Awas! Dampak Emiten Gagal Bayar Surat Utang Bikin IHSG Loyo
loading...
A
A
A
JAKARTA - Dampak Pandemi Covid-19 yang menekan perekonomian nasional ternyata masih belum usai. Sejumlah korporasi mengalami gagal bayar kewajiban pada semester pertama tahun ini.
Salah satunya adalah PT Sri Rejeki Isman Tbk (SRIL) yang tidak bisa melunasi pokok dari medium term note (MTN) Sritex Tahap III tahun 2018, sebesar USD 25 juta yang jatuh tempo pada Selasa (18/5). Hal itu lantaran Pengadilan Niaga Semarang menetapkan status Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) terhadap perusahaan tersebut pada 6 Mei 2021.
Selain itu, perusahaan tekstil dan garmen terintegrasi ini juga tengah melakukan proses restrukturisasi pinjaman sindikasi senilai USD 350 juta kepada sejumlah bank. Sritex berupaya meminta kelonggaran kepada pemberi pinjaman dengan mengajukan perpanjangan tenor selama dua tahun atas pinjaman yang jatuh tempo pada 2022 tersebut.
Masalahnya, kesulitan penyelesaian kewajiban perusahaan tekstil ini diperkirakan akan berdampak luas. Proses restrukturisasi pinjaman kepada sejumlah kreditur tersebut, tentunya turut menekan kinerja keuangan pemberi pinjaman.
Begitu pula penundaan pembayaran MTN akibat perusahaan berstatus PKPU, ditaksir berdampak lebih besar lagi. Sebab, surat utang SRIL tersebut menjadi underlying asset dari reksadana terproteksi Bahana Core Protected Fund yang diterbitkan PT Bahana TCW Investment Management.
Reksadana tersebut selanjutnya dibeli oleh investor ritel, baik individu maupun badan usaha. Konsekuensinya, Bahana diprediksi kesulitan melakukan pembayaran atas nilai pokok investasi serta return (potensi tambahan hasil investasi) kepada investor yang membeli reksadana tersebut.
Hingga kini, belum ada keterangan resmi dari Bahana untuk menyelesaikan masalah yang dipicu oleh gagal bayarnya MTN SRIL tersebut.
Perusahaan lain yang turut mengalami kesulitan pembayaran kewajibannya adalah PT Pan Brothers Tbk (PBRX) yang belum dapat melunasi utang sindikasi senilai USD 138,5 juta pada Februari 2021. Sama juga dengan PT Tridomain Performance Materials Tbk (TDPM) yang tidak mampu melunasi MTN II tahun 2018, senilai Rp 410 miliar yang jatuh tempo 27 April 2021.
Pada paparan publik yang digelar sebelum libur Idul Fitri kemarin, perusahaan di sektor kimia ini mengaku tengah menyiapkan proposal penyelesaian kewajibannya tersebut. Manajemen yang diwakili konsultan keuangannya berdalih, pandemic Covid-19 berdampak signifikan terhadap bisnis perusahaan.
Potensi gagal bayar kewajiban seperti yang terjadi pada sejumlah perusahaan tersebut, bukan tak mungkin merembet ke berbagai perusahaan lainnya. Berdasarkan data, ada ratusan surat utang, baik berupa obligasi, sukuk dan MTN yang diterbitkan berbagai perusahaan dan jatuh tempo sepanjang tahun ini.
Perusahaan yang menerbitkan surat utang tersebut, umumnya bergerak di sektor keuangan, infrastruktur, pertambangan dan property. Surat utang tersebut umumnya diterbitkan pada kurun waktu 2016-2019, sebelum perekonomian Indonesia dan global terimbas pandemic Covid-19.
Di awal penerbitan, surat utang tersebut umumnya mendapat rating investment grade, alias layak investasi dari sejumlah biro rating. Artinya, surat utang tersebut memiliki risiko yang terukur dengan imbal hasil yang menarik.
Namun, sangat memungkinkan, akibat badai Corona yang terjadi pada tahun lalu dan masih berlangsung hingga kini, membuat kondisi kinerja perusahaan tersebut bernasib serupa dengan yang terjadi pada SRIL, PBRX dan TDPM.
Menurut Head of Investment PT Reswara Gian Investa Kiswoyo Adi Joe, investor perlu meningkatkan kewaspadaannya terhadap surat utang korporasi, terutama yang sektor usahanya terdampak langsung Covid-19. Sebab, potensi gagal bayar surat utang oleh korporasi pada tahun ini berpotensi terus berlanjut.
Alasannya, pandemic yang terjadi sejak tahun lalu, telah menekan kinerja sebagian besar pelaku usaha. Hal itu tercermin dari tergerusnya keuntungan sebagian besar perusahaan pada kinerja 2020 yang berlangsung hingga kuartal pertama 2021.
“Tahun lalu, korporasi masih memiliki kemampuan membayar kewajiban, karena ditopang kinerja 2019, yang masih baik. Namun, tahun ini, kondisinya berbeda, karena rata-rata mengalami tekanan dampak Covid-19,” ujar Kiswoyo.
Di sisi lain, dia meminta regulator mengawasi manajemen korporasi yang gagal bayar kewajibannya dengan alasan terkena dampak covid-19. Sebab, tidak menutup kemungkinan adanya moral hazard yang dilakukan korporasi. Dalih terimbas Covid-19 bisa jadi dipakai sebagai kamuflase untuk menutupi ketidakmampuan manajemen dalam mengelola bisnisnya.
Bahkan, bisa saja, ada perusahaan yang memanfaatkan isu pandemi untuk meminjam dana publik tanpa berniat mengembalikannya, atau memberikan imbal hasil yang sangat rendah, dibawah bunga tabungan dan deposito.
Menurut Kiswoyo, manajemen seharusnya sudah mengambil langkah-langkah mitigasi dan antisipasi atas kewajibannya sejak berlangsungnya pandemi covid-19 tahun lalu.
“Jika dibiarkan, hal itu dapat menganggu iklim investasi dan pasar modal di Indonesia. Sebab, gagal bayar tersebut tentunya akan membuat saham emiten kena suspend. Dan jika jumlah emiten gagal bayar bertambah, bakal berdampak negative terhadap IHSG ,” tegasnya.
Hal senada juga dipaparkan Head of Investment Research Infovesta Utama Wawan Hendrayana, yang turut menghawatirkan potensi gagal bayar kewajiban korporasi di tahun ini. Sejumlah emiten di sektor jasa dan transportasi, menurutnya memiliki risiko kredit yang meningkat.
Dia menyarankan agar investor saham untuk bersikap wait and see, terutama kepada emiten yang mengalami gagal bayar kewajiban. Sebab, saham-saham emiten tersebut diperkirakan masih akan tertekan dalam jangka pendek.
Salah satunya adalah PT Sri Rejeki Isman Tbk (SRIL) yang tidak bisa melunasi pokok dari medium term note (MTN) Sritex Tahap III tahun 2018, sebesar USD 25 juta yang jatuh tempo pada Selasa (18/5). Hal itu lantaran Pengadilan Niaga Semarang menetapkan status Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) terhadap perusahaan tersebut pada 6 Mei 2021.
Selain itu, perusahaan tekstil dan garmen terintegrasi ini juga tengah melakukan proses restrukturisasi pinjaman sindikasi senilai USD 350 juta kepada sejumlah bank. Sritex berupaya meminta kelonggaran kepada pemberi pinjaman dengan mengajukan perpanjangan tenor selama dua tahun atas pinjaman yang jatuh tempo pada 2022 tersebut.
Masalahnya, kesulitan penyelesaian kewajiban perusahaan tekstil ini diperkirakan akan berdampak luas. Proses restrukturisasi pinjaman kepada sejumlah kreditur tersebut, tentunya turut menekan kinerja keuangan pemberi pinjaman.
Begitu pula penundaan pembayaran MTN akibat perusahaan berstatus PKPU, ditaksir berdampak lebih besar lagi. Sebab, surat utang SRIL tersebut menjadi underlying asset dari reksadana terproteksi Bahana Core Protected Fund yang diterbitkan PT Bahana TCW Investment Management.
Reksadana tersebut selanjutnya dibeli oleh investor ritel, baik individu maupun badan usaha. Konsekuensinya, Bahana diprediksi kesulitan melakukan pembayaran atas nilai pokok investasi serta return (potensi tambahan hasil investasi) kepada investor yang membeli reksadana tersebut.
Hingga kini, belum ada keterangan resmi dari Bahana untuk menyelesaikan masalah yang dipicu oleh gagal bayarnya MTN SRIL tersebut.
Perusahaan lain yang turut mengalami kesulitan pembayaran kewajibannya adalah PT Pan Brothers Tbk (PBRX) yang belum dapat melunasi utang sindikasi senilai USD 138,5 juta pada Februari 2021. Sama juga dengan PT Tridomain Performance Materials Tbk (TDPM) yang tidak mampu melunasi MTN II tahun 2018, senilai Rp 410 miliar yang jatuh tempo 27 April 2021.
Pada paparan publik yang digelar sebelum libur Idul Fitri kemarin, perusahaan di sektor kimia ini mengaku tengah menyiapkan proposal penyelesaian kewajibannya tersebut. Manajemen yang diwakili konsultan keuangannya berdalih, pandemic Covid-19 berdampak signifikan terhadap bisnis perusahaan.
Potensi gagal bayar kewajiban seperti yang terjadi pada sejumlah perusahaan tersebut, bukan tak mungkin merembet ke berbagai perusahaan lainnya. Berdasarkan data, ada ratusan surat utang, baik berupa obligasi, sukuk dan MTN yang diterbitkan berbagai perusahaan dan jatuh tempo sepanjang tahun ini.
Perusahaan yang menerbitkan surat utang tersebut, umumnya bergerak di sektor keuangan, infrastruktur, pertambangan dan property. Surat utang tersebut umumnya diterbitkan pada kurun waktu 2016-2019, sebelum perekonomian Indonesia dan global terimbas pandemic Covid-19.
Di awal penerbitan, surat utang tersebut umumnya mendapat rating investment grade, alias layak investasi dari sejumlah biro rating. Artinya, surat utang tersebut memiliki risiko yang terukur dengan imbal hasil yang menarik.
Namun, sangat memungkinkan, akibat badai Corona yang terjadi pada tahun lalu dan masih berlangsung hingga kini, membuat kondisi kinerja perusahaan tersebut bernasib serupa dengan yang terjadi pada SRIL, PBRX dan TDPM.
Menurut Head of Investment PT Reswara Gian Investa Kiswoyo Adi Joe, investor perlu meningkatkan kewaspadaannya terhadap surat utang korporasi, terutama yang sektor usahanya terdampak langsung Covid-19. Sebab, potensi gagal bayar surat utang oleh korporasi pada tahun ini berpotensi terus berlanjut.
Alasannya, pandemic yang terjadi sejak tahun lalu, telah menekan kinerja sebagian besar pelaku usaha. Hal itu tercermin dari tergerusnya keuntungan sebagian besar perusahaan pada kinerja 2020 yang berlangsung hingga kuartal pertama 2021.
“Tahun lalu, korporasi masih memiliki kemampuan membayar kewajiban, karena ditopang kinerja 2019, yang masih baik. Namun, tahun ini, kondisinya berbeda, karena rata-rata mengalami tekanan dampak Covid-19,” ujar Kiswoyo.
Di sisi lain, dia meminta regulator mengawasi manajemen korporasi yang gagal bayar kewajibannya dengan alasan terkena dampak covid-19. Sebab, tidak menutup kemungkinan adanya moral hazard yang dilakukan korporasi. Dalih terimbas Covid-19 bisa jadi dipakai sebagai kamuflase untuk menutupi ketidakmampuan manajemen dalam mengelola bisnisnya.
Bahkan, bisa saja, ada perusahaan yang memanfaatkan isu pandemi untuk meminjam dana publik tanpa berniat mengembalikannya, atau memberikan imbal hasil yang sangat rendah, dibawah bunga tabungan dan deposito.
Menurut Kiswoyo, manajemen seharusnya sudah mengambil langkah-langkah mitigasi dan antisipasi atas kewajibannya sejak berlangsungnya pandemi covid-19 tahun lalu.
“Jika dibiarkan, hal itu dapat menganggu iklim investasi dan pasar modal di Indonesia. Sebab, gagal bayar tersebut tentunya akan membuat saham emiten kena suspend. Dan jika jumlah emiten gagal bayar bertambah, bakal berdampak negative terhadap IHSG ,” tegasnya.
Hal senada juga dipaparkan Head of Investment Research Infovesta Utama Wawan Hendrayana, yang turut menghawatirkan potensi gagal bayar kewajiban korporasi di tahun ini. Sejumlah emiten di sektor jasa dan transportasi, menurutnya memiliki risiko kredit yang meningkat.
Dia menyarankan agar investor saham untuk bersikap wait and see, terutama kepada emiten yang mengalami gagal bayar kewajiban. Sebab, saham-saham emiten tersebut diperkirakan masih akan tertekan dalam jangka pendek.
(akr)