Menunggu Bunga Kredit Turun ke Level 5%

Selasa, 09 Februari 2021 - 06:06 WIB
loading...
Menunggu Bunga Kredit...
Pengusaha menunggu bunga kredit turun lagi. Foto/Ist
A A A
JAKARTA-Bagi dunia usaha, rezim suku bunga rendah sangatlah ditunggu-tunggu. Apalagi di masa krisis seperti ini, para pengusaha butuh pinjaman dengan bunga yang tidak memberatkan. Idealnya suku bunga kredit perbankan berada pada level 5% hingga 6%.

Hampir setahun pandemi melanda Tanah Air. Kondisi ini sangat berdampak pada dunia usaha. Perbankan juga mengambil langkah untuk menggerakkan kembali dunia usaha yaitu dengan menurunkan suku bunga.

Penurunan suku bunga saat ini ternyata masih dirasa tinggi oleh kalangan pengusaha. Seperti diungkapkan Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia, Adhi S Lukman. Walaupun suku bunga saat ini sudah diturunkan namun pihaknya merasa belum cukup. “Saat ini suku bunga sudah turun namun masih relatif lebih tinggi dibandingkan negara tetangga Asean lainnya,” kata Adhi kepada KORAN SINDO. (Baca juga:Bunga Perbankan Single Digit Memang Sulit, Tapi Trennya Menurun)

Dia berharap jika ada penurunan lagi sudah barang tentu akan menjadi daya tarik bagi pengusaha melakukan pinjaman di bank. Diakuinya masih banyak pengusaha yang memerlukan bantuan namun juga dilema dengan masih tingginya suku bunga saat ini.

“Tentu semakin rendah semakin menarik. Khususnya untuk investasi di sektor hulu yang membutuhkan pengembalian lebih lama. Namun semua juga ada pengaruh faktor lain. Kalau kredit tersedia, namun permintaan dan pasar sepi maka kredit juga tidak menarik,” tegasnya.

Adhi mengharapkan jikapun ada penurunan kembali maka akan bisa mendongkrak laju dunia usaha. Dia berharap suku bunga bisa turun di level 5%. “Sekitar 5-6% mengimbangi negara tetangga ASEAN lainnya,” cetus Adhi.

Harapan serupa pun diungkapkan Ketua Umum Asosiasi Logistik Indonesia, Zaldi Ilham Masita. Menurutnya, bunga kredit rendah memang harapan dari dunia bisnis sejak dulu. Bahkan hal itu adalah harapan yang ada sejak sebelum Covid-19. “Tapi tidak pernah tercapai krn perbankan kita tidak efisien dan biaya ekonomi yang tinggi,” katanya.

Dia pun senada dengan harapan pengusaha lain agar suku bunga bisa turun di level 5%. Karena hal itu akan sangat membantu dunia industri. “Kalau bunga kredit bisa turun sampai 5% akan sangat membantu dunia industri. Karena sekarang bunga kredit diatas 10%,” bebernya.

Sementara itu, ekonom dari Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEIM) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Jahen Rezki melihat bahwa penetapan sukubungaacuan rendah saat ini masih bisa dipangkas lagi. Namun kebijakan untuk menahan sukubungadi angka saat ini tetap diperlukan dengan tetap menjaga kebijakan makroprudensial untuk mengelola stabilitas keuangan.

"Sisi baiknya dari sukubungarendah ini, bisa dilihat dari beberapa faktor eksternal yang membawa dampak positif bagi perekonomian,"katanya saat dihubungi Koran SINDO.

Namun di sisi lain, dia pun menjelaskan eskalasi sektor keuangan dan sektor riil masih belum ada kejelasan karena situasi pandemi yang masih belum tertangani dan masih terus berlangsung. Permasalahan yang terjadi adalah perbankan domestik masih kesulitan untuk menyalurkan kredit meski likuiditas di perbankan melimpah, salah satunya dikarenakan masih lemahnya permintaan.

"Permasalahan terhambatnya kredit saat ini berasal dari sisi permintaan dikarenakan terhentinya sektor riil akibat pandemi yang berkepanjangan," ungkap Jahen.

Kebijakan Bank Indonesia (BI) memangkasbungaacuan memang akan memberikan kabar positif bagi dunia usaha. Jahen menilai, terlebih lagi ditengah pandemi seperti sekarang ini. Dunia usaha membutuhkan adanya dorongan daribungapinjamn yang rendah, dunia usaha juga masih kewalahan untuk tumbuh karena Covid-19 telah merusak sendi-sendi perekonomian.

"Kebijakan sukubungarendah ini memang membantu pelaku usaha nantinya dalam menyerap lebih banyak pinjaman untuk di putar. Walaupun di sisi lainnya, kebijakan menurunkan sukubungaacuan memang bisa saja membuat rupiah dalam tekanan terhadap mata uang asing khususnya US Dolar," tegas Jahen.

Lebih lanjut dia mengungkapkan, dengan adanya vaksin Covid-19 ini seharusnya bisa membuat laju pemulihan ekonomi ‎kedepan akan membaik. Membaiknya laju ekonomi ini akan membuat inflasi bergerak naik dan di saat inflasi naik justrubungaacuan global nantinya akan mengalami kenaikan.

"Jadi kebijakan BI menurunkanbungaacuan saya pikir ruangnya sudah sangat terbatas. Kalau nanti diturunkan lagi, yang kita khawatirkan adalah dampak terhadap rupiah. Di sisi lainnya, kebijakan sukubungaacuan yang rendah bisa membuat aset keuangan atau produk keuangan menjadi kurang menarik. Yang haru diwaspadai jika terjadi pembelian modal atau sudden reversal,"katanya.

Diakuinya, kebijakan BI tersebut harus mempertimbangkan banyak aspek ketimbang hanya menejarbungamurah. "Bukan berarti kita menurunkanbungaacuan secara agresif, harus dilihat juga kondisi ekonomi global yang memburuk yang bisa memicu kita lalai dalam memitigasi dampak Covid-19," tegasnya.

Kepala Ekonom BRI Anton Hendranata mengatakan, sebenarnya perbankan sudah berusaha menurunkan suku bunga pinjamannya tetapi memang perlu waktu, karena urutannya ketika suku bunga acuan BI turun maka turun pertama suku bunga deposito kemudian suku bunga pinjaman.

“Pertumbuhan kredit sudah lama turunnya bukan hanya 2020 saja, memang agak melambat penurunannya kreditnya. Ada hal yang ekstra ordinary karena pandemi. Pada situasi pandemi permintaan lemah, daya beli masyarakat terbatas,” kata Anton.

Menurutnya, penurunan suku bunga kredit memang diperlukan, tapi ini tidak cukup dan bukan faktor utama dalam mendorong pertumbuhan kredit. Pertumbuhan kredit dipengaruhi oleh konsumsi rumah tangga, daya beli masyarakat, suku bunga, kualitas kredit tercermin NPL, dan penjualan eceran.

“Jika konsumsi RT dan daya beli masyarakat tidak kuat maka tidak kuat mendorong penyaluran kredit meskipun perbankan sudah menurunkan suku bunga dan perbankan sudah menurunkan bunga,” tandasnya.

Ekonom CORE Indonesia Piter Abdullah menambahkan, rigiditas atau kekakuan suku bunga kredit adalah fenomena moneter. Tidak turunnya suku bunga kredit ketika suku bunga acuan sudah turun bukan disebabkan oleh kurang transparannya bank dalam proses penetapan suku bunga kredit. Bukan juga disebabkan oleh kurang efisiennya pengelolaan bank.

“Di sisi lain nasabah pemilik dana besar punya bargaining yang besar terhadap bank dan mampu menetapkan suku bunga. Jadi untuk menghilangkan rigiditas suku bunga kredit, BI menurut saya perlu melakukan evaluasi terhadap operasi moneternya,” jelasnya.

Dalam penelitian yang dia lakukan pada tahun 2015 tentang perilaku pembentukan suku bunga bank umum menggunakan pendekatan game theory menunjukkan hasil yang sangat menarik. Ketika BI menurunkan suku bunga acuan, response terbaik (nash equilibrium) dari bank-bank adalah menurunkan suku bunga deposito dan disisi lain menahan suku bunga kredit.

“Artinya fenomena rigiditas suku bunga kredit sudah bisa diprediksi sejak awal. Bank-bank akan cenderung memanfaatkan turunnya suku bunga acuan untuk melebarkan net interest margin (NIM) guna mendapatkan keuntungan yang lebih besar,” ucap Piter.(aprilia s andyna/r ratna purnama/kunthi fahmar sandy)
(bai)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1067 seconds (0.1#10.140)