Warteg Tergulung Pandemi
loading...
A
A
A
JAKARTA - Seorang lelaki duduk sambil menikmati makan di kursi kayu panjang yang menghadap etalase berisi lauk-pauk. Selepas makan, ia mengambil pisang untuk pencuci mulut. Kursi panjang lainnya yang menghadap Jalan Tebet Raya terlihat kosong. Di sudut lain, kursi-kursi plastik tampak menumpuk di pojokan Warteg Warmo di bilangan Tebet, Jakarta Selatan (Jaksel) pada Rabu sekitar pukul 8.00 pagi (17/2/2021).
Dalam hitungan satu jam, ada beberapa pembeli yang datang untuk makan di tempat. Ada pula yang dibawa pulang. Tak lebih dari 10 orang yang membeli makan di warteg itu. Padahal sebelum pandemi Covid-19 , Warteg Warmo selalu dipenuhi pelanggan, mulai dari kalangan masyarakat biasa, pekerja kantoran, bahkan hingga kalangan artis.
Pemilik Warteg Warmo, Sobirin, mengatakan bahwa sepinya pembeli sudah terasa sejak pandemi melanda Indonesia pada Maret lalu.
“Saya bilang (kondisi saat ini) cukup parah. Khususnya warteg karena jualan makanan yang tidak bisa bertahan lebih dari 24 jam. Bisa lebih karena diangetin. Strategi kami, karena semua berkurang (pembeli), mengurangi menu, kuantitas makan, sampai karyawan dirumahkan,” ujarnya kepada Koran SINDO, kemarin.
Sebelum pandemi, Warteg ini mempekerjakan 12-14 karyawan. Kini hanya tersisa 5 orang. Karena masih beroperasi 24 jam, malam hanya dijaga 2 orang. Itupun selepas pukul 21.00, pembeli tidak boleh makan di tempat.
Anak ketiga dari pendiri Warteg Warmo itu mengatakan, pihaknya berusaha tidak memecat, tapi sekarang pekerjanya digilir. Menurutnya, kondisi yang sama juga dialami warteg-warteg lain yang masih bertahan.
“Ada yang tadinya dibantu 2-3 orang, (sekarang) paling dihadapi suami-istri, pemilik atau pengelola enggak pakai karyawan. Yang ditungguin suami-istri pun banyak yang tutup. Kalau di Jakarta disurvei mungkin sudah 1.000 (tutup). Di sekitar Tebet itu banyak warteg yang enggak buka. Pelanggannya enggak ada,” tuturnya.
Sebenarnya untuk memacu jumlah pembeli, Warteg Warmo pun membuka pesanan secara daring. Namun, tetap terjadi penurunan pembeli. “Padahal asumsinya banyak orang di rumah otomatis online naik, tapi ini enggak. Malahan semakin hari semakin turun juga. jumlah pembeli online dan offline berkurang,” jelasnya.
Namun, Sobirin tak mau membuka berapa omzet sebelum dan selama pandemi ini. Dia hanya mengatakan pendapatannya jauh berkurang. Pernah selepas pembatasan sosial berskala besar (PSBB) transisi, pendapatan dan biaya operasional tak sebanding. Benar-benar tekor.
Sebagai solusi untuk mengurangi pengeluaran, Soborin memutuskan mengurangi menu dan karyawan. Tapi beberapa komponen produksi seperti gas, minyak, dan bumbu, tak bisa dikurangi. “Kalau sekarang pemerintah melarang ada kerumunan. Enggak dilarang pun, di warteg enggak ada kerumunan. Harapannya, krisis ini cepat selesai. Imbasnya luar biasa, semua terdampak,” katanya.
Ketua Koordinator Komunitas Warung Tegal Nusantara (Korwantara) Mukroni berterus terang mengkhawatirkan kondisi pedagang warteg. Diungkapkannya, pada awal 2020 jumlah warteg yang tutup sekitar 25%. Jumlahnya dipastikan terus membengkak. Bahkan dia memperkirakan 50% atau setara dengan 20.000 warteg yang ada di Jabodetabek terpaksa menutup usahanya.
Mukroni menunjuk, salah satu faktor yang membuat warteg tutup adalah pemberlakuan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yang diberlakukan pada awal masa pandemi tahun 2020. Lalu, kata dia, kini berlanjut dengan istilah pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) yang diterapkan pada awal Januari lalu.
Aturan ini membuat konsumen warteg menurun dan tidak bisa bebas untuk makan di tempat karena kapasitasnya dibatasi hanya boleh 25%. Inilah yang membuat pengunjung warteg sepi.
"Konsumen kita kebanyakan masyarakat menengah ke bawah, mereka saat makan di tempat juga tidak hanya makan tetapi juga ingin sambil beristirahat sambil minum kopi. Jadi tidak hanya sekadar makan, dan sebelum adanya pandemi ini warteg memang selalu diramaikan dengan itu," ungkapnya saat di hubungi Koran SINDO.
Tidak hanya karena pemberlakuan PPKM, faktor lain yang membuat pengusaha warteg terpaksa menutup usahanya karena banyaknya gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan dengan bisnis skala menengah hingga besar. Pengaruh PHK ini membuat jumlah pekerja yang datang ke tempat bekerjanya pun berkurang.
"Seperti saat ini, warteg saya yang berada di kawasan Cilandak sudah sepi. Biasanya dalam sehari saya bisa menghabiskan 1 karung beras atau sekitar 50 kilo, sekarang hanya setengahnya saja. Karyawan pun sudah semakin berkurang, yang tadinya bisa mempekerjakan 6 orang, saat ini hanya 3 orang saja," kata Mukroni
Kondisi demikian diperparah dengan menurunnya daya beli masyarakat menengah akibat pandemi ini. Masyarakat pun dinilai lebih berhati-hati dalam mengeluarkan uangnya, termasuk untuk membeli makanan di luar.
"Kalau dahulu orang-orang bebas bisa makan di luar, sekarang masyakat lebih memilih dalam membeli makanan di luar. Selain itu, mereka pun memilih untuk berhemat. Misalnya, kalau dahulu menunya ayam kini beralih hanya tempe atau telur saja," tuturnya.
Tidak hanya pembeli yang menurun, pengusaha warteg juga dipusingkan dengan semakin meroketnya harga bahan makanan. Jika pos belanja semakin tinggi, Mukroni mengkhawatirkan, kawan-kawannya akan semakin bingung untuk menaikkan harga makanan.
"Kalau kita naikkan harga nantinya para konsumen ini akan semakin berkurang. Karena kelas kita kan memang untuk kalangan menengah, kalau ada konsumen yang mau makan walaupun dengan budget minim harus tetap dilayani,"ujarnya.
Akibat rentetan persoalan yang dihadapi tersebut, omzet warteg-nya menurun 70% hingga 90%. Dari pendapatan yang semula bisa mencapai Rp3 juta, kini hanya Rp300.000 per hari bahkan saat PSBB awal hanya mendapat Rp250.000. "Banyak teman-teman yang juga butuh untuk memperpanjang kontrakannya,"lanjutnya.
Untuk menghindari agar tidak banyak lagi warteg yang gulung tikar, pihaknya meminta bantuan pemerintah. Misalnya dengan memberikan stimulus seperti restrukturisasi kredit dan tambahan palfon modal usaha, hingga meninkatkan kembali daya beli masyarakat dengan memberikan bantuan langsung tunai (BLT).
Mukroni mengakui mengungkapkan pemerintah memang telah memberikan fasilitas berupa restrukturisasi kredit. Namun, bantuan tersebut diberikan tanpa menambah lagi plafon modal usaha bagi para pengusaha kecil. Selain itu, restrukturisasi kredit juga hanya menyasar pengusaha skala mikro saja.
Padahal, para pengusaha warteg ini sangat membutuhkan tambahan plafon pinjaman yang nantinya dapat digunakan untuk membayar sewa tempat dan modal awal membuka kembali warung makan.
"Dukungan dari pemerintah masih belum terasa, jadi banyak kebijakan dari pemerintah belum membumi. Kami dilapangan sulit mengakses kebijakan tersebut, misalnya saja kredit ringan sampai saat ini banyak teman-teman yang masih sulit mengakses,"tambahnya.
Agar para pengusaha warteg bisa terbebas dari gulung tikar, Mukroni berharap, pemerintah bisa secepatnya bertindak dan mengeluarkan proram yang bisa ‎diakses dengan mudah untuk para usaha keci, tidak hanya warteg saja.
Sementara itu, Staf Khusus Mentri Koperasi dan UKM Bidang Pemberdayaan Ekonomi Kerakyatan, Riza Damanik menjelaskan, pemerintah telah memiliki program khusus untuk membantu pengusaha mikro dan menengah agar bisa bertahan di masa pandemi melalui skema pemulihan ekonomi nasional (PEN). Bahkan, pada tahun lalu, Kementrian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Kemenkop UKM) telah menyalurkan bantuan Presiden Produktif Usaha Mikro (BPUM) yang bertujuan untuk memperkuat permodalan dan arus Kas pengusaha mikro.
Selain itu, ada pula skema pemberian intensif pajak UMKM yang memiliki omzet dibawah Rp4,8 miliar per tahun. Lalu, relaksasi dan restrukturisasi kredit bagi usaha mikro kecil menengah (UMKM). Setelah itu ada pula perluasan modal kerja bagi 23 juta UMKM yang belum terhubung dengan lembaga keuangan.
"Skema ini sudah sesuai dengan arahan Presiden dalam mendukung pemulihan ekonomi melalui UMKM ditengah situasi global saat ini,"ujar Riza Damanik.
Dari beberapa skema di atas, Riza mengatakan besaran anggaran yang yang dialokasikan untuk bantuan UMKM dalam pemulihan ekonomi nasional mencapai Rp32,5 triliun atau sekitar 26,4% dari alokasi sebesar Rp123,46 triliun. Dari bantuan tersebut ada sekitar 12 juta pengusaha mikro telah menerima bantuan yang disalurkan melalui perbankan sebesar Rp2,4 juta.
Di samping itu, pemerintah sudah menyiapkan program subsidi bunga kredit usaha mikro. Jadi, bunga kredit dari para pengusaha mikro sepenuhnya dibayar melalui anggaran pendapatan belanja nasional (APBN). Dia memastikan, pemerintah tahun ini akan memberikan bantuan kepada para pengusaha warteg dan juga UMKM lainnya yang terancam gulung tikar. Namun, besaran dana dan konsep insentif yang akan diberikan masih dalam pembahasan.
"Rencananya insentif yang diberikan berupa kredit usaha rakyat (KUR) dan bantuan non-KUR. Desainnya masih disiapkan agar bantuan ini bisa diakses merata,"tambahnya.
Calon penerima KUR ini nantinya akan menerima sejumlah kemudahan berupa relaksasi pemenuhan persyaratan administrasi dalam proses pengajuan KUR, pemenuhan berupa penundaan sementara penyampaian dokumen administrasi, penundaan angsuran pokok,dan relaksasi ketentuan ‎restrukturisasi KUR telah diberikan kepada penerima KUR.
Sementara itu, Kemenkop UKM juga tengah mengumpulkan data warteg yang terkena dampak dari pandemi, hingga yang masih bertahan. Lewat data yang pasti pemerintah bisa menilai seberapa besar kebutuhan yang diperlukan bagi pengusaha kuliner ini. Tetapi, Riza menyarankan, agar para pengusaha warteg ini bisa berkolaborasi dengan pedagang kaki lima untuk sama-sama meningkatkan kemampuan sumber daya manusia.
"Nantinya para pelaku usaha ini bisa difasilitasi lewat adanya program 'Bapak Asuh' yang didalamnya melibatkan stakeholder baik dari pemerintah melalui Badan Usaha Miik Negara (BUMN) atau bisa dari lembaga swasta,"jelasnya.
Anggota Komisi XI DPR RI Fraksi Gerindra Kamrussamad menilai, permasalahan yang dihadapi PEN adalah penyerapan yang masih rendah yaitu hanya 25,1%. Oleh karenanya, dia mendorong pemerintah dalam hal ini adalah Menkeu untuk berani menyampaikan perubahan skenario PEN yang menjadikan BUMN sebagai lokomotif utama segera diubah haluan menjadikan Pemda sebagai lokomotif utama pelaksanaan PEN.
“Pemda bisa menjangkau UMKM, bisa penetrasi perlindungan sosial, bisa menahan laju penurunan daya beli, problem Pemda tidak punya dana. karena refocusing dan realokasi. Saya kira pemerintah perlu mempertimbangkan hal tersebut," tegas Kamrussamad.
Untuk penyaluran dana PEN melalui perbankan dia meminta OJK menyajikan dana penerima modal kerja baru. Agar semua mengetahui berapa persen nasabah lama dan berapa persen nasabah baru penerima dana PEN.
"Karena semua sektor bisnis terdampak, semua klaster terdampak. Jika hanya menggunakan data nasabah lama, maka harus kita evaluasi," ujar dia.
Kamrusammad melanjutkan, bantuan senilai Rp405,1 triliun sebagai program stimulus pemerintah kini belum membantu UMKM. Karena itu, pihaknya mengusulkan agar pemerintah menyiapkan Stimulus bagi UMKM. Yang dimaksud olehnya adalah meliputi pinjaman kredit di bawah Rp500 juta melalui koperasi, BPR, LPDB, Pegadaian, pinjaman online, perusahaan pembiayaan maupun melalui perbankan dengan Skema KUR serta sektor informal seperti pedagang sayuran, pedagang buah lokal serta pedagang ikan, penjual bakso, warteg, pedagang kaki lima (PKL) yang sekarang terdampak pandemi.
Dia menegaskan, sektor UMKM dan sektor Informal ini memiliki peran besar dalam menggerakan sektor riil dan menyerap tenaga kerja sangat besar. Dia mencatat dari 137 juta tenaga kerja produktif menurut data BPS, banyak konsumsi wilayah di Jabotabek dan Pulau Jawa menurun, karena sektor tersebut sebagian besar berhenti bekerja akibat COVID -19 dan diberlakukan PSBB.
Karenanya, dia yakin apabila stimulus ini dilaksanakan maka penerima dapat bermanfaat antara lain KUR jumlah debitur 8,33 juta orang, Ultra Mikro 1 juta orang debitur, Pegadaian 10,6 juta debitur, Mekaar 6,08 Debitur.Selanjutnya LPDB 30,1 juta debitur, UMKM online 3,7 debitur, Koperasi Penyalur Ultra Mikro 1,7 juta debitur, Lembaga Pengelolaan Modal usaha Sektor Perikanan dan kelautan 16,8 juta debitur dan Pinjaman Petani sebanyak 5,5 juta debitur. “Inilah sektor yang Harus diprioritaskan pemerintah,” tegasnya.
Anggota Fraksi Partai Gerindra ini kembali menandskan bahwa pada program stimulus Covid-19 senilai Rp405 triliun, belum jelas adanya program untuk membantu UMKM. “Karena itu kita mengusulkan agar pemerintah menyiapkan stimulus bagi UMKM,” tukasnya.
Dalam hitungan satu jam, ada beberapa pembeli yang datang untuk makan di tempat. Ada pula yang dibawa pulang. Tak lebih dari 10 orang yang membeli makan di warteg itu. Padahal sebelum pandemi Covid-19 , Warteg Warmo selalu dipenuhi pelanggan, mulai dari kalangan masyarakat biasa, pekerja kantoran, bahkan hingga kalangan artis.
Pemilik Warteg Warmo, Sobirin, mengatakan bahwa sepinya pembeli sudah terasa sejak pandemi melanda Indonesia pada Maret lalu.
“Saya bilang (kondisi saat ini) cukup parah. Khususnya warteg karena jualan makanan yang tidak bisa bertahan lebih dari 24 jam. Bisa lebih karena diangetin. Strategi kami, karena semua berkurang (pembeli), mengurangi menu, kuantitas makan, sampai karyawan dirumahkan,” ujarnya kepada Koran SINDO, kemarin.
Sebelum pandemi, Warteg ini mempekerjakan 12-14 karyawan. Kini hanya tersisa 5 orang. Karena masih beroperasi 24 jam, malam hanya dijaga 2 orang. Itupun selepas pukul 21.00, pembeli tidak boleh makan di tempat.
Anak ketiga dari pendiri Warteg Warmo itu mengatakan, pihaknya berusaha tidak memecat, tapi sekarang pekerjanya digilir. Menurutnya, kondisi yang sama juga dialami warteg-warteg lain yang masih bertahan.
“Ada yang tadinya dibantu 2-3 orang, (sekarang) paling dihadapi suami-istri, pemilik atau pengelola enggak pakai karyawan. Yang ditungguin suami-istri pun banyak yang tutup. Kalau di Jakarta disurvei mungkin sudah 1.000 (tutup). Di sekitar Tebet itu banyak warteg yang enggak buka. Pelanggannya enggak ada,” tuturnya.
Sebenarnya untuk memacu jumlah pembeli, Warteg Warmo pun membuka pesanan secara daring. Namun, tetap terjadi penurunan pembeli. “Padahal asumsinya banyak orang di rumah otomatis online naik, tapi ini enggak. Malahan semakin hari semakin turun juga. jumlah pembeli online dan offline berkurang,” jelasnya.
Namun, Sobirin tak mau membuka berapa omzet sebelum dan selama pandemi ini. Dia hanya mengatakan pendapatannya jauh berkurang. Pernah selepas pembatasan sosial berskala besar (PSBB) transisi, pendapatan dan biaya operasional tak sebanding. Benar-benar tekor.
Sebagai solusi untuk mengurangi pengeluaran, Soborin memutuskan mengurangi menu dan karyawan. Tapi beberapa komponen produksi seperti gas, minyak, dan bumbu, tak bisa dikurangi. “Kalau sekarang pemerintah melarang ada kerumunan. Enggak dilarang pun, di warteg enggak ada kerumunan. Harapannya, krisis ini cepat selesai. Imbasnya luar biasa, semua terdampak,” katanya.
Ketua Koordinator Komunitas Warung Tegal Nusantara (Korwantara) Mukroni berterus terang mengkhawatirkan kondisi pedagang warteg. Diungkapkannya, pada awal 2020 jumlah warteg yang tutup sekitar 25%. Jumlahnya dipastikan terus membengkak. Bahkan dia memperkirakan 50% atau setara dengan 20.000 warteg yang ada di Jabodetabek terpaksa menutup usahanya.
Mukroni menunjuk, salah satu faktor yang membuat warteg tutup adalah pemberlakuan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yang diberlakukan pada awal masa pandemi tahun 2020. Lalu, kata dia, kini berlanjut dengan istilah pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) yang diterapkan pada awal Januari lalu.
Aturan ini membuat konsumen warteg menurun dan tidak bisa bebas untuk makan di tempat karena kapasitasnya dibatasi hanya boleh 25%. Inilah yang membuat pengunjung warteg sepi.
"Konsumen kita kebanyakan masyarakat menengah ke bawah, mereka saat makan di tempat juga tidak hanya makan tetapi juga ingin sambil beristirahat sambil minum kopi. Jadi tidak hanya sekadar makan, dan sebelum adanya pandemi ini warteg memang selalu diramaikan dengan itu," ungkapnya saat di hubungi Koran SINDO.
Tidak hanya karena pemberlakuan PPKM, faktor lain yang membuat pengusaha warteg terpaksa menutup usahanya karena banyaknya gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan dengan bisnis skala menengah hingga besar. Pengaruh PHK ini membuat jumlah pekerja yang datang ke tempat bekerjanya pun berkurang.
"Seperti saat ini, warteg saya yang berada di kawasan Cilandak sudah sepi. Biasanya dalam sehari saya bisa menghabiskan 1 karung beras atau sekitar 50 kilo, sekarang hanya setengahnya saja. Karyawan pun sudah semakin berkurang, yang tadinya bisa mempekerjakan 6 orang, saat ini hanya 3 orang saja," kata Mukroni
Kondisi demikian diperparah dengan menurunnya daya beli masyarakat menengah akibat pandemi ini. Masyarakat pun dinilai lebih berhati-hati dalam mengeluarkan uangnya, termasuk untuk membeli makanan di luar.
"Kalau dahulu orang-orang bebas bisa makan di luar, sekarang masyakat lebih memilih dalam membeli makanan di luar. Selain itu, mereka pun memilih untuk berhemat. Misalnya, kalau dahulu menunya ayam kini beralih hanya tempe atau telur saja," tuturnya.
Tidak hanya pembeli yang menurun, pengusaha warteg juga dipusingkan dengan semakin meroketnya harga bahan makanan. Jika pos belanja semakin tinggi, Mukroni mengkhawatirkan, kawan-kawannya akan semakin bingung untuk menaikkan harga makanan.
"Kalau kita naikkan harga nantinya para konsumen ini akan semakin berkurang. Karena kelas kita kan memang untuk kalangan menengah, kalau ada konsumen yang mau makan walaupun dengan budget minim harus tetap dilayani,"ujarnya.
Akibat rentetan persoalan yang dihadapi tersebut, omzet warteg-nya menurun 70% hingga 90%. Dari pendapatan yang semula bisa mencapai Rp3 juta, kini hanya Rp300.000 per hari bahkan saat PSBB awal hanya mendapat Rp250.000. "Banyak teman-teman yang juga butuh untuk memperpanjang kontrakannya,"lanjutnya.
Untuk menghindari agar tidak banyak lagi warteg yang gulung tikar, pihaknya meminta bantuan pemerintah. Misalnya dengan memberikan stimulus seperti restrukturisasi kredit dan tambahan palfon modal usaha, hingga meninkatkan kembali daya beli masyarakat dengan memberikan bantuan langsung tunai (BLT).
Mukroni mengakui mengungkapkan pemerintah memang telah memberikan fasilitas berupa restrukturisasi kredit. Namun, bantuan tersebut diberikan tanpa menambah lagi plafon modal usaha bagi para pengusaha kecil. Selain itu, restrukturisasi kredit juga hanya menyasar pengusaha skala mikro saja.
Padahal, para pengusaha warteg ini sangat membutuhkan tambahan plafon pinjaman yang nantinya dapat digunakan untuk membayar sewa tempat dan modal awal membuka kembali warung makan.
"Dukungan dari pemerintah masih belum terasa, jadi banyak kebijakan dari pemerintah belum membumi. Kami dilapangan sulit mengakses kebijakan tersebut, misalnya saja kredit ringan sampai saat ini banyak teman-teman yang masih sulit mengakses,"tambahnya.
Agar para pengusaha warteg bisa terbebas dari gulung tikar, Mukroni berharap, pemerintah bisa secepatnya bertindak dan mengeluarkan proram yang bisa ‎diakses dengan mudah untuk para usaha keci, tidak hanya warteg saja.
Sementara itu, Staf Khusus Mentri Koperasi dan UKM Bidang Pemberdayaan Ekonomi Kerakyatan, Riza Damanik menjelaskan, pemerintah telah memiliki program khusus untuk membantu pengusaha mikro dan menengah agar bisa bertahan di masa pandemi melalui skema pemulihan ekonomi nasional (PEN). Bahkan, pada tahun lalu, Kementrian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Kemenkop UKM) telah menyalurkan bantuan Presiden Produktif Usaha Mikro (BPUM) yang bertujuan untuk memperkuat permodalan dan arus Kas pengusaha mikro.
Selain itu, ada pula skema pemberian intensif pajak UMKM yang memiliki omzet dibawah Rp4,8 miliar per tahun. Lalu, relaksasi dan restrukturisasi kredit bagi usaha mikro kecil menengah (UMKM). Setelah itu ada pula perluasan modal kerja bagi 23 juta UMKM yang belum terhubung dengan lembaga keuangan.
"Skema ini sudah sesuai dengan arahan Presiden dalam mendukung pemulihan ekonomi melalui UMKM ditengah situasi global saat ini,"ujar Riza Damanik.
Dari beberapa skema di atas, Riza mengatakan besaran anggaran yang yang dialokasikan untuk bantuan UMKM dalam pemulihan ekonomi nasional mencapai Rp32,5 triliun atau sekitar 26,4% dari alokasi sebesar Rp123,46 triliun. Dari bantuan tersebut ada sekitar 12 juta pengusaha mikro telah menerima bantuan yang disalurkan melalui perbankan sebesar Rp2,4 juta.
Di samping itu, pemerintah sudah menyiapkan program subsidi bunga kredit usaha mikro. Jadi, bunga kredit dari para pengusaha mikro sepenuhnya dibayar melalui anggaran pendapatan belanja nasional (APBN). Dia memastikan, pemerintah tahun ini akan memberikan bantuan kepada para pengusaha warteg dan juga UMKM lainnya yang terancam gulung tikar. Namun, besaran dana dan konsep insentif yang akan diberikan masih dalam pembahasan.
"Rencananya insentif yang diberikan berupa kredit usaha rakyat (KUR) dan bantuan non-KUR. Desainnya masih disiapkan agar bantuan ini bisa diakses merata,"tambahnya.
Calon penerima KUR ini nantinya akan menerima sejumlah kemudahan berupa relaksasi pemenuhan persyaratan administrasi dalam proses pengajuan KUR, pemenuhan berupa penundaan sementara penyampaian dokumen administrasi, penundaan angsuran pokok,dan relaksasi ketentuan ‎restrukturisasi KUR telah diberikan kepada penerima KUR.
Sementara itu, Kemenkop UKM juga tengah mengumpulkan data warteg yang terkena dampak dari pandemi, hingga yang masih bertahan. Lewat data yang pasti pemerintah bisa menilai seberapa besar kebutuhan yang diperlukan bagi pengusaha kuliner ini. Tetapi, Riza menyarankan, agar para pengusaha warteg ini bisa berkolaborasi dengan pedagang kaki lima untuk sama-sama meningkatkan kemampuan sumber daya manusia.
"Nantinya para pelaku usaha ini bisa difasilitasi lewat adanya program 'Bapak Asuh' yang didalamnya melibatkan stakeholder baik dari pemerintah melalui Badan Usaha Miik Negara (BUMN) atau bisa dari lembaga swasta,"jelasnya.
Anggota Komisi XI DPR RI Fraksi Gerindra Kamrussamad menilai, permasalahan yang dihadapi PEN adalah penyerapan yang masih rendah yaitu hanya 25,1%. Oleh karenanya, dia mendorong pemerintah dalam hal ini adalah Menkeu untuk berani menyampaikan perubahan skenario PEN yang menjadikan BUMN sebagai lokomotif utama segera diubah haluan menjadikan Pemda sebagai lokomotif utama pelaksanaan PEN.
“Pemda bisa menjangkau UMKM, bisa penetrasi perlindungan sosial, bisa menahan laju penurunan daya beli, problem Pemda tidak punya dana. karena refocusing dan realokasi. Saya kira pemerintah perlu mempertimbangkan hal tersebut," tegas Kamrussamad.
Untuk penyaluran dana PEN melalui perbankan dia meminta OJK menyajikan dana penerima modal kerja baru. Agar semua mengetahui berapa persen nasabah lama dan berapa persen nasabah baru penerima dana PEN.
"Karena semua sektor bisnis terdampak, semua klaster terdampak. Jika hanya menggunakan data nasabah lama, maka harus kita evaluasi," ujar dia.
Kamrusammad melanjutkan, bantuan senilai Rp405,1 triliun sebagai program stimulus pemerintah kini belum membantu UMKM. Karena itu, pihaknya mengusulkan agar pemerintah menyiapkan Stimulus bagi UMKM. Yang dimaksud olehnya adalah meliputi pinjaman kredit di bawah Rp500 juta melalui koperasi, BPR, LPDB, Pegadaian, pinjaman online, perusahaan pembiayaan maupun melalui perbankan dengan Skema KUR serta sektor informal seperti pedagang sayuran, pedagang buah lokal serta pedagang ikan, penjual bakso, warteg, pedagang kaki lima (PKL) yang sekarang terdampak pandemi.
Dia menegaskan, sektor UMKM dan sektor Informal ini memiliki peran besar dalam menggerakan sektor riil dan menyerap tenaga kerja sangat besar. Dia mencatat dari 137 juta tenaga kerja produktif menurut data BPS, banyak konsumsi wilayah di Jabotabek dan Pulau Jawa menurun, karena sektor tersebut sebagian besar berhenti bekerja akibat COVID -19 dan diberlakukan PSBB.
Karenanya, dia yakin apabila stimulus ini dilaksanakan maka penerima dapat bermanfaat antara lain KUR jumlah debitur 8,33 juta orang, Ultra Mikro 1 juta orang debitur, Pegadaian 10,6 juta debitur, Mekaar 6,08 Debitur.Selanjutnya LPDB 30,1 juta debitur, UMKM online 3,7 debitur, Koperasi Penyalur Ultra Mikro 1,7 juta debitur, Lembaga Pengelolaan Modal usaha Sektor Perikanan dan kelautan 16,8 juta debitur dan Pinjaman Petani sebanyak 5,5 juta debitur. “Inilah sektor yang Harus diprioritaskan pemerintah,” tegasnya.
Anggota Fraksi Partai Gerindra ini kembali menandskan bahwa pada program stimulus Covid-19 senilai Rp405 triliun, belum jelas adanya program untuk membantu UMKM. “Karena itu kita mengusulkan agar pemerintah menyiapkan stimulus bagi UMKM,” tukasnya.
(ynt)