Beri Selamat ke PHR, Pengamat Ini Juga Ungkap Tantangan Kelola Blok Rokan
loading...
A
A
A
JAKARTA - Proses peralihan Blok Rokan dari Chevron Pacific Indonesia (CPI) ke Pertamina Hulu Rokan (PHR) tinggal hitungan jam. Mulai Senin (9/8/2021) pukul 00.01, PHR secara resmi akan menjadi operator blok migas legendaris tersebut.
Blok Rokan pernah menjadi blok penghasil minyak terbesar di Indonesia. Lapangan Duri yang ditemukan tahun 1941 pernah menjadi lapangan terbesar di Asia Tenggara. Lapangan Minas, yang ditemukan tahun 1944 menggantikan posisi Lapangan Duri menjadi lapangan migas terbesar di Asia Tenggara saat di temukan. Puncak kejayaan Blok Rokan adalah saat memproduksikan 1 juta barel minyak per hari pada 17 Mei 1973.
"Dengan latar belakang tersebut, jelas menjadi tantangan tersendiri bagi PHR untuk dapat kembali mengulang sukses dari blok tersebut. Bukan hal mudah untuk mengulangi capaian-capaian tersebut mengingat kondisi lapangan-lapangan di Blok Rokan kini sudah mengalami penurunan produksi yang cukup tinggi karena usianya yang sudah cukup tua," ungkap Direktur Executive Energy Watch Mamit Setiawan, Minggu (8/8/2021).
Namun, imbuh dia, Blok Rokan juga masih mempunyai potensi besar. Tercatat, ada 100-an lapangan di Blok Rokan seperti Bekasap, Jambon, Batang, Sintong, dan lain-lain yang potensial. "Tinggal bagaimana PHR bisa berinovasi, berakselerasi dan pastinya mengeksekusi semua peluang yang ada untuk mempertahankan atau meningkatan produksi minyak di Blok Rokan," kata Mamit.
Kendati begitu, Mamit mengakui bahwa tantangan untuk mengulang cerita sukses Blok Rokan bukan perkara mudah. Butuh dukungan dan konsolidasi semua pihak untuk mengulang kembali capaian tersebut. Menurut dia, persoalan teknis hingga nonteknis harus dihadapi PHR dalam menjalankan operasi di Blok Rokan.
Dari sisi teknis, kata dia, adalah bagaimana produksi minyak bisa terus terjaga dan bahkan cenderung meningkat pasca-alih kelola. Untuk persoalan ini Mamit yakin PHR dengan hampir seluruh pegawainya adalah eks-karyawan CPI akan tetap bisa menjaga produksi. Para pekerja PHR eks-CPI menurutnya juga akan lebih termotivasi untuk meningkatkan kinerja karena kini bekerja langsung untuk Indonesia.
Kemudian, program pengeboran dan WOWS kembali di optimalkan pasca kurangnya kegiatan tersebut semenjak kontrak CPI tidak diperpanjang oleh Pemerintah. Teknologi EOR yang sempat menjadi isu terkait dengan formula dan bahan kimianya menurut Mamit seharusnya bisa di selesaikan saat ini sehingga tidak akan menggangu produksi.
Lalu, penyerahan data-data teknis dari CPI ke PHR harusnya juga berjalan dengan baik dan berlangsung dengan transparan agar PHR bisa menindaklanjuti semua hal teknis demi terwujudnya peningkatan produksi Blok Rokan. Persoalan transisi teknis sepertinya berjalan dengan cukup baik dan lancar, termasuk soal listrik dan steam yang tidak ada kendala lagi.
Menurut dia, persoalan non teknis yang sepertinya akan lebih banyak mempengaruhi dalam pengelolaan Blok Rokan oleh PHR. Untuk tetap menjaga atau bahkan meningkatkan produksi Blok Rokan ini membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Sesuai dengan komitmen yang diberikan saat lelang Blok Rokan, Pertamina mempunyai komitmen kerja pasti sebesar USD500 juta (sekitar Rp7 triliun) untuk masa kontrak 20 tahun ke depan.
"Itu nilai yang tidak sedikit setelah Pertamina harus membayar signature bonus sebesar USD780 juta kepada Pemerintah," imbuhnya.
Untuk itu, lanjut Mamit, sesuai permintaan Pemerintah, Pertamina harus mencari mitra dalam mengelola Blok Rokan. "Hemat saya, PHR harus mencari mitra yang mempunyai pengalaman dalam mengelola bisnis hulu migas dan pasti harus mempunyai dana yang mampu menopang kinerja PHR ke depannya. Jangan sampai karena tekanan tertentu, partner yang dipilih tidak mempunyai kemampuan ke duanya atau hanya mempunyai satu kemampuan saja," cetusnya.
Mamit menegaskan, Pertamina harus memilih mitra yang bisa berdiskusi secara teknis dalam meningkatkan operasional Blok Rokan dan tidak hanya melulu bicara sisi keuangan. "Prinsip berbagi risiko betul-betul dijalankan dari sisi teknis dan juga keuangan," tandasnya.
Mamit menilai isu sosial juga masih akan membayangi operasional Blok Rokan ke depannya. Pemda Riau sebagai pemegang participating interest (PI) 10% sesuai dengan KepMen ESDM 1923/2018 harus membantu PHR dalam mengelola isu sosial yang dihadapi oleh PHR ke depannya. "Jangan sampai akan kontraproduktif terhadap kinerja PHR dalam mencapai target produksi yang ditetapkan," tuturnya.
Selain itu, Mamit berharap BUMD mampu memainkan peran mereka dalam menciptakan dan menumbuhkembangkan perekonomian masyarakat sekitar sehingga kehadiran dari pemda melalui BUMD di PHR bisa dirasakan secara langsung dan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan masyarakat.
Lebih lanjut dia mengatakan, mengingat kontrak PHR saat ini menggunakan skema PSC Gross Split, maka PHR harus bener-benar efisien, efektif dan handal dalam membuat dan menjalankan program di Blok Rokan mengingat risiko besar di tangan PHR sendiri. Kehandalan dalam menjaga dan meningkatkan produksi harus di barengi dengan komiten menjaga dan meningkatkan faktor HSSE oleh PHR.
"Kita tahu, bahwa isu pencemaran lingkungan ini menjadi sesuatu yang menarik untuk di cermati oleh pihak lain. Efisensi yang dilakukan jangan sampai mengorbankan faktor HSSE," tandasnya.
Meski dengan permasalahan-permasalahan tersebut, Mamit tetap yakin dan percaya PHR siap untuk mengelola Blok Rokan. "Di bawah komando Dirut PHR saat ini, Jaffee Suardin dan dengan dukungan dari Sub Holding Upstream, SKK Migas, Kementerian ESDM, Pemda Riau dan stakeholder lainnya, cerita manis Blok Rokan kita harapkan tercipta kembali dalam guratan tulisan yang diciptakan oleh Pertamina Hulu Rokan," pungkasnya.
Blok Rokan pernah menjadi blok penghasil minyak terbesar di Indonesia. Lapangan Duri yang ditemukan tahun 1941 pernah menjadi lapangan terbesar di Asia Tenggara. Lapangan Minas, yang ditemukan tahun 1944 menggantikan posisi Lapangan Duri menjadi lapangan migas terbesar di Asia Tenggara saat di temukan. Puncak kejayaan Blok Rokan adalah saat memproduksikan 1 juta barel minyak per hari pada 17 Mei 1973.
"Dengan latar belakang tersebut, jelas menjadi tantangan tersendiri bagi PHR untuk dapat kembali mengulang sukses dari blok tersebut. Bukan hal mudah untuk mengulangi capaian-capaian tersebut mengingat kondisi lapangan-lapangan di Blok Rokan kini sudah mengalami penurunan produksi yang cukup tinggi karena usianya yang sudah cukup tua," ungkap Direktur Executive Energy Watch Mamit Setiawan, Minggu (8/8/2021).
Namun, imbuh dia, Blok Rokan juga masih mempunyai potensi besar. Tercatat, ada 100-an lapangan di Blok Rokan seperti Bekasap, Jambon, Batang, Sintong, dan lain-lain yang potensial. "Tinggal bagaimana PHR bisa berinovasi, berakselerasi dan pastinya mengeksekusi semua peluang yang ada untuk mempertahankan atau meningkatan produksi minyak di Blok Rokan," kata Mamit.
Kendati begitu, Mamit mengakui bahwa tantangan untuk mengulang cerita sukses Blok Rokan bukan perkara mudah. Butuh dukungan dan konsolidasi semua pihak untuk mengulang kembali capaian tersebut. Menurut dia, persoalan teknis hingga nonteknis harus dihadapi PHR dalam menjalankan operasi di Blok Rokan.
Dari sisi teknis, kata dia, adalah bagaimana produksi minyak bisa terus terjaga dan bahkan cenderung meningkat pasca-alih kelola. Untuk persoalan ini Mamit yakin PHR dengan hampir seluruh pegawainya adalah eks-karyawan CPI akan tetap bisa menjaga produksi. Para pekerja PHR eks-CPI menurutnya juga akan lebih termotivasi untuk meningkatkan kinerja karena kini bekerja langsung untuk Indonesia.
Kemudian, program pengeboran dan WOWS kembali di optimalkan pasca kurangnya kegiatan tersebut semenjak kontrak CPI tidak diperpanjang oleh Pemerintah. Teknologi EOR yang sempat menjadi isu terkait dengan formula dan bahan kimianya menurut Mamit seharusnya bisa di selesaikan saat ini sehingga tidak akan menggangu produksi.
Lalu, penyerahan data-data teknis dari CPI ke PHR harusnya juga berjalan dengan baik dan berlangsung dengan transparan agar PHR bisa menindaklanjuti semua hal teknis demi terwujudnya peningkatan produksi Blok Rokan. Persoalan transisi teknis sepertinya berjalan dengan cukup baik dan lancar, termasuk soal listrik dan steam yang tidak ada kendala lagi.
Menurut dia, persoalan non teknis yang sepertinya akan lebih banyak mempengaruhi dalam pengelolaan Blok Rokan oleh PHR. Untuk tetap menjaga atau bahkan meningkatkan produksi Blok Rokan ini membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Sesuai dengan komitmen yang diberikan saat lelang Blok Rokan, Pertamina mempunyai komitmen kerja pasti sebesar USD500 juta (sekitar Rp7 triliun) untuk masa kontrak 20 tahun ke depan.
"Itu nilai yang tidak sedikit setelah Pertamina harus membayar signature bonus sebesar USD780 juta kepada Pemerintah," imbuhnya.
Untuk itu, lanjut Mamit, sesuai permintaan Pemerintah, Pertamina harus mencari mitra dalam mengelola Blok Rokan. "Hemat saya, PHR harus mencari mitra yang mempunyai pengalaman dalam mengelola bisnis hulu migas dan pasti harus mempunyai dana yang mampu menopang kinerja PHR ke depannya. Jangan sampai karena tekanan tertentu, partner yang dipilih tidak mempunyai kemampuan ke duanya atau hanya mempunyai satu kemampuan saja," cetusnya.
Mamit menegaskan, Pertamina harus memilih mitra yang bisa berdiskusi secara teknis dalam meningkatkan operasional Blok Rokan dan tidak hanya melulu bicara sisi keuangan. "Prinsip berbagi risiko betul-betul dijalankan dari sisi teknis dan juga keuangan," tandasnya.
Mamit menilai isu sosial juga masih akan membayangi operasional Blok Rokan ke depannya. Pemda Riau sebagai pemegang participating interest (PI) 10% sesuai dengan KepMen ESDM 1923/2018 harus membantu PHR dalam mengelola isu sosial yang dihadapi oleh PHR ke depannya. "Jangan sampai akan kontraproduktif terhadap kinerja PHR dalam mencapai target produksi yang ditetapkan," tuturnya.
Selain itu, Mamit berharap BUMD mampu memainkan peran mereka dalam menciptakan dan menumbuhkembangkan perekonomian masyarakat sekitar sehingga kehadiran dari pemda melalui BUMD di PHR bisa dirasakan secara langsung dan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan masyarakat.
Lebih lanjut dia mengatakan, mengingat kontrak PHR saat ini menggunakan skema PSC Gross Split, maka PHR harus bener-benar efisien, efektif dan handal dalam membuat dan menjalankan program di Blok Rokan mengingat risiko besar di tangan PHR sendiri. Kehandalan dalam menjaga dan meningkatkan produksi harus di barengi dengan komiten menjaga dan meningkatkan faktor HSSE oleh PHR.
"Kita tahu, bahwa isu pencemaran lingkungan ini menjadi sesuatu yang menarik untuk di cermati oleh pihak lain. Efisensi yang dilakukan jangan sampai mengorbankan faktor HSSE," tandasnya.
Meski dengan permasalahan-permasalahan tersebut, Mamit tetap yakin dan percaya PHR siap untuk mengelola Blok Rokan. "Di bawah komando Dirut PHR saat ini, Jaffee Suardin dan dengan dukungan dari Sub Holding Upstream, SKK Migas, Kementerian ESDM, Pemda Riau dan stakeholder lainnya, cerita manis Blok Rokan kita harapkan tercipta kembali dalam guratan tulisan yang diciptakan oleh Pertamina Hulu Rokan," pungkasnya.
(fai)