan kembali seperti semula sampai wisatawan asing kembali. "Tapi saya 100% mendukung kampanye pemerintah yang mendorong masyarakat untuk berlibur ini," ujarnya.
Untuk diketahui, dalam skema ini, Pemerintan Thailand hanya mengalokasikan dana sebesar 10,8 juta baht (sekitar Rp5,15 miliar), yang disalurkan melalui aplikasi e-wallet. Setiap bagian dari proses perjalanan, mulai dari membuat reservasi hotel hingga membayar makan malam, dilakukan melalui aplikasi tersebut dan kredit perjalanan hanya dapat digunakan di bisnis yang terdaftar.
Warga negara Thailand yang mendaftar menerima diskon 40% dari harga tiket pesawat dan akomodasi 10 malam. Setelah check-in di hotel, Pemerintah Thailand menambahkan tunjangan pengeluaran harian ke aplikasi e-wallet mereka, sekitar USD25 (sekitar Rp365 ribu) pada akhir pekan dan USD38 (sekitar Rp550 ribu) selama seminggu.
Warga Bangkok Kietthisak Khem-Siripat memanfaatkan skema subsidi tersebut untuk mengajak keluarganya berlibur ke Krabi. "Ini adalah hal yang sangat bagus karena menimbulkan keseimbangan antara ekonomi dan kesehatan," ujarnya seraya memuji langkah pemerintah tersebut. "Memang tak semua biaya liburan ditanggung, tapi setidaknya kami mendapatkan diskon," tuturnya.
Kendati demikian, sektor pariwisata Thailand masih jauh dari pulih. Sejak Maret lalu, kota-kota besar, pantai, pasar hingga pegunungan Thailand yang biasa menjadi sasaran turis sepi tanpa pengunjung. Padahal, Thailand menargetkan kunjungan sekitar 40 juga wisatawan asing tahun ini. Jumlah kunjungan wisman diprediksi merosot tinggal 8 juta saja.
(Baca Juga: Sudah Terapkan Protokol Kesehatan, Bali Masih Pikir-pikir Undang Wisman)
Hal ini berdampak signifikan bagi pengusaha yang bergerak di sektor pariwisata. Aeng-chaun, pemilik restoran yang telah beroperasi 22 tahun di Krabi misalnya, selama lockdown terpaksa menutup restorannya. "Saat dibuka lagi Mei lalu, kami terpaksa memotong gaji karyawan 50%," ujarnya.
Pemilik Hotel Chiang Mai Woody Eupapantawong mengatakan hal serupa, akibat lockdown, semua kamar yang telah di-booking terpaksa dibatalkan. Dia pun masih harus menanggung gaji karyawan di tengah anjloknya pendapatan hotel.
Pornthip Aeng-chaun, yang menjalankan restoran di Krabi pun mengatakan saat ini baru 20% pelanggan yang datang dibanding sebelumnya. Sebab, selama ini kebanyakan tamu restorannya adalah orang asing.
Thailand merupakan negara pertama di luar China yang mencatatkan kasus pertama Covid-19 pada Januari lalu. Terdapat lebih dari 3.473 kasus Covid-19 dan 58 kematian sejak itu. Namun, dibanding negara lain, tingkat infeksi di Thailand terbilang rendah dan negara ini juga dipuji karena mampu mendatarkan kurva Covid-19 dengan cepat. Thailand sempat mencatatkan 100 hari tanpa kasus infeksi secara lokal.
Kini, kehidupan berangsur normal, meski dipastikan butuh waktu sebelum ekonomi kembali pulih, terutama sektor pariwisata. Asisten Professor Ekonomi di Chulalongkorn University Jessica Vechbanyongratana mengatakan, skema liburan bersubsidi akan menolong, namun tak bisa menjadi penyelamat sektor industri.
"Turisme internasional itu adalah dua pertiga dari turisme di negara ini," tuturnya. "Jadi bagi hotel dan restoran, program ini akan menolong mereka mempertahankan level minimumnya sehingga diharapkan bisnisnya dapat bertahan melalui masa pandemi ini. Tapi tak bisa untuk menyelamatkan industri ini," tandasnya.
(fai)