Imbas Dampak Corona, 5,2 Juta Pekerja Terancam Menganggur

Sabtu, 18 April 2020 - 10:02 WIB
loading...
Imbas Dampak Corona,...
Satu di antara dampak dari pandemi Covid-19 adalah ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK). Ini bukti pergerakan roda ekonomi Indonesia memang tengah terganggu. Foto/Ilustrasi
A A A
JAKARTA - Satu di antara dampak dari pandemi Covid-19 adalah ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK). Ini bukti pergerakan roda ekonomi Indonesia memang tengah terganggu.

Pemerintah mengatakan, Covid-19 telah menyebabkan angka pengangguran yang terus turun dalam lima tahun terakhir akan berbalik mengalami kenaikan. Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebut kemungkinan akan ada kenaikan 5,2 juta pengangguran baru.

”Skenario berat ada kenaikan sampai 2,9 juta orang pengangguran baru dan skenario lebih berat akan ada kenaikan 5,2 juta,” kata Menkeu Sri Mulyani di Jakarta kemarin.

Menurut Menkeu, satu di antara sektor yang paling terdampak adalah pekerja di sektor informal. Tercatat ada sekitar 265.000 pekerja sektor informal yang sudah dirumahkan. “Jumlah pekerja yang dirumahkan dalam hal ini dari April adalah 1,24 juta dari sektor formal. Sektor informal, pencatatan harus dilihat lagi, sebanyak 265.000 pekerja,” kata dia.

Sri menyatakan, pandemi Covid-19 yang sudah meluas ke berbagai negara itu membuat aktivitas ekonomi di berbagai negara turun tajam. Mulai dari PMI manufaktur dan jasa. Dengan penurunan cepat dan tajam ini, angka pengangguran pun meningkat di berbagai negara.

“Semua negara sudah double digit growth tingkat penganggurannya. Dia AS 10%, bahkan ada yang estimasi di atas 15-20%. Ini tingkat pengangguran terbesar dunia," tutur dia.

Sebelum itu, berdasarkan data Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker) per 7 April 2020, jumlah perusahaan yang merumahkan pekerja dan melakukan PHK akibat pandemi Covid-19 mencapai 74.430 perusahaan dengan jumlah tenaga kerja 1.200.031 orang. Mereka terdiri atas 39.997 perusahaan sektor formal dan 34.453 perusahaan sektor informal.

Untuk sektor formal, dari total perusahaan tersebut, sebanyak 17.224 perusahaan merumahkan 873.000 pekerjanya. Sedangkan 23.753 perusahaan lainnya memilih melakukan PHK terhadap 137.489 karyawannya. Jadi, total pekerja sektor formal yang terdampak mencapai 1.010.579. Sementara di sektor nonformal, perusahaan yang terdampak mencapai 34.453 perusahaan dengan jumlah pekerja 189.452 orang.

Satu di antara perusahaan yang melakukan PHK karyawan pada awal April lalu adalah Ramayana Depok. Kebijakan itu kemudian menjadi sorotan Asosiasi Serikat Pekerja (ASPEK) Indonesia karena dilakukan secara sepihak, massal, dan hanya dalam satu hari tanpa mengindahkan UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Mirah Sumirat, presiden ASPEK Indonesia, mengatakan, pengusaha harus lebih manusiawi dalam memperlakukan karyawan mereka, terlebih pada saat masa pandemi Covid-19 seperti sekarang ini.

“Sebetulnya bisa saja Ramayana hanya menutup sementara operasional toko, tidak perlu menutup selamanya. Masih banyak cara lain yang bisa ditempuh dengan musyawarah untuk bisa disepakati agar perusahaan bisa tetap eksis dan karyawan tidak kehilangan pekerjaan,” tegas Mirah.

Berdasarkan UU Ketenagakerjaan yang berlaku, Pasal 151 ayat (3) mengatur bahwa dalam hal perundingan tidak menghasilkan persetujuan, maka pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja dengan pekerja setelah ada penetapan dari Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.

ASPEK menyadari dampak penyebaran Covid 19 itu membuat perusahaan menekan pengeluaran karena tidak beroperasi seperti biasa. Mirah menyebut, seharusnya perusahaan memberi kebijakan merumahkan pekerjanya dengan tetap membayar upah tanpa membayar uang transpor dan uang makan. Perusahaan juga bisa melakukan efisiensi biaya di pos-pos lain seperti listrik, air, AC, dan biaya operasional lainnya, tanpa harus melakukan PHK.

Angka PHK dari Kemenaker memang fakta di lapangan, Mirah menyebut, kini sudah banyak anggotanya yang mengalami hal serupa. Sektor pariwisata yang paling terdampak, banyak tenaga kerja yang berkaitan dengan operasional hotel dirumahkan, bahkan PHK.

Awal April lalu misalnya ada sekitar 1.139 hotel di 29 provinsi di Indonesia ditutup dan atau melaksanakan cuti serta cuti tidak bayar. Dari total itu, Kota Bandung, Jawa Barat menjadi kota yang paling banyak menutup hotelnya, yakni sekitar 108 hotel. Itu belum termasuk kota-kota wisata lainnya di Jabar seperti Kabupaten Bogor 63 hotel, Kota Bogor 39 hotel, dan Kabupaten Pangandaran 15 hotel.

Sementara di DKI Jakarta, ada sekitar 91 hotel yang ditutup dan atau melaksanakan cuti serta cuti tidak bayar, termasuk PHK. Begitu juga di Kota Yogyakarta, DIY, tak kurang dari 84 hotel dan penginapan yang ditutup.

Kondisi sama juga terjadi di pusat wisata dunia, Bali, ratusan hotel ditutup. Di Badung misalnya ada sekitar 88 hotel yang tutup, di Buleleng 31 hotel, di Denpasar 14 hotel, dan Gianyar 19 lokasi.

Di Nusa Tenggara Barat juga dilakukan hal sama. Tak kurang dari 75 hotel tutup, 52 hotel di antaranya berada di Lombok Tengah. Sementara di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur, ada dua hotel yang dilakukan penutupan akibat wabah korona ini.

Situasi sama juga terjadi di provinsi-provinsi lain di Indonesia seperti Aceh, Sumatera Utara, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, Maluku, serta Papua dan Papua Barat.

Sektor manufaktur juga ritel garmen dilaporkan banyak melakukan PHK dan merumahkan karyawannya. Pabrik-pabrik ritel itu kebanyakan berada di Jawa Barat dan Jawa Timur.

“Untuk perhotelan dan ritel mayoritas mengurangi jumlah jam kerja sehingga hanya mengurangi gaji. Sektor manufaktur yang mengalami banyak PHK alasannya karena bisnis mereka berbasis ekspor-impor yang sedang lesu karena virus korona,” jelas dia

Perihal kompensasi, ASPEK dan para serikat buruh tengah memperjuangkan hak-hak karyawan terlebih bagi mereka yang sudah bekerja puluhan tahun.

“Banyak yang belum dibayar kebanyakan perusahaan garmen yang mengaku hanya mampu membayar enam kali gaji, padahal masa kerjanya sudah lebih dari 20 tahun. Kami akan terus mengawal agar pekerja mendapat hak sesuai Peraturan Menteri Tenaga Kerja yang mengacu pada UU Nomor 13 Tahun 2003,” ungkap Mirah.

ASPEK Indonesia juga menerima banyak laporan dan pengaduan tentang ada sikap “aji mumpung” yang dilakukan manajemen perusahaan. Di antaranya mengaku mengalami kerugian akibat pandemi Covid-19 sehingga tidak mampu membayar pesangon. Padahal, hak pesangon adalah hak pekerja yang dilindungi oleh UU Ketenagakerjaan.

Tunjangan hari raya (THR) juga enggan dibayar, padahal THR adalah pendapatan nonupah yang merupakan hak pekerja, dihitung dari masa kerjanya yang sudah lebih dari satu bulan.

ASPEK Indonesia mendesak para pengusaha untuk berempati kepada pekerjanya dengan tidak melakukan PHK dan ikhlas membagi keuntungan perusahaan untuk pekerjanya agar bisa tetap membeli kebutuhan pokok saat pandemi serta menjelang Ramadan dan Lebaran. Mirah juga meminta pemerintah menindak tegas oknum perusahaan yang “aji mumpung”. Kartu Prakerja yang dinilai menjadi solusi juga diharapkan maksimal menjangkau sasaran.

“Sangat disayangkan kenapa seperti undian. Untuk apa ada regulasi kebijakan mengenai Kartu Prakerja kalau ternyata tidak ada kepastian siapa yang dapat. Kalau seperti ini, malah mengecewakan,” pungkas dia.

Masa pandemi seperti saat ini memang menyulitkan semua pihak, bukan hanya para pekerja. Pengusaha pun ikut kewalahan dalam menghadapi situasi sekarang. Hal tersebut disampaikan Solihin, sekretaris jenderal Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo). Sebelum Covid-19 para pelaku industri ritel sedang mengalami penurunan penjualan.

“Sebelum Ramadan yang biasanya merangkak naik, juga sudah turun. Sekarang semakin diterjang pandemi, kami semakin terpuruk,” ujar Solihin.

Keadaan yang tidak pasti sampai kapan masa darurat ini berakhir juga membuat pengusaha akhirnya mengambil kebijakan dengan mengurangi pengeluaran. Satu di antaranya dengan merumahkan, bahkan melakukan PHK. Solihin menambahkan, sudah tidak ada harapan untuk menambah pendapatan karena dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) memperpanjang masa darurat Covid-19 hingga 29 Mei 2020.

“Itu artinya setelah Lebaran di mana seharusnya masa-masa puncak penjualan para ritel, pergeseran konsumsi pasti terjadi. Mereka lebih memilih kebutuhan pokok ketimbang pakaian atau barang lain,” ungkap dia.

Aprindo juga memastikan akan selalu memantau anggota mereka untuk bertanggung jawab sesuai peraturan UU. Bagi ritel memang tidak semua anjlok karena consumer good masih berjalan.

Meskipun begitu, para pengusaha ini tetap khawatir karena harus melindungi karyawannya semaksimal mungkin saat masih bekerja di tengah pandemi Covid-19. “Bagaimanapun para pengusaha harus terus bisa memberikan pelayanan kepada masyarakat dan melindungi karyawan. Tidak ada yang senang dengan situasi seperti sekarang ini,” ucap pria yang juga menjabat sebagai corporate affairs director Alfamart ini.

Menanggapi PHK yang kini terjadi akibat pandemi Covid-19, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto mengatakan, ekonomi Indonesia memang tengah melambat sebelum pandemi ini muncul. Perekonomian di Indonesia diprediksi tumbuh hanya sekitar 2%, bahkan Indef memiliki perhitungan sendiri yakni hanya 1,4%.

Lantas, benarkah Indonesia akan mengalami nasib seperti 1998 saat krisis moneter?

“Saya masih optimistis krisis yang kita alami sekarang ini tidak akan sampai seperti 1998. PDB tidak akan seperti dulu minus sampai 13%. Ditambah situasi masyarakat yang masih kondusif sehingga tidak terlalu mengkhawatirkan seperti dulu,” ungkap dia. (Ananda Nararya/Rina Anggraeni)
(ysw)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1153 seconds (0.1#10.140)