62 Pejabat BUMN Rangkap Jabatan, Ini 3 Dampak Negatif Bagi Persaingan Usaha
loading...
A
A
A
JAKARTA - Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mencatat ada tiga dampak negatif akibat adanya rangkap jabatan yang dilakukan komisaris dan direksi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di perusahaan non BUMN. Salah satu poin adalah berpotensi melanggar persaingan usaha yang sehat di pasar dalam negeri.
Deputi Bidang Kajian dan Advokasi, Sekretariat KPPU Taufik Ariyanto menyebut, pelanggaran persaingan usaha tersebut terjadi dalam tiga bentuk. Pertama adalah kemudahan perusahaan untuk terlibat dalam pengaturan pasar terkait harga, pasokan, pembagian wilayah, jumlah produksi, dan lainnya.
"Koordinasi kesepakatan horizontal tersebut akan lebih mudah dicapai dan dijaga apabila terjadi rangkap jabatan direksi dan komisaris antar perusahaan dalam pasar yang sama," ujar dia dalam konferensi pers virtual, Senin (22/3/2021).
Kedua, penyalahgunaan hambatan vertikal dengan melakukan praktik eksklusivitas, tying dan bundling serta aksi korporasi lain, yang melibatkan perusahaan, dimana, direksi dan komisarisnya saling rangkap jabatan.
Ketiga, adanya tindakan penguasaan pasar antar perusahaan yang kegiatan usahanya saling terkait, dimana, direksi dan komisaris perusahaan tersebut terlibat dalam rangkap jabatan.
Khusus untuk dewan komisaris, rangkap jabatan sendiri diizinkan Menteri BUMN Erick Thohir melalui Peraturan Menteri (Permen) BUMN Nomor PER-10/MBU/10/2020 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri BUMN Nomor PER-02/MBU/02/2015 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pengangkatan dan Pemberhentian Anggota Dewan Komisaris dan Dewan Pengawas BUMN. Peraturan tersebut ditandatangani pada 9 Oktober 2020 dan berlaku pada tanggal diundangkan, yakni 16 Oktober 2020.
Substansi rangkap jabatan antara direksi dan jomisaris diatur dalam pasal 26 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Undang-undang tersebut melarang seseorang untuk menduduki jabatan direksi atau komisaris suatu perusahaan yang pada waktu bersamaan merangkap sebagai direksi atau komisaris perusahaan lain apabila perusahaan-perusahaan tersebut di pasar bersangkutan yang sama atau memiliki keterkaitan erat di bidang atau jenis usaha, atau secara bersama menguasai pangsa pasar tertentu yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
KPPU juga sudah menemukan 62 nama pejabat perseroan pelat merah yang melakukan rangkap jabatan di perusahaan non-BUMN. Sejumlah pejabat itu berasal dari berbagai sektor, tercatat ada tiga klaster BUMN yakni keuangan, asuransi, investasi.
Guna mencegah potensi persaingan usaha tidak sehat sedini mungkin, maka KPPU telah berkoordinasi dan menyampaikan surat saran dan pertimbangan kepada Kementerian BUMN yang pada intinya menyarankan agar Kementerian BUMN mencabut ketentuan yang memperbolehkan rangkap jabatan dewan komisaris dan dewan pengawas.
KPPU juga menyarankan agar Kementerian BUMN memastikan personil yang menjadi direksi dan komisaris dalam lingkup BUMN tidak dalam posisi rangkap jabatan dengan perusahaan selain BUMN, sehingga dapat mengurangi potensi pelanggaran dalam UU Nomor 5 tahun 1999 tersebut.
Deputi Bidang Kajian dan Advokasi, Sekretariat KPPU Taufik Ariyanto menyebut, pelanggaran persaingan usaha tersebut terjadi dalam tiga bentuk. Pertama adalah kemudahan perusahaan untuk terlibat dalam pengaturan pasar terkait harga, pasokan, pembagian wilayah, jumlah produksi, dan lainnya.
"Koordinasi kesepakatan horizontal tersebut akan lebih mudah dicapai dan dijaga apabila terjadi rangkap jabatan direksi dan komisaris antar perusahaan dalam pasar yang sama," ujar dia dalam konferensi pers virtual, Senin (22/3/2021).
Kedua, penyalahgunaan hambatan vertikal dengan melakukan praktik eksklusivitas, tying dan bundling serta aksi korporasi lain, yang melibatkan perusahaan, dimana, direksi dan komisarisnya saling rangkap jabatan.
Ketiga, adanya tindakan penguasaan pasar antar perusahaan yang kegiatan usahanya saling terkait, dimana, direksi dan komisaris perusahaan tersebut terlibat dalam rangkap jabatan.
Khusus untuk dewan komisaris, rangkap jabatan sendiri diizinkan Menteri BUMN Erick Thohir melalui Peraturan Menteri (Permen) BUMN Nomor PER-10/MBU/10/2020 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri BUMN Nomor PER-02/MBU/02/2015 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pengangkatan dan Pemberhentian Anggota Dewan Komisaris dan Dewan Pengawas BUMN. Peraturan tersebut ditandatangani pada 9 Oktober 2020 dan berlaku pada tanggal diundangkan, yakni 16 Oktober 2020.
Substansi rangkap jabatan antara direksi dan jomisaris diatur dalam pasal 26 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Undang-undang tersebut melarang seseorang untuk menduduki jabatan direksi atau komisaris suatu perusahaan yang pada waktu bersamaan merangkap sebagai direksi atau komisaris perusahaan lain apabila perusahaan-perusahaan tersebut di pasar bersangkutan yang sama atau memiliki keterkaitan erat di bidang atau jenis usaha, atau secara bersama menguasai pangsa pasar tertentu yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
KPPU juga sudah menemukan 62 nama pejabat perseroan pelat merah yang melakukan rangkap jabatan di perusahaan non-BUMN. Sejumlah pejabat itu berasal dari berbagai sektor, tercatat ada tiga klaster BUMN yakni keuangan, asuransi, investasi.
Guna mencegah potensi persaingan usaha tidak sehat sedini mungkin, maka KPPU telah berkoordinasi dan menyampaikan surat saran dan pertimbangan kepada Kementerian BUMN yang pada intinya menyarankan agar Kementerian BUMN mencabut ketentuan yang memperbolehkan rangkap jabatan dewan komisaris dan dewan pengawas.
KPPU juga menyarankan agar Kementerian BUMN memastikan personil yang menjadi direksi dan komisaris dalam lingkup BUMN tidak dalam posisi rangkap jabatan dengan perusahaan selain BUMN, sehingga dapat mengurangi potensi pelanggaran dalam UU Nomor 5 tahun 1999 tersebut.
(ind)