Sejarah Pasar Modal Indonesia: Pernah Vakum Sebab Perang Dunia
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pasar Modal Indonesia genap berusia ke-44 tahun pada 10 Agustus 2021. Pada 1977 di tanggal yang sama merupakan awal pasar modal mulai diaktifkan kembali setelah sekian lama vakum diterpa isu dan konflik politik.
Menelusuri berbagai sumber, Selasa (10/8), MNC Portal menemukan sejumlah fakta historis bahwa ternyata kegiatan jual-beli saham telah ada sejak zaman Hindia Belanda. Menurut buku "Effectengids" yang dikeluarkan Vereniging voor den Effectenhandel pada 1939, kegiatan transaksi efek telah berlangsung sejak 1880, lebih dari setengah abad sejak bubarnya kongsi dagang VOC pada 1799.
Namun, aktivitas perdagangan efek saat itu dilakukan tanpa organisasi resmi, yang menyebabkan minimnya arsip pencatatan. Beberapa sumber lain menyebut bahwa pada 1878, telah terbentuk perusahaan perdagangan efek 'Dunlop & Koff'.
Hampir setengah abad berjalan, pada 14 Desember 1912, lembaga bursa efek dibentuk pertama kali di Batavia dengan nama Vereniging voor de Effectenhandel atau Asosiasi Perdagangan Efek. Pembentukan ini dilakukan setelah pemerintah Hindia Belanda menerapkan kebijakan 'Politik Etis' pada 1901.
Baca juga:Terbang ke Paris, Lionel Messi Sepakat Gabung PSG dengan Gaji Rp591 Miliar
Asosiasi efek ini menjualbelikan saham dan obligasi sejumlah perusahaan, sejalan dengan maraknya industri perkebunan saat itu. Pemerintah Hindia Belanda meyakini dengan adanya asosiasi tersebut, proses pembangunan bisa berjalan dengan baik. Mayoritas investor berasal dari orang-orang Belanda dan Eropa yang memiliki penghasilan di atas rata-rata.
Namun, pecahnya Perang Dunia ke-I membuat aktivitas perdagangan saham dihentikan pada 1914-1918. Pada 1925, perdagangan efek di Jakarta, Semarang, dan Surabaya dibuka kembali menyusul situasi yang mereda.
Lebih dari satu dekade berselang, pada 1939, meletuslah Perang Dunia ke-II, ketika negara-negara di Eropa menyatakan perang dengan pasukan Nazi Jerman. Konflik ini membuat perdagangan bursa di Semarang dan Surabaya ditutup.
Sedangkan transaksi bursa di Jakarta baru ditutup pada 1942 saat pasukan Jepang--aliansi poros, musuh dari sekutu--mulai merangsek masuk ke Tanah Air. Penutupan ini berlangsung cukup lama hingga Indonesia merdeka pada 1945. Di tengah konflik ideologis 'Kapitalisme vs Komunisme' yang terjadi dalam Perang Dingin membuat perdagangan efek tidak terpantau.
Memasuki 1956, gejolak 'nasionalisasi' perusahaan-perusahaan asing merebak di Bumi Pertiwi. Perebutan perusahaan Belanda oleh rakyat Indonesia membuat aktivitas perdagangan bursa semakin tidak aktif dan tidak laku. Hingga 1956 sampai lengsernya Presiden Soekarno pada 1967, MNC Portal belum menemukan catatan yang menunjukkan aktivitas perdagangan bursa.
Baca juga:Gelar Vaksinasi Gratis di Bekasi, Politisi PAN Ingatkan Prokes Harga Mati
Satu dekade berselang, pada masa Kabinet Pembangunan 2, Bursa Efek diresmikan kembali oleh Presiden Soeharto. Bursa dijalankan dibawah BAPEPAM (Badan Pelaksana Pasar Modal).
Pengaktifan kembali pasar modal ini juga ditandai dengan go publicnya PT Semen Cibinong sebagai emiten pertama yang tercatat. Namun saat itu, perdagangan Bursa Efek sangat lesu. Jumlah emiten hingga 1987 baru mencapai 24.
Di sisi lain, pengaktifan kembali bursa pasar modal ini membantu peningkatan ekonomi Indonesia. Ini terlihat dari laporan pembangunan lima tahun (Pelita) II yang berhasil meningkatkan pertumbuhan ekonomi rata-rata penduduk sebesar 7% setahun.
Sekelumit catatan sejarah sebelum 1977 merupakan milestone bagi perkembangan perdagangan pasar modal di Indonesia. Kini, di usianya yang ke-44 tahun, pasar modal Indonesia terus menunjukkan perubahan.
Pada Selasa (10/8/2021), Direktur Utama Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) Uriep Budhi Prasetyo, mengungkapkan bahwa selama 2021, pasar modal Indonesia memfasilitasi pencatatan 28 perusahaan terbaru. Sehingga total perusahaan yang tercatat di bursa menjadi 740 perusahaan.
Uriep menyebut bahwa pencapaian ini merupakan kinerja tertinggi se-ASEAN selama 4 tahun terakhir berturut-turut.
Menelusuri berbagai sumber, Selasa (10/8), MNC Portal menemukan sejumlah fakta historis bahwa ternyata kegiatan jual-beli saham telah ada sejak zaman Hindia Belanda. Menurut buku "Effectengids" yang dikeluarkan Vereniging voor den Effectenhandel pada 1939, kegiatan transaksi efek telah berlangsung sejak 1880, lebih dari setengah abad sejak bubarnya kongsi dagang VOC pada 1799.
Namun, aktivitas perdagangan efek saat itu dilakukan tanpa organisasi resmi, yang menyebabkan minimnya arsip pencatatan. Beberapa sumber lain menyebut bahwa pada 1878, telah terbentuk perusahaan perdagangan efek 'Dunlop & Koff'.
Hampir setengah abad berjalan, pada 14 Desember 1912, lembaga bursa efek dibentuk pertama kali di Batavia dengan nama Vereniging voor de Effectenhandel atau Asosiasi Perdagangan Efek. Pembentukan ini dilakukan setelah pemerintah Hindia Belanda menerapkan kebijakan 'Politik Etis' pada 1901.
Baca juga:Terbang ke Paris, Lionel Messi Sepakat Gabung PSG dengan Gaji Rp591 Miliar
Asosiasi efek ini menjualbelikan saham dan obligasi sejumlah perusahaan, sejalan dengan maraknya industri perkebunan saat itu. Pemerintah Hindia Belanda meyakini dengan adanya asosiasi tersebut, proses pembangunan bisa berjalan dengan baik. Mayoritas investor berasal dari orang-orang Belanda dan Eropa yang memiliki penghasilan di atas rata-rata.
Namun, pecahnya Perang Dunia ke-I membuat aktivitas perdagangan saham dihentikan pada 1914-1918. Pada 1925, perdagangan efek di Jakarta, Semarang, dan Surabaya dibuka kembali menyusul situasi yang mereda.
Lebih dari satu dekade berselang, pada 1939, meletuslah Perang Dunia ke-II, ketika negara-negara di Eropa menyatakan perang dengan pasukan Nazi Jerman. Konflik ini membuat perdagangan bursa di Semarang dan Surabaya ditutup.
Sedangkan transaksi bursa di Jakarta baru ditutup pada 1942 saat pasukan Jepang--aliansi poros, musuh dari sekutu--mulai merangsek masuk ke Tanah Air. Penutupan ini berlangsung cukup lama hingga Indonesia merdeka pada 1945. Di tengah konflik ideologis 'Kapitalisme vs Komunisme' yang terjadi dalam Perang Dingin membuat perdagangan efek tidak terpantau.
Memasuki 1956, gejolak 'nasionalisasi' perusahaan-perusahaan asing merebak di Bumi Pertiwi. Perebutan perusahaan Belanda oleh rakyat Indonesia membuat aktivitas perdagangan bursa semakin tidak aktif dan tidak laku. Hingga 1956 sampai lengsernya Presiden Soekarno pada 1967, MNC Portal belum menemukan catatan yang menunjukkan aktivitas perdagangan bursa.
Baca juga:Gelar Vaksinasi Gratis di Bekasi, Politisi PAN Ingatkan Prokes Harga Mati
Satu dekade berselang, pada masa Kabinet Pembangunan 2, Bursa Efek diresmikan kembali oleh Presiden Soeharto. Bursa dijalankan dibawah BAPEPAM (Badan Pelaksana Pasar Modal).
Pengaktifan kembali pasar modal ini juga ditandai dengan go publicnya PT Semen Cibinong sebagai emiten pertama yang tercatat. Namun saat itu, perdagangan Bursa Efek sangat lesu. Jumlah emiten hingga 1987 baru mencapai 24.
Di sisi lain, pengaktifan kembali bursa pasar modal ini membantu peningkatan ekonomi Indonesia. Ini terlihat dari laporan pembangunan lima tahun (Pelita) II yang berhasil meningkatkan pertumbuhan ekonomi rata-rata penduduk sebesar 7% setahun.
Sekelumit catatan sejarah sebelum 1977 merupakan milestone bagi perkembangan perdagangan pasar modal di Indonesia. Kini, di usianya yang ke-44 tahun, pasar modal Indonesia terus menunjukkan perubahan.
Pada Selasa (10/8/2021), Direktur Utama Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) Uriep Budhi Prasetyo, mengungkapkan bahwa selama 2021, pasar modal Indonesia memfasilitasi pencatatan 28 perusahaan terbaru. Sehingga total perusahaan yang tercatat di bursa menjadi 740 perusahaan.
Uriep menyebut bahwa pencapaian ini merupakan kinerja tertinggi se-ASEAN selama 4 tahun terakhir berturut-turut.
(uka)