Harga BBM Non-PSO Pertamina Tak Berubah, Pengamat Ini Ingatkan Risikonya
loading...
A
A
A
JAKARTA - Harga minyak dunia masih terus menunjukkan tren kenaikan. Jika pada sekitaran Agustus 2020 harga minyak masih di kisaran USD42-45 per barel, maka kini nilainya sudah melonjak hingga mencapai USD70-an per barel.
Harga minyak mentah Indonesia (Indonesian Crude Price/ICP) misalnya, pada Juli 2021 rata-rata mencapai USD72,17 per barel, naik USD 1,94 per barel dari USD 70,23 per barel pada Juni 2021. Kemudian, harga minyak Brent, pada perdagangan pagi hari tadi bertengger di USD68,75 per barel. Demikian minyak mentah berjangka West Texas Intermediate (WTI) untuk kontrak pengiriman Oktober yang kini naik ke USD65,64 per barel.
Mengikuti kenaikan tersebut, sejak awal tahun 2021, penyalur bahan bakar minyak (BBM) swasta seperti Shell, BP, Vivo telah merevisi harga jual BBM Public Service Obligation (PSO) alias BBM non-subsidi yang dijualnya. Namun, tidak demikian dengan BBM non-PSO Pertamina yang disalurkan PT Pertamina Patra Niaga, Subholding Commercial & Trading PT Pertamina (Persero). Hingga saat ini harga BBM non-PSO Pertamina belum dikoreksi.
Hal ini menjadi sorotan Direktur Pusat Kebijakan Publik (Puskepi), Sofyano Zakaria. Dia menilai, seharusnya Pertamina sudah lama menaikkan harga BBM non-subsidi yang dijualnya. "BBM seperti Pertalite, Pertamax Series bukanlah merupakan BBM PSO. Jika koreksi harga tidak segera dilakukan, dikhawatirkan Pertamina akan merugi," ujarnya di Jakarta, Selasa (24/8/2021).
Berdasarkan aturan, kata dia, harga BBM non-PSO produk Pertamina seharusnya selalu dikoreksi naik atau turun berdasarkan harga minyak dunia. "Ini sama hal nya dengan harga BBM non-PSO Jenis HSD yang selama ini dijual ke industri dan marines yang dijual Pertamina dan badan badan usaha niaga umum lainnya yang harganya dikoreksi setiap tanggal 1 dan 15 pada setiap bulan," paparnya.
Di sisi lain, tambah dia, Presiden Jokowi telah menerbitkan aturan baru soal harga eceran hingga pendistribusian BBM. Aturan yang tertuang dalam Perpres No 69/2021 tentang Perubahan Kedua atas Perpres No 191/2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Harga Jual Eceran BBM ini memungkinkan dilakukannya penyesuaian harga BBM mengikuti perkembangan harga minyak dunia. "Tapi lagi-lagi, terbitnya aturan ini tidak serta merta membuat pemerintah merestui kenaikan harga BBM Pertamina," tandasnya.
Menurut Sofyano, pemerintah melalui Kementerian ESDM seharusnya konsisten mengawasi dan bahkan menegur, jika ternyata ada badan usaha yang berbisnis BBM non-PSO yang tidak mengoreksi harga jualnya secara berkala. Karena itu, Sofyano menilai aneh jika ketika harga minyak dunia sudah lama naik, namun harga BBM non-PSO Pertamina tak kunjung berubah. Sementara, pihak swasta sudah lama menaikkan harga BBM-nya sesuai harga minyak dunia.
Sofyano mengingatkan, jika Pertamina tak juga mengoreksi harga jual BBM non-PSO-nya, maka kinerja keuangan perusahaan akan terganggu. Hal itu bisa menjadi beban berat, mengingat penyediaan dan penjualan BBM nasional sepenuhnya menjadi beban dan tanggung jawab BUMN tersebut. "Jika sampai rugi besar karena tak bisa mengoreksi harga jual BBM-nya, ini secara tak langsung juga akan mengancam kelancaran distribusi BBM dalam negeri," tandasnya.
Harga minyak mentah Indonesia (Indonesian Crude Price/ICP) misalnya, pada Juli 2021 rata-rata mencapai USD72,17 per barel, naik USD 1,94 per barel dari USD 70,23 per barel pada Juni 2021. Kemudian, harga minyak Brent, pada perdagangan pagi hari tadi bertengger di USD68,75 per barel. Demikian minyak mentah berjangka West Texas Intermediate (WTI) untuk kontrak pengiriman Oktober yang kini naik ke USD65,64 per barel.
Mengikuti kenaikan tersebut, sejak awal tahun 2021, penyalur bahan bakar minyak (BBM) swasta seperti Shell, BP, Vivo telah merevisi harga jual BBM Public Service Obligation (PSO) alias BBM non-subsidi yang dijualnya. Namun, tidak demikian dengan BBM non-PSO Pertamina yang disalurkan PT Pertamina Patra Niaga, Subholding Commercial & Trading PT Pertamina (Persero). Hingga saat ini harga BBM non-PSO Pertamina belum dikoreksi.
Hal ini menjadi sorotan Direktur Pusat Kebijakan Publik (Puskepi), Sofyano Zakaria. Dia menilai, seharusnya Pertamina sudah lama menaikkan harga BBM non-subsidi yang dijualnya. "BBM seperti Pertalite, Pertamax Series bukanlah merupakan BBM PSO. Jika koreksi harga tidak segera dilakukan, dikhawatirkan Pertamina akan merugi," ujarnya di Jakarta, Selasa (24/8/2021).
Berdasarkan aturan, kata dia, harga BBM non-PSO produk Pertamina seharusnya selalu dikoreksi naik atau turun berdasarkan harga minyak dunia. "Ini sama hal nya dengan harga BBM non-PSO Jenis HSD yang selama ini dijual ke industri dan marines yang dijual Pertamina dan badan badan usaha niaga umum lainnya yang harganya dikoreksi setiap tanggal 1 dan 15 pada setiap bulan," paparnya.
Di sisi lain, tambah dia, Presiden Jokowi telah menerbitkan aturan baru soal harga eceran hingga pendistribusian BBM. Aturan yang tertuang dalam Perpres No 69/2021 tentang Perubahan Kedua atas Perpres No 191/2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Harga Jual Eceran BBM ini memungkinkan dilakukannya penyesuaian harga BBM mengikuti perkembangan harga minyak dunia. "Tapi lagi-lagi, terbitnya aturan ini tidak serta merta membuat pemerintah merestui kenaikan harga BBM Pertamina," tandasnya.
Menurut Sofyano, pemerintah melalui Kementerian ESDM seharusnya konsisten mengawasi dan bahkan menegur, jika ternyata ada badan usaha yang berbisnis BBM non-PSO yang tidak mengoreksi harga jualnya secara berkala. Karena itu, Sofyano menilai aneh jika ketika harga minyak dunia sudah lama naik, namun harga BBM non-PSO Pertamina tak kunjung berubah. Sementara, pihak swasta sudah lama menaikkan harga BBM-nya sesuai harga minyak dunia.
Sofyano mengingatkan, jika Pertamina tak juga mengoreksi harga jual BBM non-PSO-nya, maka kinerja keuangan perusahaan akan terganggu. Hal itu bisa menjadi beban berat, mengingat penyediaan dan penjualan BBM nasional sepenuhnya menjadi beban dan tanggung jawab BUMN tersebut. "Jika sampai rugi besar karena tak bisa mengoreksi harga jual BBM-nya, ini secara tak langsung juga akan mengancam kelancaran distribusi BBM dalam negeri," tandasnya.
(fai)