Ari Kuncoro, Rektor UI: Bank Lokal Harus Go Global
loading...
A
A
A
JAKARTA - Menteri BUMN Erick Thohir tengah gencar-gencarnya menyiapkan BUMN untuk berkancah di tingkat global atau go global . Salah satu sektor bisnis BUMN yang terus didorong berekspansi ke luar negeri adalah perbankan lewat BNI. Dalam dua tahun ke depan, BNI berencana membuka sejumlah kantor cabang di manca-negara seperti di Amsterdam, Frankfurt, Sidney, Timur Tengah, Shanghai atau Beijing.
Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) saat ini BNI tercatat memiliki setidaknya delapan kantor cabang luar negeri, yang tersebar mulai dari New York hingga Osaka Jepang. Itu belum termasuk jaringan ATM-nya.
Di awal-awal ekspansi bisnis BUMN sektor perbankan mungkin masih dianggap “membingungkan”. Pasalnya, daya tarik industri perbankan dalam negeri bisa dibilang lebih menarik. Agustinus Prasetyantoko, ekonom Atmajaya, beberapa tahun yang lalu pernah berujar bahwa laba yang diraih perbankan Indonesia menjadi yang tertinggi di ASEAN, bahkan juga dunia. Menurut Prasetyantoko, salah satu pendorong tingginya laba itu adalah tingkat net interest margin (NIM) perbankan nasional yang sangat tinggi.
Makanya, dulu sempat mencuat isu bahwa asas resiprokal perbankan yang diterapkan pemerintah Indonesia sebenarnya lebih ditujukan untuk menahan laju ekspansi bank asing masuk ke Tanah Air, ketimbang menuntut hak yang sama untuk berekspansi ke luar negeri. Bukan, apa-apa pasar industri perbankan di Indonesia masih terbilang besar, yang dilihat dari angka inklusi keuangan dan juga kebutuhan pendanaan.
Baca juga:Polri Temukan Profil Pembocor 279 Juta Data WNI di BPJS Kesehatan
Memang angka inklusi keuangan kita sudah mencapai 76,19%, namun belum tentu semua itu disumbang oleh perbankan. Kemajuan industri fintech yang sangat pesat turut menyumbangnya. Jadi peluang perbankan untuk melakukan penetrasi pasar masih terbilang besar. Dari sisi jumlah penyaluran kredit, data Bank Dunia memperlihatkan bahwa total kebutuhan kredit mencapai Rp1.649 triliun. Namun, kapasitas kredit baru sekitar Rp660 triliun sehingga masih ada gap sekitar Rp989 triliun.
Perlahan tapi pasti, terjadi perubahan pandangan akan pentingnya perbankan nasional berekpansi ke luar negeri. Bukan untuk menjaring nasabah atau menyalurkan kredit, tapi untuk yang lainnya.
“Jadi untuk membiayai supply chain produk dalam negeri di negara asing,” kata Ari Kuncoro, ekonom yang juga Rektor Universitas Indonesia, kepada Sindonews beberapa waktu lalu.
Masalah supply chain juga pernah diungkapkan Menteri Erick Thohir ketika mendorong BUMN untuk go global. Menurut Erick, BUMN yang go global BUMN bisa berpartisipasi memperbaiki supply chain yang ada di Indonesia, sehingga kita tak selamanya menjadi market belaka.
Ari Kuncoro kemudian membeberkan lebih jauh pentingnya ekspansi bank Indonesia ke luar negeri. Berikut petikan wawancaranya:
Bagaimana sebenarnya daya Tarik industri perbankan kita?
Bank asing masuk ke kita sebenarnya untuk membiayai supply chain mereka guna melakukan penetrasi prusahaannya di Indonesia. Nah kalau misalnya perusahaan tersebut kemudian mengekspor, seperti Toyota itu sangat oke. Banyak juga yang hanya memanfaatkan pasar kita. Nah dari pengalaman itu sebenarnya kita bisa melakukan hal yang sama untuk supply chain kita di negara mereka. Bank-bank Jepang sebenarnya masuk untuk membiayai operasi perusahaan-perusahaan Jepang di sini, termasuk memberikan dana murah agar barangnya bisa didiskon di situasi yang susah seperti saat ini.
Jadi jika bank Indonesia ekspansi ke luar negeri untuk membiayai supply chain?
Tentu, karena kalo saingan gak mungkin. Seperti saya punya kartu kredit dari bank asing, tapi saya gak pernah pakai, kecuali kalo lagi di luar negeri. Jadi untuk supply chain dan itu sangat menguntungkan. Untuk mempermudah transaksi keuangan ekspor impor supply chain itu. Jadi ekspor impor tidak begitu kelihatan karena menggunakan sesama bank mereka yang ada di sini dan luar negeri.
Saya pernah bertanya, kenapa bank-bank asing masuk, eh ternyata untuk supply chain. Termasuk, kalau kita mengekspor kita juga pakai bank asing karena network di sana luas, itu yang membuat kita kebobolan dari neraca current account. Kita berpikirnya, jangan costumer oriented tapi supply chain oriented. Nah kalau gak bisa nembus, kita beli saja bank yang megap-megap di sana, misal di Vietnam. Kalau masuk dengan cara itu mungkin tak diutak-utik otoritas di sana karena masih ada pemegang saham warga mereka.
Baca juga:Beijing pada NATO: Berhenti Membesar-besarkan Ancaman China
Bagaimana cara perbankan kita sukses berekspansi ke luar negeri?
Ini masalah kebiasaan. Ibaratnya, ada orang yang gak pernah seminar di luar negeri, tiba-tiba harus seminar di luar, dia kagok. Sama. Kalo di negara lain, dibantu sama kedutaannya. Jadi kedutaannya berfungsi sebagai agen penetrasi pasar, kalau kita mungkin belum sampai ke sana. Baru melakukan analisis. Itulah sebabnya, kalau bank-bank sendiri yang melakukan penetrasi menjadi terlalu mahal, karena gak tahu medan.
Selain itu ada lagi?
Jangan masuk di tempat yang gak ada orang Indonesianya. Justru masuk di tempat yang banyak TKI sepeti Korea, Malaysia, dll. Itu adalah basis yang diperlukan, karena bisa rugi kalau enggak ada itu. Misalnya saya punya bank, paling tidak dari transaksi pengiriman remitansi balik pokok. Sisanya baru masuk supply chain, Nah kalau sudah kuat baru masuk. Caranya? Perusahaan yang sedang repot kita bisa tawarkan pembiayaan. Setelah masuk dan tahu supply chainnya, pelan-pelan bisa dibawa masuk network ke Indonesia. Itu salah satu taktik yang dipakai bank-bank Himbara, mereka mencari industri yang sedang megap-megap di luar negeri. Cari tempat di luar negeri yang bank-nya sudah enggan menyalurka kredit ke sebuah industri. Itu cukup banyak juga. Misalnya, industri kerta di Kanada.
BNI punya cabang di London yang tak ada TKI?
Itu untuk memilih headquarter untuk bertransaksi di Eropa. London merupakan pusat transaksi finansial dunia. Intinya, kalau sampai masuk ke sana dan TKI-nya gak ada, berarti ada supply chain lain yang kita tidak tahu.
Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) saat ini BNI tercatat memiliki setidaknya delapan kantor cabang luar negeri, yang tersebar mulai dari New York hingga Osaka Jepang. Itu belum termasuk jaringan ATM-nya.
Di awal-awal ekspansi bisnis BUMN sektor perbankan mungkin masih dianggap “membingungkan”. Pasalnya, daya tarik industri perbankan dalam negeri bisa dibilang lebih menarik. Agustinus Prasetyantoko, ekonom Atmajaya, beberapa tahun yang lalu pernah berujar bahwa laba yang diraih perbankan Indonesia menjadi yang tertinggi di ASEAN, bahkan juga dunia. Menurut Prasetyantoko, salah satu pendorong tingginya laba itu adalah tingkat net interest margin (NIM) perbankan nasional yang sangat tinggi.
Makanya, dulu sempat mencuat isu bahwa asas resiprokal perbankan yang diterapkan pemerintah Indonesia sebenarnya lebih ditujukan untuk menahan laju ekspansi bank asing masuk ke Tanah Air, ketimbang menuntut hak yang sama untuk berekspansi ke luar negeri. Bukan, apa-apa pasar industri perbankan di Indonesia masih terbilang besar, yang dilihat dari angka inklusi keuangan dan juga kebutuhan pendanaan.
Baca juga:Polri Temukan Profil Pembocor 279 Juta Data WNI di BPJS Kesehatan
Memang angka inklusi keuangan kita sudah mencapai 76,19%, namun belum tentu semua itu disumbang oleh perbankan. Kemajuan industri fintech yang sangat pesat turut menyumbangnya. Jadi peluang perbankan untuk melakukan penetrasi pasar masih terbilang besar. Dari sisi jumlah penyaluran kredit, data Bank Dunia memperlihatkan bahwa total kebutuhan kredit mencapai Rp1.649 triliun. Namun, kapasitas kredit baru sekitar Rp660 triliun sehingga masih ada gap sekitar Rp989 triliun.
Perlahan tapi pasti, terjadi perubahan pandangan akan pentingnya perbankan nasional berekpansi ke luar negeri. Bukan untuk menjaring nasabah atau menyalurkan kredit, tapi untuk yang lainnya.
“Jadi untuk membiayai supply chain produk dalam negeri di negara asing,” kata Ari Kuncoro, ekonom yang juga Rektor Universitas Indonesia, kepada Sindonews beberapa waktu lalu.
Masalah supply chain juga pernah diungkapkan Menteri Erick Thohir ketika mendorong BUMN untuk go global. Menurut Erick, BUMN yang go global BUMN bisa berpartisipasi memperbaiki supply chain yang ada di Indonesia, sehingga kita tak selamanya menjadi market belaka.
Ari Kuncoro kemudian membeberkan lebih jauh pentingnya ekspansi bank Indonesia ke luar negeri. Berikut petikan wawancaranya:
Bagaimana sebenarnya daya Tarik industri perbankan kita?
Bank asing masuk ke kita sebenarnya untuk membiayai supply chain mereka guna melakukan penetrasi prusahaannya di Indonesia. Nah kalau misalnya perusahaan tersebut kemudian mengekspor, seperti Toyota itu sangat oke. Banyak juga yang hanya memanfaatkan pasar kita. Nah dari pengalaman itu sebenarnya kita bisa melakukan hal yang sama untuk supply chain kita di negara mereka. Bank-bank Jepang sebenarnya masuk untuk membiayai operasi perusahaan-perusahaan Jepang di sini, termasuk memberikan dana murah agar barangnya bisa didiskon di situasi yang susah seperti saat ini.
Jadi jika bank Indonesia ekspansi ke luar negeri untuk membiayai supply chain?
Tentu, karena kalo saingan gak mungkin. Seperti saya punya kartu kredit dari bank asing, tapi saya gak pernah pakai, kecuali kalo lagi di luar negeri. Jadi untuk supply chain dan itu sangat menguntungkan. Untuk mempermudah transaksi keuangan ekspor impor supply chain itu. Jadi ekspor impor tidak begitu kelihatan karena menggunakan sesama bank mereka yang ada di sini dan luar negeri.
Saya pernah bertanya, kenapa bank-bank asing masuk, eh ternyata untuk supply chain. Termasuk, kalau kita mengekspor kita juga pakai bank asing karena network di sana luas, itu yang membuat kita kebobolan dari neraca current account. Kita berpikirnya, jangan costumer oriented tapi supply chain oriented. Nah kalau gak bisa nembus, kita beli saja bank yang megap-megap di sana, misal di Vietnam. Kalau masuk dengan cara itu mungkin tak diutak-utik otoritas di sana karena masih ada pemegang saham warga mereka.
Baca juga:Beijing pada NATO: Berhenti Membesar-besarkan Ancaman China
Bagaimana cara perbankan kita sukses berekspansi ke luar negeri?
Ini masalah kebiasaan. Ibaratnya, ada orang yang gak pernah seminar di luar negeri, tiba-tiba harus seminar di luar, dia kagok. Sama. Kalo di negara lain, dibantu sama kedutaannya. Jadi kedutaannya berfungsi sebagai agen penetrasi pasar, kalau kita mungkin belum sampai ke sana. Baru melakukan analisis. Itulah sebabnya, kalau bank-bank sendiri yang melakukan penetrasi menjadi terlalu mahal, karena gak tahu medan.
Selain itu ada lagi?
Jangan masuk di tempat yang gak ada orang Indonesianya. Justru masuk di tempat yang banyak TKI sepeti Korea, Malaysia, dll. Itu adalah basis yang diperlukan, karena bisa rugi kalau enggak ada itu. Misalnya saya punya bank, paling tidak dari transaksi pengiriman remitansi balik pokok. Sisanya baru masuk supply chain, Nah kalau sudah kuat baru masuk. Caranya? Perusahaan yang sedang repot kita bisa tawarkan pembiayaan. Setelah masuk dan tahu supply chainnya, pelan-pelan bisa dibawa masuk network ke Indonesia. Itu salah satu taktik yang dipakai bank-bank Himbara, mereka mencari industri yang sedang megap-megap di luar negeri. Cari tempat di luar negeri yang bank-nya sudah enggan menyalurka kredit ke sebuah industri. Itu cukup banyak juga. Misalnya, industri kerta di Kanada.
BNI punya cabang di London yang tak ada TKI?
Itu untuk memilih headquarter untuk bertransaksi di Eropa. London merupakan pusat transaksi finansial dunia. Intinya, kalau sampai masuk ke sana dan TKI-nya gak ada, berarti ada supply chain lain yang kita tidak tahu.
(uka)