IPO Diyakini Perkuat Posisi Pertamina Internasional Shipping

Kamis, 20 Mei 2021 - 19:16 WIB
loading...
IPO Diyakini Perkuat...
IPO Pertamina International Shipping dinilai semakin memperkuat posisi subholding Pertamina tersebut di industri energi dan marine logistic. Foto/Ilustrasi
A A A
JAKARTA - Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tengah menyiapkan subholding PT Pertamina (Persero) di bidang marine dan logistics terintegrasi, PT Pertamina International Shipping (PIS) , untuk melakukan penawaran umum saham perdana (initial public offering/IPO) tahun ini.

Pakar Kemaritiman Institut Teknologi 10 November Surabaya Raja Oloan Saut Gurning menilai positif dukungan Kementerian BUMN atas rencana IPO tersebut. Aksi korporasi ini diyakininya semakin memperkuat posisi PIS di industri energi dan marine logistics di Tanah Air.



"Apalagi bisnis maritim secara prinsip adalah klaster bisnis yang mensyaratkan kondisi usaha dengan lingkungan yang terbuka dan global, termasuk dalam bisnis pelayaran khususnya usaha pelayaran minyak dan gas," paparnya melalui keterangan tertulis, Kamis (20/5/2021).

Dalam bisnis ini, jelas Saut, baik operator kapal, penyewa, unit manajemen kapal, awak kapal, galangan kapal dan manajemen kepemilikan kapal atau operasi pelayaran dapat dilakukan dengan berbagai pola yang melibatkan banyak pihak yang memiliki kompetensinya masing-masing. Menurutnya, usaha kolaborasi tersebut dalam banyak kasus empiris membawa tingkat efisiensi usaha dari jasa pelayaran itu termasuk jasa pelayaran migas.

Dengan demikian, rencana IPO PIS pada tahun ini menurutnya termasuk upaya untuk menjadikan biaya angkutan minyak mentah dan gas nasional menjadi lebih efisien. "Ini adalah pola praktis dan dilakukan banyak entitas global," jelasnya.

Sebelumnya, saat meresmikan subholding shipping awal Mei lalu, Menteri BUMN Erick Thohir mengungkapkan bahwa PIS diharapkan dapat meningkatkan kinerjanya dengan juga bertransformasi menjadi perusahaan yang mengintegrasikan kegiatan pelayaran dan logistik kelautan. Dengan demikian, PIS diharapkan bisa bersaing di kancah global sesuai dengan visinya.

Pada kesempatan yang sama, Wakil Menteri BUMN I Pahala N Mansury mengatakan bahwa dengan melakukan transformasi bisnis, valuasi PIS di pasar saham bisa meningkat dan mengerek nilai jualnya. Bahkan, Pahala berharap dengan transformasi dan diikuti aksi IPO ini, nilai perusahaan bisa meningkat hingga 10 kali lipat.

Saut menjelaskan, karena kepemilikan utama dari PIS adalah Pertamina atau secara tidak langsung adalah negara, maka logis jika opsi IPO tersebut sebesar-besarnya memberikan manfaat langsung bagi negara dan masyarakat Indonesia.

"Tidak hanya pengoperasian dan biaya logistik migas internasional kita yang jadi lebih murah, ada berbagai manfaat turunan lainnya, baik dampak tidak langsung kepada berbagai usaha terkait, pembukaan lapangan kerja, hingga pajak kepada negara," ujar Doktor bidang logistik maritim dari Australian Maritime College (AMC) Univ. of Tasmania, Australia itu.



Dia mengakui bahwa mendapatkan kombinasi keuntungan melalui efisiensi versus manfaat yang diharapkan memang tidak mudah. Pasalnya, industri maritim di Tanah Air lemah untuk orientasi luar negeri karena berbagai arus jasa bisnis maritim di dalam negeri faktanya tetap didominasi pemain asing.

Hal tersebut menurutnya kemungkinan karena fokus para pemain di industri maritim masih ke dalam negeri yang kuenya memang cukup besar, sehingga merasa lebih nyaman dengan pangsa pasar yang sudah pasti ini (captive-market). "Atau kemungkinan kita memang kurang membangun kekuatan untuk orientasi luar negeri itu. Termasuk untuk urusan pengangkutan impor migas," imbuhnya.

Padahal, kata dia, dengan kepemilikan kapal-kapal besar dalam jumlah banyak tentu akan mendukung dalam memenuhi skala ekonomi yang lebih efisien sehingga, ongkos angkut ekspor-impor minyak bisa lebih menguntungkan dan baik bagi ekonomi dalam negeri.

Saut memaparkan, tantangan dalam pengelolaan kapal-kapal besar adalah fasilitas galangan kapal yang harus memadai, kompetensi SDM berstandar internasional di bagian operator, perancang hingga manajemen yang memenuhi berbagai standar internasional. Begitu juga urusan komersialnya seperti pendanaan asuransi baik untuk kapal, kargo dan awak kapal. "Penyiapan dan kesiapan kita untuk berbagai faktor di atas memang masih belum lengkap dan cukup terlambat," katanya.

Saut juga mengungkapkan bahwa Indonesia baru saja masuk dalam kategori white-list dari grey-list Tokyo MOU yang menandakan kapal-kapal berbendera Indonesia yang diuji petik oleh sejumlah otoritas pelayaran di berbagai negara dianggap masih memenuhi syarat keselamatan. Fakta tersebut menuntut agar semua proses bisnis, aset serta sumber daya yang dimiliki harus memenuhi berbagai aturan internasional yang cukup banyak itu.

"Saya kira usaha membuat entitas PIS menjadi perusahaan publik tidak lain supaya lebih terawasi, serta mengejar pemenuhan aspek regulasi internasional lewat kolaborasi dengan berbagai entitas internasional saya pikir baik dan wajar. Mengapa? Karena ini sudah menjadi business practice di dunia pelayaran, termasuk pelayaran migas internasional," katanya.

Agar dapat memberikan manfaat lebih besar kepada industri, Saut menyarankan PIS memperkuat kompetensi SDM Indonesia, ikut mengembangan industri galangan kapal, komponen kapal, asuransi maritim, serta usaha utilitas kapal dan pelayaran lainnya di dalam negeri.



Upaya tersebut menurutnya perlu dilakukan untuk menggeser opsi ketersediaan layanan-layanan yang selama ini berasal dari luar negeri sehingga kebutuhan nasional bisa dipenuhi dari dalam negeri sendiri dengan tetap menjaga pemenuhan standar internasional. "Peta jalannya perlu dibuat dan punya target yang jelas," tandasnya.

Terkait ambisi PIS untuk menjawab tantangan menjadikan perseroan sebagai "Integrated Marine Logistics Company", Saut menilai bahwa Pertamina ingin membuat bisnisnya lebih efisien dengan menekan biaya operational. Mulai dari tahapan logistik migas (incremental-costs) seperti sisi hulu (lapangan migas, pengolahan/refinery) ke tahap midstream (tengah) yaitu terminal termasuk pengapalannya hingga ke down-stream (refinery penerima dalam negeri).

"Itu memang perlu dilakukan Pertamina. Apalagi dengan tugas harga minyak satu harga. Saya kira pilihannya memang salah satunya perlu ke opsi itu, yaitu pengendalian proses bisnis via unit usaha yang dapat mengontrol seluruh gerakan produk migas dari hulu ke sisi hilir," ujarnya.
(fai)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1983 seconds (0.1#10.140)