Ancaman Bocor Data Pribadi di Tengah Masifnya Produk Asuransi Digital
loading...
A
A
A
JAKARTA - Digitalisasi pada industri asuransi menghadirkan harapan serta juga tantangan terkait dengan perlindungan data pribadi . Dimana pada pertengahan 2020, 91 juta data pengguna terpantau diperjualbelikan melalui Dark Web seharga Rp 73,5 juta dimana informasi seperti nama, alamat dan kontak dapat dibaca dengan sangat mudah.
Hal ini tentu dapat menjadi ancaman bagi pengguna, terutama untuk aktivitas online yang vital seperti bertransaksi, termasuk membeli asuransi jika tidak didukung oleh peraturan dan sistem yang menunjang. Sebuah survei yang dilakukan oleh perusahaan keamanan siber, Kaspersky, pada pertengahan 2020 mengungkapkan bahwa 40% konsumen dari Asia Pasifik menghadapi insiden kebocoran data pribadi yang diakses oleh orang lain tanpa persetujuan.
Data dari Badan Siber dan Sandi Negara juga mengungkapkan bahwa sepanjang Januari hingga Agustus 2020, terdapat hampir 190 juta upaya serangan siber di Indonesia. Ini meningkat lebih dari empat kali lipat dibandingkan periode yang sama di tahun sebelumnya. Perlindungan data pribadi pengguna tentunya menjadi salah satu perhatian utama bagi Allianz Indonesia.
PT Asuransi Allianz Life Indonesia dan PT Asuransi Allianz Utama Indonesia telah meraih Sertifikat ISO 27001:2013 yang menjadi penilaian standar internasional terhadap sistem tata kelola keamanan informasi dan perlindungan data. “Kami memahami bahwa keamanan siber masih menjadi sebuah tantangan besar," ungkap Chief Digital Officer Allianz Life Indonesia, Mike Sutton.
"Terlebih sejak terjadinya pandemi COVID-19, di mana masyarakat dipaksa melek digital dan bergantung pada teknologi digital hingga berujung pada meningkatnya kejahatan siber. Dengan memiliki sertifikasi ISO 27001 menunjukkan bahwa kami telah melakukan langkah- langkah pencegahan untuk melindungi informasi nasabah, mengelola risiko keamanan informasi dari ancaman siber serta mencapai kepatuhan perlindungan informasi nasabah,” ungkap Mike Sutton.
Allianz Indonesia sendiri telah mengedepankan digitalisasi sejak fase awal nasabah bergabung, hingga melakukan klaim untuk menghadirkan pengalaman pengguna yang memberikan kemudahan serta pelayanan yang berkesan. Hal ini salah satunya diwujudkan melalui layanan Allianz Eazy Connect yang memudahkan nasabah untuk terkoneksi dengan layanan digital Allianz.
Digitalisasi pada industri asuransi juga diharapkan dapat membantu penetrasi asuransi di Indonesia, yang masih menjadi salah satu negara dengan tingkat penetrasi asuransi terendah di dunia. Sebelumnya, Arif Baharudin, Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Jasa Keuangan dan Pasar Modal (JKPM) pernah mengungkapkan bahwa terdapat beberapa hal yang diindikasikan sebagai faktor penghambat perkembangan sektor asuransi di Indonesia.
Beberapa di antaranya adalah masih rendahnya literasi keuangan dan ketimpangan akses pada jasa keuangan. Sehingga, digitalisasi asuransi memiliki peran penting untuk lebih meningkatkan akses masyarakat pada sektor ini guna terus mendorong pertumbuhannya.
Survei terbaru dari Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) juga menunjukkan pada kuartal kedua 2020, jumlah pengguna internet di Tanah Air mencapai 196,7 juta atau 73,7% dari total populasi. Fakta tersebut semakin menguatkan pendapat bahwa digitalisasi asuransi dapat menjadi inovasi menarik pada sektor ini.
Kini, beberapa jenis produk asuransi yang sudah marak ditawarkan secara digital antara lain asuransi mobil, asuransi rumah, asuransi jiwa, asuransi kesehatan, dan asuransi perjalanan. Masyarakat bisa dengan mudah mendapatkan berbagai produk asuransi berbasis digital ini melalui bermacam platform, seperti marketplace C2C (customer]-to-customer), B2C (business-to-customer), platform milik perusahaan asuransi ataupun platform digital lainnya yang dapat diakses menggunakan aplikasi mobile ataupun website.
Riset Swiss Re Institute mengungkapkan bahwa 76% masyarakat Indonesia tertarik membeli produk asuransi digital. Adapun, platform yang paling banyak dipilih untuk mendapatkan produk asuransi ini adalah e-commerce dan fintech. Namun, kemudahan digital juga mengundang kekhawatiran akan keamanan, terutama dalam hal privasi data.
Asia Tenggara sendiri saat ini merupakan salah satu kawasan dengan pertumbuhan ekonomi digital terbesar dan tercepat di dunia, dengan total transaksi daring yang diprediksi mencapai USD 10 miliar selama 2020. Bahkan sebelum pandemi COVID-19, transformasi digital ini sudah mulai terasa di hampir segala aktivitas, terlihat dari penggunaan masif online travel agent, online shopping, online transaction, sarana remote working, hiburan, dan sebagainya.
“Masyarakat Indonesia memang sudah mengarah ke transformasi digital dan dengan adanya pandemi COVID-19 justru semakin mengakselerasi pertumbuhannya. Namun, meskipun pertumbuhan digital di Indonesia semakin melesat, berdasarkan yang saya analisa masih banyak orang yang terjun ke bisnis digital tanpa betul-betul memahami konsep digital itu sendiri, sehingga tidak sedikit pula yang terjerat perang harga lewat digital,” ungkap Founder dan CEO Tribelio, Denny Santoso.
Menurut Denny Santoso, bisnis digital sudah mengalami evolusi yang cukup besar. Sambung dia menerangkan, saat ini dunia digital sudah memasuki era purposeful brand, di mana untuk dapat bersaing sehat secara digital, setiap merek atau bisnis harus membangun komunitas yang memiliki tujuan atau misi yang bermanfaat atau yang dikenal dengan tribe.
“ Tribe adalah istilah bagi kumpulan orang yang memiliki loyalitas tinggi terhadap tujuan yang sama. Maka dari itu, saya membangun Tribelio, sebuah platform digital yang dapat memudahkan para leaders, brand atau bisnis untuk mengumpulkan orang-orang tersebut dan menjalin hubungan lebih dalam dengan mereka, sehingga tujuan dan misi nya dapat terlaksana dengan baik,” tambah Denny.
Selain itu, bisnis digital juga menawarkan beragam kemudahan yang dapat dimanfaatkan baik oleh penjual maupun pembeli. Kemudahan digital ini dimanfaatkan oleh beragam jenis bisnis dan industri, dan salah satunya adalah asuransi yang dapat memangkas proses-proses rumit dan mempercepat layanan.
Hal ini tentu dapat menjadi ancaman bagi pengguna, terutama untuk aktivitas online yang vital seperti bertransaksi, termasuk membeli asuransi jika tidak didukung oleh peraturan dan sistem yang menunjang. Sebuah survei yang dilakukan oleh perusahaan keamanan siber, Kaspersky, pada pertengahan 2020 mengungkapkan bahwa 40% konsumen dari Asia Pasifik menghadapi insiden kebocoran data pribadi yang diakses oleh orang lain tanpa persetujuan.
Data dari Badan Siber dan Sandi Negara juga mengungkapkan bahwa sepanjang Januari hingga Agustus 2020, terdapat hampir 190 juta upaya serangan siber di Indonesia. Ini meningkat lebih dari empat kali lipat dibandingkan periode yang sama di tahun sebelumnya. Perlindungan data pribadi pengguna tentunya menjadi salah satu perhatian utama bagi Allianz Indonesia.
PT Asuransi Allianz Life Indonesia dan PT Asuransi Allianz Utama Indonesia telah meraih Sertifikat ISO 27001:2013 yang menjadi penilaian standar internasional terhadap sistem tata kelola keamanan informasi dan perlindungan data. “Kami memahami bahwa keamanan siber masih menjadi sebuah tantangan besar," ungkap Chief Digital Officer Allianz Life Indonesia, Mike Sutton.
"Terlebih sejak terjadinya pandemi COVID-19, di mana masyarakat dipaksa melek digital dan bergantung pada teknologi digital hingga berujung pada meningkatnya kejahatan siber. Dengan memiliki sertifikasi ISO 27001 menunjukkan bahwa kami telah melakukan langkah- langkah pencegahan untuk melindungi informasi nasabah, mengelola risiko keamanan informasi dari ancaman siber serta mencapai kepatuhan perlindungan informasi nasabah,” ungkap Mike Sutton.
Allianz Indonesia sendiri telah mengedepankan digitalisasi sejak fase awal nasabah bergabung, hingga melakukan klaim untuk menghadirkan pengalaman pengguna yang memberikan kemudahan serta pelayanan yang berkesan. Hal ini salah satunya diwujudkan melalui layanan Allianz Eazy Connect yang memudahkan nasabah untuk terkoneksi dengan layanan digital Allianz.
Digitalisasi pada industri asuransi juga diharapkan dapat membantu penetrasi asuransi di Indonesia, yang masih menjadi salah satu negara dengan tingkat penetrasi asuransi terendah di dunia. Sebelumnya, Arif Baharudin, Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Jasa Keuangan dan Pasar Modal (JKPM) pernah mengungkapkan bahwa terdapat beberapa hal yang diindikasikan sebagai faktor penghambat perkembangan sektor asuransi di Indonesia.
Beberapa di antaranya adalah masih rendahnya literasi keuangan dan ketimpangan akses pada jasa keuangan. Sehingga, digitalisasi asuransi memiliki peran penting untuk lebih meningkatkan akses masyarakat pada sektor ini guna terus mendorong pertumbuhannya.
Survei terbaru dari Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) juga menunjukkan pada kuartal kedua 2020, jumlah pengguna internet di Tanah Air mencapai 196,7 juta atau 73,7% dari total populasi. Fakta tersebut semakin menguatkan pendapat bahwa digitalisasi asuransi dapat menjadi inovasi menarik pada sektor ini.
Kini, beberapa jenis produk asuransi yang sudah marak ditawarkan secara digital antara lain asuransi mobil, asuransi rumah, asuransi jiwa, asuransi kesehatan, dan asuransi perjalanan. Masyarakat bisa dengan mudah mendapatkan berbagai produk asuransi berbasis digital ini melalui bermacam platform, seperti marketplace C2C (customer]-to-customer), B2C (business-to-customer), platform milik perusahaan asuransi ataupun platform digital lainnya yang dapat diakses menggunakan aplikasi mobile ataupun website.
Riset Swiss Re Institute mengungkapkan bahwa 76% masyarakat Indonesia tertarik membeli produk asuransi digital. Adapun, platform yang paling banyak dipilih untuk mendapatkan produk asuransi ini adalah e-commerce dan fintech. Namun, kemudahan digital juga mengundang kekhawatiran akan keamanan, terutama dalam hal privasi data.
Asia Tenggara sendiri saat ini merupakan salah satu kawasan dengan pertumbuhan ekonomi digital terbesar dan tercepat di dunia, dengan total transaksi daring yang diprediksi mencapai USD 10 miliar selama 2020. Bahkan sebelum pandemi COVID-19, transformasi digital ini sudah mulai terasa di hampir segala aktivitas, terlihat dari penggunaan masif online travel agent, online shopping, online transaction, sarana remote working, hiburan, dan sebagainya.
“Masyarakat Indonesia memang sudah mengarah ke transformasi digital dan dengan adanya pandemi COVID-19 justru semakin mengakselerasi pertumbuhannya. Namun, meskipun pertumbuhan digital di Indonesia semakin melesat, berdasarkan yang saya analisa masih banyak orang yang terjun ke bisnis digital tanpa betul-betul memahami konsep digital itu sendiri, sehingga tidak sedikit pula yang terjerat perang harga lewat digital,” ungkap Founder dan CEO Tribelio, Denny Santoso.
Menurut Denny Santoso, bisnis digital sudah mengalami evolusi yang cukup besar. Sambung dia menerangkan, saat ini dunia digital sudah memasuki era purposeful brand, di mana untuk dapat bersaing sehat secara digital, setiap merek atau bisnis harus membangun komunitas yang memiliki tujuan atau misi yang bermanfaat atau yang dikenal dengan tribe.
“ Tribe adalah istilah bagi kumpulan orang yang memiliki loyalitas tinggi terhadap tujuan yang sama. Maka dari itu, saya membangun Tribelio, sebuah platform digital yang dapat memudahkan para leaders, brand atau bisnis untuk mengumpulkan orang-orang tersebut dan menjalin hubungan lebih dalam dengan mereka, sehingga tujuan dan misi nya dapat terlaksana dengan baik,” tambah Denny.
Selain itu, bisnis digital juga menawarkan beragam kemudahan yang dapat dimanfaatkan baik oleh penjual maupun pembeli. Kemudahan digital ini dimanfaatkan oleh beragam jenis bisnis dan industri, dan salah satunya adalah asuransi yang dapat memangkas proses-proses rumit dan mempercepat layanan.
(akr)