Diterjang Pandemi, Pelaku UMKM Vape Sulit 'Ngebul'
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pandemi Covid-19 dan pemberlakukan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) semakin menekan industri hasil produk tembakau lainnya (HPTL) atau industri vape . Selama ini, industri HPTL telah menanggung beban pungutan cukai yang cukup tinggi.
Ketua Asosiasi Penghantar Nikotin Elektrik (Apnnindo) Roy Lefrans mengatakan, di saat pandemi dan PPKM, industri HPTL menjadi salah satu industri yang paling terpukul bisnisnya. Sebab, selain beban tarif cukai yang tinggi, juga terkena dampak penurunan daya beli.
“Jadi industri HPTL ini menanggung beban ganda. Tarif cukai yang tinggi, ditambah tren penurunan penjualan akibat pandemi. Tanpa ada PPKM pun sebenarnya penjualan sudah menurun karena daya beli masyarakat menurun,” kata Roy, dikutip Senin (2/8/2021).
Ia menjelaskan, akibat pandemi, saat ini banyak toko-toko pengecer HPTL yang gulung tikar akibatnya berkurangnya kunjungan konsumen. Meski tak menyebut angka pastinya, namun Roy mengatakan jumlah peritel HPTL yang gulung tikar cukup signifikan, sehingga berdampak langsung kepada penyerapan tenaga kerja. Sementara beberapa pelaku lain mencoba mencari selamat dengan mengalihkan fokus penjualan secara daring.
Baca juga:Ganda Putri Bulutangkis Indonesia Bawa Pulang Medali Emas, Gading Marten: Terima Kasih Pahlawanku!
Lantaran masih baru pula, industri HPTL masih ditopang oleh pelaku usaha skala UMKM yang pertumbuhannya masih sangat terbatas. Saat ini yang menjadi fokus industri HPTL adalah mempertahankan keberlangsungan industri tanpa perlu melakukan pengurangan pekerja.
“Saat ini kami sudah tidak bicara meningkatkan omzet, atau keuntungan. Fokus kami saat ini bisa bertahan di masa pandemi. Objektifnya bukan lagi soal profit, namun cara untuk survive, tetap produksi, kemudian tidak mengurangi karyawan,” ujar Roy.
Tidak hanya pengecer, tekanan serupa juga dialami seluruh lini industri HPTL mulai dari hulu sampai hilir. Tutupnya toko-toko pengecer HPTL membuat tujuan distribusi berkurang sehingga distributor juga mulai mengurangi pasokan barang. Hal ini kemudian memaksa produsen mau tidak mau harus mengurangi produksi.
Melansir keterangan dari Kementerian Perindustrian, meski relatif baru, pertumbuhan industri HPTL sejatinya terjadi cukup signifikan. Tahun lalu diperkirakan ada lebih dari 50.000 pekerja yang diserap industri ini. Lebih lanjut ada sekitar 500 produsen, 150 distributor atau importir, dan 5.000 lebih pengecer.
“Namanya industri, kalau satu lininya bermasalah pasti akan berdampak kepada lini lainnya. Toko ritel tutup, distributor berkurang sehingga yang mengambil barang dari produsen juga berkurang. Pada akhirnya produsen juga akan mengurangi produksi, atau yang sudah terlanjur harus menanggung kerugian,” jelas Roy.
Ketua Asosiasi Penghantar Nikotin Elektrik (Apnnindo) Roy Lefrans mengatakan, di saat pandemi dan PPKM, industri HPTL menjadi salah satu industri yang paling terpukul bisnisnya. Sebab, selain beban tarif cukai yang tinggi, juga terkena dampak penurunan daya beli.
“Jadi industri HPTL ini menanggung beban ganda. Tarif cukai yang tinggi, ditambah tren penurunan penjualan akibat pandemi. Tanpa ada PPKM pun sebenarnya penjualan sudah menurun karena daya beli masyarakat menurun,” kata Roy, dikutip Senin (2/8/2021).
Ia menjelaskan, akibat pandemi, saat ini banyak toko-toko pengecer HPTL yang gulung tikar akibatnya berkurangnya kunjungan konsumen. Meski tak menyebut angka pastinya, namun Roy mengatakan jumlah peritel HPTL yang gulung tikar cukup signifikan, sehingga berdampak langsung kepada penyerapan tenaga kerja. Sementara beberapa pelaku lain mencoba mencari selamat dengan mengalihkan fokus penjualan secara daring.
Baca juga:Ganda Putri Bulutangkis Indonesia Bawa Pulang Medali Emas, Gading Marten: Terima Kasih Pahlawanku!
Lantaran masih baru pula, industri HPTL masih ditopang oleh pelaku usaha skala UMKM yang pertumbuhannya masih sangat terbatas. Saat ini yang menjadi fokus industri HPTL adalah mempertahankan keberlangsungan industri tanpa perlu melakukan pengurangan pekerja.
“Saat ini kami sudah tidak bicara meningkatkan omzet, atau keuntungan. Fokus kami saat ini bisa bertahan di masa pandemi. Objektifnya bukan lagi soal profit, namun cara untuk survive, tetap produksi, kemudian tidak mengurangi karyawan,” ujar Roy.
Tidak hanya pengecer, tekanan serupa juga dialami seluruh lini industri HPTL mulai dari hulu sampai hilir. Tutupnya toko-toko pengecer HPTL membuat tujuan distribusi berkurang sehingga distributor juga mulai mengurangi pasokan barang. Hal ini kemudian memaksa produsen mau tidak mau harus mengurangi produksi.
Melansir keterangan dari Kementerian Perindustrian, meski relatif baru, pertumbuhan industri HPTL sejatinya terjadi cukup signifikan. Tahun lalu diperkirakan ada lebih dari 50.000 pekerja yang diserap industri ini. Lebih lanjut ada sekitar 500 produsen, 150 distributor atau importir, dan 5.000 lebih pengecer.
“Namanya industri, kalau satu lininya bermasalah pasti akan berdampak kepada lini lainnya. Toko ritel tutup, distributor berkurang sehingga yang mengambil barang dari produsen juga berkurang. Pada akhirnya produsen juga akan mengurangi produksi, atau yang sudah terlanjur harus menanggung kerugian,” jelas Roy.