Bidik Target 2030, Tata Kelola Hulu Migas Perlu Dibenahi
loading...
A
A
A
JAKARTA - Peningkatan iklim berusaha, sanctity of contract, dan adanya peraturan yang saling mendukung merupakan kunci perbaikan tata kelola hulu migas yang dibutuhkan demi meningkatkan investasi hulu migas Indonesia. Persyaratan itu mutlak dipenuhi untuk mencapai target produksi 1 juta barel minyak per hari (BOPD) dan 12 miliar standar gas kaki kubik per hari (BSCFD) pada 2030.
Tenaga Ahli Komite Pengawas Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Nanang Abdul Manaf mengungkapkan, ketiga faktor tersebut berdasarkan pengalaman di beberapa negara yang dianggap sukses meningkatkan produksi migasnya. (Baca: Sempurnakan Wudhu Agar Ibadah Diterima Allah Ta'ala)
“Persyaratan tersebut merupakan kesimpulan yang disampaikan setelah menampilkan beberapa contoh negara yang telah berhasil meningkatkan produksinya, yaitu Libya, Mesir dan Malaysia,” kata Nanang saat menjadi pembicara dalam forum group discussion (FGD) “ Tata Kelola Hulu Migas dalam Mendukung Pencapaian Target Produksi”, baru-baru ini.
Menurut dia, Indonesia dapat belajar dari pengalaman negara-negara yang telah berhasil meningkatkan produksi tersebut. Dia mencontohkan, saat terjadi revolusi Arab Spring, Libya masih melakukan impor minyak tetapi sekarang mereka telah menjadi eksportir minyak.
“Negara-negara itu melakukan perubahan radikal pada sistem tata kelola migas, misalnya untuk lapangan marginal dibuat sesimpel mungkin sehingga menarik investor untuk masuk ke lapangan marginal maupun lapangan kecil,” kata Nanang.
Contoh lain adalah reformasi tata kelola migas di Mesir dan Kolumbia yang terjadi sangat dramatikal. Karena setelah dilakukan perbaikan-perbaikan, hanya butuh waktu tiga tahun untuk membuat produksi negara tersebut meningkat pesat. (Baca juga: Seleksi Guru PPPK, Guru Wajib Terdata di Dapodik)
“Stakeholders collaboration dilakukan di negara lain sehingga mampu membangun iklim investasi migas yang menarik investor,” katanya.
Nanang berpendapat, hal yang sama harus dilakukan Indonesia. Hal ini akan tercermin dari kebijakan, regulasi, dan praktik-praktiknya. Paling mudah, kata dia, jika sektor ini dianggap vital dan penting, maka saat sektor migas berhadapan dengan sektor lain, sektor migas akan menjadi prioritas.
“Misalnya, lokasi migas terdapat perkebunan atau pertambangan dan lain-lainnya, maka yang diprioritaskan adalah pembebasan lahan untuk migas. Hal-hal semacam ini dilakukan di negara lain, termasuk Mesir. Keunggulan di Mesir adalah kesucian kontrak bagi hasilnya disepakati dan dilindungi,” kata Nanang.
Pengamat energi dari Institut Teknologi 10 November Mukhtasor mengatakan, dalam rangka meningkatkan daya saing, ada tiga aspek yang harus dibenahi, yaitu legal, keuangan, dan operasi. Kemudian, juga harus diperhatikan aspek tata kelola, risiko, dan compliance. (Baca juga: Manfaat Kesehatan dan Nutrisi Susu Kambing)
“Penekanan governance agar tercipta tata kelola hulu migas yang akuntabel, transparan dan partisipatif. Untuk mencapai hal ini butuh kekuatan pada aspek kepemimpinan, informasi, dan strategi yang tepat,” katanya.
Mukhtasor menegaskan, tata kelola harus diperbaiki, termasuk UU Migasnya. Keterlambatan revisi UU migas menunjukkan industri ini tidak menjadi prioritas negara. Seharusnya sejak Mahkamah Konstitusi mengambil keputusan, sudah segera ada UU yang baru.
Pengamat energi dari Universitas Gadjah Mada Fahmi Radhi memaparkan, pentingnya sinergi dan kolaborasi antarpemangku kepentingan dalam mewujudkan tata kelola hulu migas yang baik di Indonesia. Masing-masing ego sektoral yang berbeda disingkirkan. Kemudian, untuk menciptakan iklim investasi yang kondusif, maka seharusnya memberikan stimulus insentif fiskal dan nonfiskal.
“Jika Indonesia tidak memberikan, maka akan kalah dalam bersaing. Target 1 juta barel per hari mustahil bisa direalisasikan,” kata Fahmi. (Lihat videonya: Langgar Prokes, Kafe Ditutup)
Kepala Divisi Formalitas SKK Migas Didik S Setyadi mengatakan, apabila membicarakan tata kelola itu akan terkait pada kebijakan publik. “Prinsip-prinsip penatakelolaan didasarkan atas kedaulatan, kemanfaatan, dan keadilan yang diinginkan, kemudian negara membuat regulasi, administrasi atau birokrasi dan manajemen yang kemudian output dan outcome akan dihasilkan,” kata Didik.
Menurutnya, mengelola kekayaan hulu migas nasional butuh proses yang panjang dan dukungan dari berbagai pihak, terlebih sektor hulu migas yang membutuhkan modal yang tinggi, teknologi, dan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas. Jika dibandingkan secara internasional, migas Indonesia sangat kecil terhadap investasi sektor migas secara keseluruhan. (Yanto Kusdiantono)
Tenaga Ahli Komite Pengawas Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Nanang Abdul Manaf mengungkapkan, ketiga faktor tersebut berdasarkan pengalaman di beberapa negara yang dianggap sukses meningkatkan produksi migasnya. (Baca: Sempurnakan Wudhu Agar Ibadah Diterima Allah Ta'ala)
“Persyaratan tersebut merupakan kesimpulan yang disampaikan setelah menampilkan beberapa contoh negara yang telah berhasil meningkatkan produksinya, yaitu Libya, Mesir dan Malaysia,” kata Nanang saat menjadi pembicara dalam forum group discussion (FGD) “ Tata Kelola Hulu Migas dalam Mendukung Pencapaian Target Produksi”, baru-baru ini.
Menurut dia, Indonesia dapat belajar dari pengalaman negara-negara yang telah berhasil meningkatkan produksi tersebut. Dia mencontohkan, saat terjadi revolusi Arab Spring, Libya masih melakukan impor minyak tetapi sekarang mereka telah menjadi eksportir minyak.
“Negara-negara itu melakukan perubahan radikal pada sistem tata kelola migas, misalnya untuk lapangan marginal dibuat sesimpel mungkin sehingga menarik investor untuk masuk ke lapangan marginal maupun lapangan kecil,” kata Nanang.
Contoh lain adalah reformasi tata kelola migas di Mesir dan Kolumbia yang terjadi sangat dramatikal. Karena setelah dilakukan perbaikan-perbaikan, hanya butuh waktu tiga tahun untuk membuat produksi negara tersebut meningkat pesat. (Baca juga: Seleksi Guru PPPK, Guru Wajib Terdata di Dapodik)
“Stakeholders collaboration dilakukan di negara lain sehingga mampu membangun iklim investasi migas yang menarik investor,” katanya.
Nanang berpendapat, hal yang sama harus dilakukan Indonesia. Hal ini akan tercermin dari kebijakan, regulasi, dan praktik-praktiknya. Paling mudah, kata dia, jika sektor ini dianggap vital dan penting, maka saat sektor migas berhadapan dengan sektor lain, sektor migas akan menjadi prioritas.
“Misalnya, lokasi migas terdapat perkebunan atau pertambangan dan lain-lainnya, maka yang diprioritaskan adalah pembebasan lahan untuk migas. Hal-hal semacam ini dilakukan di negara lain, termasuk Mesir. Keunggulan di Mesir adalah kesucian kontrak bagi hasilnya disepakati dan dilindungi,” kata Nanang.
Pengamat energi dari Institut Teknologi 10 November Mukhtasor mengatakan, dalam rangka meningkatkan daya saing, ada tiga aspek yang harus dibenahi, yaitu legal, keuangan, dan operasi. Kemudian, juga harus diperhatikan aspek tata kelola, risiko, dan compliance. (Baca juga: Manfaat Kesehatan dan Nutrisi Susu Kambing)
“Penekanan governance agar tercipta tata kelola hulu migas yang akuntabel, transparan dan partisipatif. Untuk mencapai hal ini butuh kekuatan pada aspek kepemimpinan, informasi, dan strategi yang tepat,” katanya.
Mukhtasor menegaskan, tata kelola harus diperbaiki, termasuk UU Migasnya. Keterlambatan revisi UU migas menunjukkan industri ini tidak menjadi prioritas negara. Seharusnya sejak Mahkamah Konstitusi mengambil keputusan, sudah segera ada UU yang baru.
Pengamat energi dari Universitas Gadjah Mada Fahmi Radhi memaparkan, pentingnya sinergi dan kolaborasi antarpemangku kepentingan dalam mewujudkan tata kelola hulu migas yang baik di Indonesia. Masing-masing ego sektoral yang berbeda disingkirkan. Kemudian, untuk menciptakan iklim investasi yang kondusif, maka seharusnya memberikan stimulus insentif fiskal dan nonfiskal.
“Jika Indonesia tidak memberikan, maka akan kalah dalam bersaing. Target 1 juta barel per hari mustahil bisa direalisasikan,” kata Fahmi. (Lihat videonya: Langgar Prokes, Kafe Ditutup)
Kepala Divisi Formalitas SKK Migas Didik S Setyadi mengatakan, apabila membicarakan tata kelola itu akan terkait pada kebijakan publik. “Prinsip-prinsip penatakelolaan didasarkan atas kedaulatan, kemanfaatan, dan keadilan yang diinginkan, kemudian negara membuat regulasi, administrasi atau birokrasi dan manajemen yang kemudian output dan outcome akan dihasilkan,” kata Didik.
Menurutnya, mengelola kekayaan hulu migas nasional butuh proses yang panjang dan dukungan dari berbagai pihak, terlebih sektor hulu migas yang membutuhkan modal yang tinggi, teknologi, dan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas. Jika dibandingkan secara internasional, migas Indonesia sangat kecil terhadap investasi sektor migas secara keseluruhan. (Yanto Kusdiantono)
(ysw)