Gaes Yuks Bisnis Minyak Jelantah: Dapat Omzet Lumayan dan Jaga Lingkungan
loading...
A
A
A
JAKARTA - Salah satu sumber energi alternatif yang belakangan ini mendapatkan banyak perhatian adalah fatty acid methyl ester (FAME) atau yang lazim dikenal sebagai biodiesel . Biodiesel ini dapat menggantikan bahan bakar solar tanpa modifikasi lebih lanjut, sehingga menjadikannya sebagai sumber energi alternatif pengganti bahan bakar fosil. Sejak 2018 biodiesel berbahan baku minyak kelapa sawit dijadikan mandatori oleh pemerintah dan saat ini implementasinya sudah sampai B30, dengan campuran FAME 30% dan solar 70%.
Tak hanya dari kelapa sawit, FAME juga bisa dihasilkan dari minyak hewani, minyak nabati, bahkan minyak goreng bekas. Menilik potensinya, produk turunan minyak sawit, yaitu minyak goreng sawit bekas atau yang lebih dikenal dengan minyak jelantah pun menjadi salah satu opsi bisnis menjanjikan di masa depan. ( Baca juga:Wamendag Optimis RI Menangi Gugatan Biodiesel Sawit di WTO )
Staf Ahli Menteri Bidang Lingkungan Hidup dan Tata Ruang Kementerian ESDM Saleh Abdurrahman menyampaikan, pemanfaatan minyak jelantah untuk biodiesel menjadi salah satu opsi yang baik sebagai bagian dari peningkatkan sirkular ekonomi, yaitu melakukan daur ulang pemanfataan sumber daya untuk terus menghasilkan manfaat ekonomi sekaligus mengurangi dampak lingkungan.
"Mengingat besarnya potensi minyak jelantah bisa menjadi potensi bisnis yang bagus termasuk bagi generasi muda di Indonesia," ungkap Saleh di Jakarta, Rabu (9/12/2020).
Kajian awal TNP2K dan Traction Energi Asia tentang Potensi Minyak Jelantah Untuk Biodiesel dan Penurunan Kemiskinan di Indonesia (2020) mencatat bahwa pada tahun 2019, konsumsi minyak goreng sawit nasional mencapai 16,2 juta kilo liter (KL). Dari angka tersebut, rata-rata minyak jelantah yang dihasilkan berada pada kisaran 40-60% atau berada di kisaran 6,46-9,72 juta KL. Sayangnya minyak jelantah yang dapat dikumpulkan di Indonesia baru mencapai 3 juta KL atau hanya 18,5% dari total konsumsi minyak goreng sawit nasional.
Kajian tersebut menemukan bahwa hanya sebagian kecil minyak jelantah di Indonesia yang dimanfaatkan sebagai biodiesel. Dari tiga juta KL yang berhasil dikumpulkan, hanya sekitar 570 KL yang dikonversi untuk biodiesel dan kebutuhan lainnya, sementara sisanya sekitar 2,4 juta kilo liter digunakan untuk minyak goreng daur ulang dan ekspor.
TNP2K dan Traction Energy Asia menyebut, kondisi itu disebabkan belum adanya mekanisme pengumpulan minyak jelantah, baik dari restoran, hotel, maupun rumah tangga. Sebaran lokasi sumber minyak jelantah yang tidak simetris dengan lokasi pabrik pengolahan biodiesel, teknologi pengolahan (terutama yang dikelola oleh masyarakat) yang belum cukup efisien dan kualitas biodiesel hasil olahan minyak jelantah yang masih perlu diuji lebih jauh, menjadi tantangan selanjutnya.
Padahal, pengolahan minyak jelantah untuk biodiesel, khususnya jika dilakukan oleh masyarakat, akan mendatangkan banyak manfaat baik dari sisi ekonomi, kesehatan, maupun lingkungan. Dari sisi ekonomi, Sardji Sarwan, pengelola Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) di Tarakan Timur mengatakan bahwa omzet produksi biodiesel yang dihasilkan kelompoknya sudah mencapai Rp2 juta per hari dengan mempekerjakan sembilan karyawan yang bekerja empat jam per hari, dengan bayaran Rp2 juta per bulan per orang. Produk biodiesel yang dihasilkan bisa mencapai 180 liter per hari dan dijual dengan harga Rp11.000 per liter.
Walaupun data yang ada memang menunjukkan bahwa biaya konversi biodiesel berbahan baku minyak jelantah lebih besar daripada biaya konversi biodiesel berbahan baku minyak kelapa sawit, namun harga indeks produksi (HIP) minyak jelantah untuk biodiesel lebih rendah dibanding HIP minyak kelapa sawit karena faktor bahan baku. ( Baca juga:Hari Ini Coblosan Pilkada Serentak, Ingat 6 Tata Cara Ini demi Tangkal Covid-19 )
Dari sisi kesehatan, serapan minyak jelantah untuk produksi biodiesel bisa mengurangi alokasi penggunaan minyak jelantah yang didaur-ulang sebagai bahan masakan, sehingga secara tidak langsung dapat mengurangi risiko meningkatnya kadar HNE (zat beracun yang mudah diserap dalam makanan) pada makanan yang dapat mengakibatkan stroke, alzheimer dan parkinson. Dari sisi lingkungan, pengolahan minyak jelantah sebagai bahan baku biodiesel bisa berdampak positif terhadap pengurangan limbah B3.
Mengolah kembali minyak jelantah berarti juga mengurangi pembuangan minyak jelantah yang dapat mencemari lingkungan dan mengganggu ekosistem. Minyak jelantah yang dibuang sembarangan memberikan risiko meningkatnya kadar chemical oxygen demand (COD) dan biological oxygen demand (BOD) di perairan. Hal ini menyebabkan tertutupnya permukaan air dengan lapisan minyak. Akibatnya, sinar matahari tidak dapat masuk ke perairan yang mendorong matinya biota dalam perairan, serta berpotensi mencemari air tanah.
Tak hanya dari kelapa sawit, FAME juga bisa dihasilkan dari minyak hewani, minyak nabati, bahkan minyak goreng bekas. Menilik potensinya, produk turunan minyak sawit, yaitu minyak goreng sawit bekas atau yang lebih dikenal dengan minyak jelantah pun menjadi salah satu opsi bisnis menjanjikan di masa depan. ( Baca juga:Wamendag Optimis RI Menangi Gugatan Biodiesel Sawit di WTO )
Staf Ahli Menteri Bidang Lingkungan Hidup dan Tata Ruang Kementerian ESDM Saleh Abdurrahman menyampaikan, pemanfaatan minyak jelantah untuk biodiesel menjadi salah satu opsi yang baik sebagai bagian dari peningkatkan sirkular ekonomi, yaitu melakukan daur ulang pemanfataan sumber daya untuk terus menghasilkan manfaat ekonomi sekaligus mengurangi dampak lingkungan.
"Mengingat besarnya potensi minyak jelantah bisa menjadi potensi bisnis yang bagus termasuk bagi generasi muda di Indonesia," ungkap Saleh di Jakarta, Rabu (9/12/2020).
Kajian awal TNP2K dan Traction Energi Asia tentang Potensi Minyak Jelantah Untuk Biodiesel dan Penurunan Kemiskinan di Indonesia (2020) mencatat bahwa pada tahun 2019, konsumsi minyak goreng sawit nasional mencapai 16,2 juta kilo liter (KL). Dari angka tersebut, rata-rata minyak jelantah yang dihasilkan berada pada kisaran 40-60% atau berada di kisaran 6,46-9,72 juta KL. Sayangnya minyak jelantah yang dapat dikumpulkan di Indonesia baru mencapai 3 juta KL atau hanya 18,5% dari total konsumsi minyak goreng sawit nasional.
Kajian tersebut menemukan bahwa hanya sebagian kecil minyak jelantah di Indonesia yang dimanfaatkan sebagai biodiesel. Dari tiga juta KL yang berhasil dikumpulkan, hanya sekitar 570 KL yang dikonversi untuk biodiesel dan kebutuhan lainnya, sementara sisanya sekitar 2,4 juta kilo liter digunakan untuk minyak goreng daur ulang dan ekspor.
TNP2K dan Traction Energy Asia menyebut, kondisi itu disebabkan belum adanya mekanisme pengumpulan minyak jelantah, baik dari restoran, hotel, maupun rumah tangga. Sebaran lokasi sumber minyak jelantah yang tidak simetris dengan lokasi pabrik pengolahan biodiesel, teknologi pengolahan (terutama yang dikelola oleh masyarakat) yang belum cukup efisien dan kualitas biodiesel hasil olahan minyak jelantah yang masih perlu diuji lebih jauh, menjadi tantangan selanjutnya.
Padahal, pengolahan minyak jelantah untuk biodiesel, khususnya jika dilakukan oleh masyarakat, akan mendatangkan banyak manfaat baik dari sisi ekonomi, kesehatan, maupun lingkungan. Dari sisi ekonomi, Sardji Sarwan, pengelola Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) di Tarakan Timur mengatakan bahwa omzet produksi biodiesel yang dihasilkan kelompoknya sudah mencapai Rp2 juta per hari dengan mempekerjakan sembilan karyawan yang bekerja empat jam per hari, dengan bayaran Rp2 juta per bulan per orang. Produk biodiesel yang dihasilkan bisa mencapai 180 liter per hari dan dijual dengan harga Rp11.000 per liter.
Walaupun data yang ada memang menunjukkan bahwa biaya konversi biodiesel berbahan baku minyak jelantah lebih besar daripada biaya konversi biodiesel berbahan baku minyak kelapa sawit, namun harga indeks produksi (HIP) minyak jelantah untuk biodiesel lebih rendah dibanding HIP minyak kelapa sawit karena faktor bahan baku. ( Baca juga:Hari Ini Coblosan Pilkada Serentak, Ingat 6 Tata Cara Ini demi Tangkal Covid-19 )
Dari sisi kesehatan, serapan minyak jelantah untuk produksi biodiesel bisa mengurangi alokasi penggunaan minyak jelantah yang didaur-ulang sebagai bahan masakan, sehingga secara tidak langsung dapat mengurangi risiko meningkatnya kadar HNE (zat beracun yang mudah diserap dalam makanan) pada makanan yang dapat mengakibatkan stroke, alzheimer dan parkinson. Dari sisi lingkungan, pengolahan minyak jelantah sebagai bahan baku biodiesel bisa berdampak positif terhadap pengurangan limbah B3.
Mengolah kembali minyak jelantah berarti juga mengurangi pembuangan minyak jelantah yang dapat mencemari lingkungan dan mengganggu ekosistem. Minyak jelantah yang dibuang sembarangan memberikan risiko meningkatnya kadar chemical oxygen demand (COD) dan biological oxygen demand (BOD) di perairan. Hal ini menyebabkan tertutupnya permukaan air dengan lapisan minyak. Akibatnya, sinar matahari tidak dapat masuk ke perairan yang mendorong matinya biota dalam perairan, serta berpotensi mencemari air tanah.
(uka)