Penyebab Anggaran Kereta Cepat Jakarta-Bandung Bengkak Rp69 Triliun

Kamis, 02 September 2021 - 12:18 WIB
loading...
Penyebab Anggaran Kereta Cepat Jakarta-Bandung Bengkak Rp69 Triliun
Penyebab terjadinya pembengkakan biaya (cost overrun) proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) senilai USD4,9 miliar atau setara Rp 69 triliun, dibeberkan secara gamblang. Foto/Dok
A A A
JAKARTA - Direktur Keuangan dan Manajemen Risiko PT KAI (Persero), Salusra Wijaya membeberkan perkara terjadinya pembengkakan biaya (cost overrun) proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) senilai USD4,9 miliar atau setara Rp 69 triliun.

Dari paparannya, penyebab utama cost overrun adalah biaya Capital Output Ratio (COR) untuk Engineering Procurement Construction (EPC) sebesar USD4,8 miliar atau senilai Rp 68 triliun.



Padahal, capital expenditure (capex) awal KCJB berada di angka USD6,07 miliar. Jumlah itu terdiri dari EPC USD4,8 miliar dan USD1,3 miliar untuk non-EPC.

"Kalau dibuat ringkasan, ini penyebab utama kenapa terjadi cost overrun. Terbesar porsi COR di EPC," ujar Salusra dalam RDP bersama Komisi VI DPR, dikutip Kamis (2/9/2021).

Lalu pembebasan lahan. Dari kajian, PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI) sebagai konsorsium proyek KCJB, pembebasan lahan menjadi permasalahan pelik. Sebab, jalur kereta yang dibangun tercatat luas dan melewati kawasan komersial atau industri.

Akibatnya, konsorsium harus mengeluarkan anggaran yang mahal untuk menggeser kawasan-kawasan tersebut.

Kemudian financing cost. Perkara ini terjadi karena adanya keterlambatan pengerjaan proyek dan menyebabkan membengkaknya Interest During Construction (IDC) atau talangan bunga atas proyek yang dikerjakan.

"Sehingga pasti yang membengkak juga biaya head office operasi. Dengan mundurnya proyek ini, beban operasi meningkat dan ada biaya-biaya lain," ungkap dia.



Dari total anggaran EPC, pembebasan lahan, financing cost, biaya pre op dan lainnya ini kemudian menghasilkan kenaikan anggaran yang signifikan. Manajemen mengestimasi Capital Output Ratio mencapai 1,9 miliar dolar AS

"Artinya dari 1,9 miliar dolar AS tersebut, 75 persen akan dibiayai dari pinjaman CBD dan 25 persen dari equity. Porsi Indonesia 60 persen, China 45 persen. Jadi itu asumsinya sehingga dapat 4,1 triliun. Dari perhitungan ini, yang kami ajukan ke pemerintah untuk diusulkan dipenuhi melalui PMN," ungkapnya.
(akr)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.3178 seconds (0.1#10.140)