Mulai dari LRT hingga Bandara Kertajati, Pengamat: Studi Awalnya Kurang Tepat

Senin, 25 Oktober 2021 - 15:59 WIB
loading...
Mulai dari LRT hingga...
Bandara Kertajati yang masih saja sepi. Foto/Dok
A A A
JAKARTA - Agus Pambagio, pengamat kebijakan publik, dan Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan Masyarakat Transportasi Indonesia Pusat Djoko Setijowarno menyoroti pembangunan infrastruktur yang digencarkan oleh pemerintah. Khususnya, proyek-proyek infrastruktur yang pemanfaatannya belum maksimal, alias bermasalah.

Beberapa di antaranya Agus menyebut pembangunan Bandara Kertajati, LRT di Jakarta, Kereta Cepat Jakarta-Bandung, hingga pembangunan Bandara Jenderal Besar Soedirman di Purbalingga. Semua proyek itu dinilainya belum bermanfaat atau terancam bermasalah.



"Penyebabnya sama, seperti minimnya feasibility study (FS) dalam pembangunannya, orang mau bangun infrastruktur itu harus ada analisa," ujar Agus Pambagio kepada MNC Portal (25/10/2021).

Sedangkan untuk pembangunan bandara, terutama Bandara Jenderal Soedirman, Agus mengatakan seharusnya pemerintah mengikuti aturan yang sudah ditetapkan, seperti jarak antara bandara yang akan didirikan.

"Di selatan itu ada bandara Bandung, Tasikmalaya, Cilacap, kemudian JB Soedirman terus ada YIA (Yogyakarta International Airport). Itu bandara dekat-dekat, emang ada berapa orang di Purbalingga yang menggunakan bandara," sambungnya.

Permasalahan studi kelayakan tersebut, diduga Agus, hampir sama dengan Bandara Kertajati, yang minim aktivitas penumpang disebabkan oleh sulitnya akses integrasi ke bandara tersebut.

"Sama di Kertajati, itu kuntilanak saja malas ke sana. Di sana sudah tidak ada apa-apa, orang ke situ mau ngapain, sekarang dari Bandung ke situ bisa dua jam. Dari Jakarta ke situ bisa kurang lebih dua jam," lanjutnya.

Sementara itu, Djoko Setijowarno menambahkan, saat ini akses di Bandara Kertajati sangatlah buruk, baik dari jalan nasional maupun akses melalui jalan TOL.

"Lewat jalan Pantura masuk ke dalamnya jauh. Lewat jalan tol belum ada aksesnya, tentu orang dari Bandung lebih memilih ke Jakarta, karena kalau ke situ (Kertajati) bisa muter hingga 4-5 jam, sedangkan ke Jakarta cuma tiga jam," ujar Djoko.

Sejak April 2020, Bandara Kertajati sudah tidak melayani penumpang lagi. Sebelumnya terdapat empat maskapai yang memiliki slot penerbangan di bandara ini, yaitu Garuda Indonesia, Citilink, Lion Air, dan Wings Air.

Permasalah tersebut dijelaskan Agus ketika muncul sebuah gagasan untuk menampung limpahan dari Bandara Soekarno-Hatta, di cengkareng.



"Saya sudah bilang waktu itu, limpahan itu tidak boleh lebih dari 50 km, kalau itu kejauhan. Kalau orang dari Bandung ke Medan misalnya, ya dia milih ke Jakarta penerbangannya banyak, waktu itu," sambung Agus Pambagio.

Agus menduga, Hal-hal tersebut terjadi didasari oleh studi awalnya yang kurang tepat sehingga proyek yang dijalankan mangkrak. Dirinya menyebut mangkrak terbagi menjadi dua, pertama bisa mangkrak tidak jadi, dan mangkrak sudah jadi tapi tidak beroperasi.

Sedangkan untuk LRT Jakarta, dirinya mengatakan ada kesalahan dari sisi pengadaan rel yang digunakan. Jadi rel LRT yang digunakan berbeda dengan rel kereta api pada umumnya sehingga diperlukan depo baru untuk menampung LRT.

"Misalnya seperti kereta cepat, LRT Jabodebek, itu kan belum jalan juga, padahal sudah lama. Untuk LRT saya sudah bilang, itu kan relnya berbeda dengan rel yang dipakai kereta api, karena rel lebar itu untuk kecepatan di atas 120 km/jam, ngapain pakai itu," kata Agus.

Menurutnya penggunaan rel yang berbeda itu akan justru menambah biaya pembangunan seperti bikin stasiun baru, karena rel yang digunakan berbeda dengan kereta api pada umumnya.

"Kalau sama kan bisa pakai depo Manggarai karena sekarang beda, ya tidak bisa. Dia harus bikin depo sehingga dari anggaran Rp20 triliun menjadi Rp30 triliun. Hal itu kan sebenarnya masuk ke fisibility study," tuturnya.

Djoko Setijowarno menyampaikan, selain membangun infrastruktur, pemerintah pusat maupun daerah juga harus bisa mengembangkan potensi pariwisata untuk menarik masyarakat di daerah lain untuk berkunjung dan menggunakan infrastruktur.

Djoko menambahkan proyek mangkrak juga tidak hanya disebabkan oleh kurangnya FS, namun juga berubahnya kebijakan pemerintah daerah setiap ganti kepemimpinan. Misalnya pembangunan LRT di Sumatra Selatan, sebelumnya Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan ada rencana perpindahan perkantoran di Jakabaring.



Proyek ini memakan biaya hingga Rp12,5 triliun yang diambil dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN). Pada awal pembukaannya, moda transportasi ini menarik minat masyarakat setempat namun saat ini jumlah penumpang hanya 10%.

"Kalau sepi peminat itu alasannya sederhana. Dulu janjinya Pemprov Sumsel itu ada perpindahan perkantoran gubernur di Jakabaring, sehingga bisa menimbulkan kebangkitan, tapi ternyata ganti gubernur ganti kebijakan," kata Djoko.
(uka)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1818 seconds (0.1#10.140)