Waduh! Aturan Jokowi Soal Darurat Sampah Tidak Digubris Kepala Daerah
loading...
A
A
A
JAKARTA - Polemik soal tata kelola sampah kerap muncul pada momentum Hari Lingkungan Hidup. Pengulangan narasi setiap Hari Sampah Nasional belum diikuti realisasi yang konkrit, padahal sampah di Indonesia merupakan masalah serius yang berdampak ekonomi dan sosial masyarakat.
Ketua Dewan Pembina Indonesia Solid Waste Association (InSWA) Sri Bebassari mengungkapkan bahwa hampir seluruh kota di Indonesia mengalami kendala dalam mengelola sampah . Boleh jadi, kota terlihat bersih namun muara sampah menumpuk di sungai, laut, dan ditimbun Tempat Pembuangan Akhir (TPA).
Menurut dia hal itu terjadi bukan hanya masalah kurangnya anggaran, namun utamanya karena tidak ada keberanian kepala daerah berinvestasi pada solusi jangka panjang soal tata kelola sampah. Dampaknya, proses pengumpulan sampah hanya berakhir menjadi timbunan sampah dan mencemari lingkungan.
"Sepertinya birokrasi kita belum punya rasa darurat yang sama terkait penanganan sampah. Padahal Presiden Jokowi sudah menyatakan sejak 2015 Indonesia darurat sampah, tapi sampai sekarang masih begitu saja. Ibarat pasien sudah masuk ICU tapi penanganan masih santai saja. Apalagi ditambah, kepala daerah belum punya masterplan tata kelola sampah yang komprehensif," kata dia, di Jakarta, Jumat (30/4/2021).
Berdasarkan laporan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tahun 2020 lalu, timbunan sampah di Indonesia satu tahunnya mencapai 67,8 juta ton dan terus naik setiap tahunnya. Berdasarkan data tersebut, sekitar 60 persen sampah diangkut dan ditimbun ke TPA, 10% sampah didaur ulang, sedangkan 30% lainnya tidak dikelola secara baik.
"Di tahun 2025, bisakah kita mewujudkan apa yang telah ditetapkan presiden di tahun itu, pengelolaan sampah kita bisa dikelola 100 persen. Itu masih dalam kondisi pertimbangan minimal, dengan 30 persen pengurangan dan 70 persen penanganan (sampah)," jelas Direktur Pengelolaan Sampah KLKH Novrizal Tahar.
Seperti di kota kota besar di Indonesia, lahan TPA tidak hanya kritis namun terlalu dekat dengan masyarakat dan mengakibatkan turunnya kualitas lingkungan masyarakat khususnya terkait sumber air. Dampaknya pencemaran tidak hanya di sekitar TPA namun bisa mencemari sumber-sumber air di dalam satu kota tersebut.
Prinsipnya, pengelolaan sampah merupakan hak dasar masyarakat dan kewajiban yang melekat pada pemerintah pusat yang di laksanakan oleh pemerintah tingkat kota/kabupaten. Dengan pertimbangan ini, Presiden Joko Widodo merilis Peraturan Presiden No.35 tahun 2018 tentang Percepatan Pembangunan Instalasi Pengolah Sampah Menjadi Energi Listrik Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan untuk mengejar ketertinggalan tata kelola sampah, yang terus meningkatkan timbulan sampah di TPA berbagai kota besar di tanah air.
Perpres tersebut memberikan amanat dan dukungan kepada 12 kota untuk mempercepat upaya penanggulangan sampahnya dengan melakukan pemusnahan sampah secara sistematis dan tuntas dengan mempercepat pembangunan atau pengembangan investasi fasilitas Pembangkit Listrik Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan atau dikenal dengan PLTSa.
Ketua Dewan Pembina Indonesia Solid Waste Association (InSWA) Sri Bebassari mengungkapkan bahwa hampir seluruh kota di Indonesia mengalami kendala dalam mengelola sampah . Boleh jadi, kota terlihat bersih namun muara sampah menumpuk di sungai, laut, dan ditimbun Tempat Pembuangan Akhir (TPA).
Menurut dia hal itu terjadi bukan hanya masalah kurangnya anggaran, namun utamanya karena tidak ada keberanian kepala daerah berinvestasi pada solusi jangka panjang soal tata kelola sampah. Dampaknya, proses pengumpulan sampah hanya berakhir menjadi timbunan sampah dan mencemari lingkungan.
"Sepertinya birokrasi kita belum punya rasa darurat yang sama terkait penanganan sampah. Padahal Presiden Jokowi sudah menyatakan sejak 2015 Indonesia darurat sampah, tapi sampai sekarang masih begitu saja. Ibarat pasien sudah masuk ICU tapi penanganan masih santai saja. Apalagi ditambah, kepala daerah belum punya masterplan tata kelola sampah yang komprehensif," kata dia, di Jakarta, Jumat (30/4/2021).
Berdasarkan laporan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tahun 2020 lalu, timbunan sampah di Indonesia satu tahunnya mencapai 67,8 juta ton dan terus naik setiap tahunnya. Berdasarkan data tersebut, sekitar 60 persen sampah diangkut dan ditimbun ke TPA, 10% sampah didaur ulang, sedangkan 30% lainnya tidak dikelola secara baik.
"Di tahun 2025, bisakah kita mewujudkan apa yang telah ditetapkan presiden di tahun itu, pengelolaan sampah kita bisa dikelola 100 persen. Itu masih dalam kondisi pertimbangan minimal, dengan 30 persen pengurangan dan 70 persen penanganan (sampah)," jelas Direktur Pengelolaan Sampah KLKH Novrizal Tahar.
Seperti di kota kota besar di Indonesia, lahan TPA tidak hanya kritis namun terlalu dekat dengan masyarakat dan mengakibatkan turunnya kualitas lingkungan masyarakat khususnya terkait sumber air. Dampaknya pencemaran tidak hanya di sekitar TPA namun bisa mencemari sumber-sumber air di dalam satu kota tersebut.
Prinsipnya, pengelolaan sampah merupakan hak dasar masyarakat dan kewajiban yang melekat pada pemerintah pusat yang di laksanakan oleh pemerintah tingkat kota/kabupaten. Dengan pertimbangan ini, Presiden Joko Widodo merilis Peraturan Presiden No.35 tahun 2018 tentang Percepatan Pembangunan Instalasi Pengolah Sampah Menjadi Energi Listrik Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan untuk mengejar ketertinggalan tata kelola sampah, yang terus meningkatkan timbulan sampah di TPA berbagai kota besar di tanah air.
Perpres tersebut memberikan amanat dan dukungan kepada 12 kota untuk mempercepat upaya penanggulangan sampahnya dengan melakukan pemusnahan sampah secara sistematis dan tuntas dengan mempercepat pembangunan atau pengembangan investasi fasilitas Pembangkit Listrik Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan atau dikenal dengan PLTSa.